Media komunikasi massa baik media online atau media cetak selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman serta kemajuan teknologi. Peran media dalam penyebaran suatu berita akan sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat juga dapat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi di suatu wilayah, oleh karena itu sangat penting untuk sebuah media dalam meyebarkan fakta atau kebenaran dari sebuah berita.
Seiring dengan perkembangan teknologi serta kemudahan dalam penggunaannya menjadikan media online menjadi media penyebaran berita yang sangat berpengaruh pada masyarakat saat ini. Penyebaran berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh media-media komunikasi yang sudah memiliki nama, namun saat ini semua orang juga dapat berperan dalam penyebaran suatu informasi. Informasi-informasi yang disebarkan oleh individual inilah yang lebih sering tidak memiliki pertanggung jawaban atas kebenaran informasi tersebut berisi mengenai berita hoax.Melihat masyarakat yang mudah terpengaruh oleh suatu berita tanpa mencari tahu kebenaran akan berita tersebut dapat menjadi suatu permasalahan.
Saat ini banyak sekali berita-berita hoax yang sangat mudah kita temukan di media online. Hoax merupakan ketidak benaran suatu informasi yang beredar di masyarakat, baik melalu sosial media ataupun secara langsung (lisan). Berbicara mengenai Hoax, di era saat ini, sebagian besar masyarakat masih banyak yang mempercayai beredarnya berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Beredarnya berita hoax dapat menggiring opini masyarakat serta dapat menimbulkan keresahan. Selain itu, berita hoax juga dapat mengakibatkan mudah tersulutnya emosi masyarakat, dapat merugikan siapa pun yang menjadi objek pemberitaan tersebut, serta dapat mengakibatkan konflik berkepanjangan.
Menurut Silverman, berita palsu dibuat untuk menarik harapan dan ketakutan masyarakat yang tak terbatas kenyataan. padahal seharusnya kenyataan memberi batas berita mana yang bisa dibagi dan tidak. Tahun 1940-an, peneliti mengungkap ”semakin rumor itu disebar, maka akan semakin masuk akal.” Peneliti menyebutkan hasil penelitiannya mengungkap rumor lahir dari kecurigaan, kemudian terbiasa diketahui, lalu mengubah pemikiran dan opini publik. Ilusi tentang kebenaran dibuktikan secara empiris pada tahun 1977.
Peneliti di Amerika membuat kuis untuk mahasiswa tentang benar atau salahnya sebuah pernyataan. Hanya dengan mengulang sebuah pernyataan, cukup untuk meningkatkan kepercayaan mahasiswa akan kebenarannya. Setahun lalu, Liza Fazio dan timnya dari Vanderbilt University di Tennessee mengungkap mahasiswa bisa lebih mempercayai pernyataan jika itu diulang-ulang.
Meskipun mereka tahu pernyataan tersebut salah. ”Penelitian kami mengungkap meski seseorang tahu bahwa judul beritanya salah, dengan membacanya berulang-ulang, akan membuatnya tampak benar,” kata Fazio. Meski begitu, penelitian mengungkap pengetahuan utama seseorang masih menjadi pertimbangan utama dalam penentuan benar atau salah sebuah pernyataan. Tapi tren berita bohong yang ditampilkan atau dibaca berulang-ulang, tetap memperngaruhi opini mereka.[1]
Contoh berita hoax yang menimbulkan keresahan adalah berita mengenai 10 juta tenaga kerja China masuk Indonesia[2]. Disebutkan dalam berita tersebut Indonesia akan kedatangan tenaga kerja asing asal China dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung yakni 10 juta orang bahkan ada yang mengabarkan mencapai 20 juta orang. Hal ini menimbulkan ketakutan masyarakat dimana lowongan pekerjaan akan semakin berkurang karena diisi oleh tenaga kerja asing asal China sedangkan di Indonesia sendiri pun angka pengangguran masih terbilang cukup tinggi.
Informasi ini pun kemudian dikonfirmasi oleh Presiden Joko Widodo yang membantah isu ini. Menurut Joko Widodo, jumlah tenaga kerja asing asal China sekitar 21.000. Jumlah ini disebut jauh lebih kecil dibandingkan jumlah TKI di Hong Kong yang mencapai 153 ribu orang. Presiden juga menilai isu yang beredar soal TKA ke Indonesia tidak logis sebab upah bekerja di Indonesia rata-rata masih Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta, sedikit lebih rendah dibandingkan di China yang bisa diupah hingga di atas Rp 5 juta.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya mengenai akibat yang ditumbulkan berita hoax salah satunya yaitu mudah tersulutnya emosi masyarakat. Dampak tersebut nyatanya benar-benar terjadi di masyarakat, dimana mereka mempercayai isu-isu hoax yang tersebar sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain yang dianggap sebagai objek dari isu tersebut. Contoh kasusnya adalah isu penculikan anak yang ramai dibincangkan belakangan ini yang membuat para orang tua resah. Berdasarkan berita yang dilansir media online viva.co.id, di Sumenep Madura, reaksi ini muncul dengan aksi pemukulan dan penganiayaan terhadap tiga pengidap gangguan jiwa. Lantaran karena mempercayai bahwa ciri penculik anak itu adalah berpura-pura gila atau seperti pengemis, akhirnya para pengidap gangguan jiwa di daerah itu jadi korban pemukulan. Kasus serupa juga terjadi di Sumatera Selatan, dua perempuan pengidap gangguan jiwa, Kus dan Mul, juga menjadi korban kalapnya warga. Isu penculikan anak ini pun berbuah kematian yang menimpa Maman Budiman (53), seorang kakek yang hendak menjenguk cucunya di Desa Amawang Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Kakek ini pun meregang nyawa setelah dihakimi warga yang mengira bahwa ia adalah penculik anak karena membawa karung.
Beberapa contoh kasus diatas mengindikasikan bahwa berita hoax sudah sudah semakin marak dan banyak membawa pengaruh negatif dalam kehidupan di masyarakat. Hal ini pun tentunya harus menjadi perhatian khusus pemerintah untuk menangani tersebarnya isu-isu hoax. Data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech)[3]. Pemerintah pun telah melakukan cara-cara untuk mengatasi kasus berita hoax ini dengan melakukan penapisan atau penyaringan untuk situs, sedangkan untuk media sosial, pemerintah bekerja sama dengan penyedia media sosial tersebut.
Penanganan kasus hoax tidak cukup hanya ditangani oleh pemerintah saja, namun juga dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan maupun secara individual. Lembaga pendidikan dapat berperan dalam memberikan edukasi mengenai ciri-ciri berita hoax dan bagamana cara menyikapi hal tersebut. Sedangkan secara personal masyarakat juga dapat membantu dalam meminimalisir tersebarnya berita hoax yakni dengan tidak mudah percaya dengan judul berita provokatif yang berupa tuduhan pada pihak tertentu dengan plagiasi dari sebuah akun resmi lalu diubah kembali, kemudian cermati alamat situs yang tidak resmi, lalu periksa fakta apakah berita tersebut asli atau tidak.
Sebaiknya kita jangan membagi sebuah berita yang belum diketahui kebenarannya, karena semakin banyaknya berita yang tersebar dengan topik yang sama, maka masyarakat akan semakin percaya dengan berita tersebut. Kemudian, masyarakat juga dapat berkontribusi dalam melaporkan berita yang meresahkan. Dalam hal ini pemerintah sudah memfasiliasi dengan adanya LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Masyarakat) sehingga memudahkan masyarakat dalam melakukan pelaporan.
Masyarakat juga harus berhati-hati dalam menyebarkan suatu berita yang belum diketahui kebenarannya atau hoax, karena saat ini sudah ada pasal 28 ayat 1 Undang-Undang ITE yang berisi setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan beritabohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Sumber:
[1] Litbang Kemendagri : http://litbang.kemendagri.go.id/penelitian-berita-hoax-pengaruhi-opini-pembaca/
[2] https://kumparan.com/jofie-yordan/konten-hoax-yang-meresahkan-selama-2016
[3] CNN Indonesia: http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161229170130-185-182956/ada-800-ribu-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H