Mohon tunggu...
Siti Nursari Ismarini
Siti Nursari Ismarini Mohon Tunggu... -

Happy. Muslimah. Student. Sanguine

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Perempuan, Lebih dari Sekadar Istri dan Ibu

25 Oktober 2014   17:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:47 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bukan sekadar kebesaran nama atau kemegahan karya yang ia tinggalkan,
tapi keteladanannya untuk rela berkorban.”

Menjadi perempuan bukan hanya menjadi seorang ibu dan istri. Ia memiliki kapasitas lebih dari itu. Ia memiliki potensi yang besar untuk mengubah dunia. Seperti Rasulullah saw yang pernah bersabda bahwa “Jika Negara ibarat rumah, maka wanita adalah tiang penyangganya. Jika ingin Negara yang kokoh, maka kokohkanlah para wanitanya.” Hal ini terbukti ketika zaman Rasulullah saw dan para sahabat, banyak kita kenali banyak sosok wanita yang menginspirasi dan aktif berkiprah dalam mendakwahkan Islam. Sebut saja Khadijah ra, yang dikenal sebagai sosok saudagar wanita yang tegas dan pemurah, juga di satu sisi manjadi seorang istri yang lembut dan taat pada suaminya.  Fatimah, Aisyah, Ummu Salamah, Ummu Sulaim, Zainab, dan masih banyak teladan muslimah lainnya yang patut kita ambil hikmahnya hingga berabad-abad kemudian, harum kisahnya masih dapat kita nikmati hingga hari ini.

Maka  kita sepakati bersama bahwa menjadi aktivis muslimah adalah bagian dari kewajiban kita untuk menebarkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.  Lantas, pertanyaan berikutnya? Bagaimana membentuk diri menjadi seorang aktivis muslimah?


“Jika engkau mencari teladan, carilah pada mereka yang telah tiada.”

-Ibnu Abbas

Mari kita teladani dan telusuri kembali kisah kepahlawanan para pendahulu kita.

“Ilmu pengetahuan adalah hikmah—harta mukminin yang tercecer—maka, ambillah dimanapun ia berada.” Oleh karena itu, kita dapat mengambil hikmah, baik dari muslim ataupun nonmuslim selama terkandung kebaikan didalamnya. Namun, untuk qudwah hasanah haruslah muslimin yang sholeh yang menjadi teladan kita.

Memaknai ‘Aktivis

Aktivis adalah kata lain untuk pejuang atau pahlawan yang pada dasarnya memiliki satu keutamaan, yakni memiliki otonomi (kebebasan) untuk melejitkan kapasitas atau potensi dirinya menjadi inspirasi melampui usia bahkan zamannya.

Mari kita belajar dari Khadijah ra. Khadijah ra pada zamannya memiliki kepiawaian dalam berbisnis dalam lingkup global (A Global Business Woman). Dan, ketika ia menikahpun, ia tetap dapat berkiprah dengan baik sebagai seorang istri maupun ibu. Tentunya ini adalah sebuah karakter yang dibentuk hingga turun temurun. Riwayat keluarga Khadijah, ia berasal dari keluarga Quraisy yang memiliki nasab lurus dari keluarga Imran. Keluarga yang menjadi keluarga teladan yang Allah abadikan dalam salah satu nama surat dalam Al Quran. Selama 1300 tahun, keluarga ini berhasil untuk mengelola kebaikan dan meneruskannya dari generasi ke generasi. Secara sainspun hal ini terbukti, bahwa sel dalam tubuh yang bernama mitokondria dapat dicopy ke keturunan. Mitokondria ini terdapat dalam darah yang terpengaruh dari kebiasaan kita sehari-hari.

Tiga karakter wanita keluarga Imran yang diwariskan dari generasi ke generasi, yaitu

1) Jika ia menjadi ibu, ia akan menjadi ibu yang sangat penyayang pada keluarganya.

2)Mampu mengelola asset (harta) suaminya. Juga, mampu memberikan value added pada harta yang dikelola

3)Senang berpergian dan mampu berkendara. Senang berpergian di sini maksudnya suka melakukan perjalanan yang membuat mereka memiliki sudut pandang yang luas. Mampu berkendara di sini termasuk mampu mengendaraoi unta dan kuda. Ada perbedaan mendasar mengendarai hewan dan mengendarai kendaraan hari ini (mobil atau motor) karena hewan memiliki emosi yang harus pula diatur sehingga hal ini jauh lebih sulit.

Apa kunci yang membuat kisah kepahlawanan ini dapat menjadi inspirasi yang melampaui zamannya?

1.Memiliki tujuan yang jelas (wudhuhul ghoyyah)

“Berapapun harga untuk mencapai tujuan itu, akan ia bayar dengan pengorbanan”. Seorang aktivis adalah mereka yang memiliki effort besar dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan. Mereka telah siap dengan itu semua. Ada semangat (hamasiyyah) di setiap langkah mereka. Maka dari itu, mereka menjadi orang-orang yang memiliki survival skills yang tinggi.

Survival skills awal dari seorang aktivis bermula dari apa yang ia makan (you are what you eat). Itu juga mengapa Allah swt memberi penekanan betapa pentingnya makanan dan menurunkan QS Al Maidah, ‘Dan perhatikanlah, apa yang kamu makan.”

2.Memiliki jalan yang jelas (wudhul thoriq)

Tidak mencampurkan perasaan dan profesionalisme, adalah salah satu karakter dari Khadijah ra sehingga membuat dirinya memiliki jalan yang jelas. Memiliki jalan yang jelas adalah tidak banyak memiliki masalah pribadi. Selalu mengedepankan Allah sebagai penguasa dan merasa apa yang dikuasai hati kita itu begitu kecil.

Sebuah pembelajaran berharga dari Abu Darda dan Salman Al Farisy tentang kerelaan cinta, yakni buat hidup itu menjadi sederhana. Jangan mempersulitnya dengan batasan-batasan yang sebenarnya kita buat sendiri.

3.Memiliki (thobiathut thoghiriyah)

Kisah kepahlawanan hanya bisa menjadi nyata jika ia memiliki pemahalaman lokal (grassroot understanding) dan sudut pandang global (global perspective). Mengapa kerajaan Majapahit runtuh? Karena raja ketika itu tidak mampu mengantisipasi perubahan zaman, yakni ketika tentara Mongol datang. Maka, harus kita sadari bahwa, yang mampu membuat sejarah diri adalah sejauh mana kemampuan beradaptasi pada zaman.

Salah satu firman Allah swt, ‘majreha’, tidak dibaca menjadi majriha atau majroha memiliki makna tersendiri. Majroha bermakna terombang-ambing di laut, sedangkan majriha bermakna tenggelam di laut. Oleh karena itu, Allah swt berfirman dengan kata ‘majreha’ yang bermakna tepat di atas laut—sehingga kapal pun dapat berlayar menuju tujuan.

Menjadi aktivis adalah bagian dari pertanggungjawaban seorang anak manusia di hadapan Sang Pencipta nanti di hari yang semua buku amal akan dibuka dan diperlihatkan amalan dengan sebenar-benarnya. Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan, ketika otak kita ‘menangis’ karena bekerja eksra, maka saat itu pula tercipta lipatan di otak yang membuat kita bisa menyelesaikan masalah yang kompleks. Maka, semakin berat ujian hidup yang kita lalui, hal tersebut akan berbanding lurus pula dengan kekuatan kita untuk menjalani hidup.

***

Tulisan ini disarikan dari hasil Kajian Fiqih Perempuan yang diisi oleh Ibu Nurchasanah (Direktur Nurul Fikri English Centre) pada Sabtu, 16 November 2013 di Aula PPSDMS Nurul Fikri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun