Mohon tunggu...
Junior Tralalaaa Trililiiii
Junior Tralalaaa Trililiiii Mohon Tunggu... lainnya -

nggak suka kodok. terlalu mirip sama ikon yang agli ituhhh...(nunjuk monster biru yg picek atas)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Queenara

20 Oktober 2016   23:01 Diperbarui: 20 Oktober 2016   23:05 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1994

“Masuk, Lika! Cepat masuk!”

Usai menarik kasar lengan anaknya, sang ibu mulai mendorong. Gerakannya kasar, terburu-buru. Sebuah celah kecil yang tersisa di samping lemari kayu di bawah tangga lantai dua menjadi tempat sang ibu menjejali tubuh anaknya. Ukuran lubang yang sempit membuat kepala gadis lima tahun itu sempat terantuk dinding agak keras. Tapi sang ibu tidak peduli, malah semakin kalap. Begitu dilihat tubuh anaknya sudah mulai tertelan rongga gelap, disambarnya beberapa lembar pakaian kotor yang tergeletak di lantai untuk menutupi celah tersebut.

“Mami! Mami!”

“Diam, Lika! Diam!” suaranya garang.

“Mami! Tapi Alika takut, Mami… Alika sakit!” gadis kecil itu memprotes, merengek.

“Tahan!” jerit sang ibu bertambah panik. “Diam, Lika! Diam disitu sampai Mami menjemputmu nanti!”

Tak ada kata-kata membujuk, tidak ada waktu. Sementara di lantai bawah - lantai satu rumah mereka - pintu depan sudah keburu dibuka dengan kasar dan daun pintunya dihempaskan kembali sangat keras, membuat seluruh dinding bergetar karena dentumannya.

Lalu terdengar langkah kaki seseorang berlari menaiki anak tangga.

Hanya beberapa detik saja selisih waktunya.

“Kamu!” Hardikan kasar seorang laki-laki disambut rintih ketakutan perempuan di hadapannya. Kemudian sumpah serapah laki-laki tersebut tumpah, disusul suara tamparan yang mungkin dilakukan sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali. Kemudian gemuruh seperti sebuah benda berat jatuh terbanting-banting melalui anak tangga.

Lalu hening. Tak ada suara apapun.

Alika bergidik ngeri dalam ruang persembunyiannya. Mana Mami? Mengapa Mami berhenti menangis? Benda apa yang jatuh dari tangga tadi?

“Alika!” Belum sempat ia memikirkan jawabannya sendiri, tiba-tiba suara laki-laki itu kembali menggelegar. Sepertinya dekat sekali. “Alika! Dimana kamu!”

Alika gemetar menahan takut.

“A…li…ka! ALIKA! Dimana kamu, anak nakal!”

***

Menurut Tante Fina – tetangga sebelah rumah – Alika baru ditemukan dua hari kemudian. Dalam keadaan lemas, meringkuk di pojokan bawah tangga lantai dua, di belakang lemari kayu besar tempat penyimpanan sepatu. Mungkin ia sudah berkali-kali pingsan karena ketakutan, kelaparan, kehausan, kelelahan sampai kekurangan udara segar.

Alika memang masih beruntung. Ia selamat dari tindak penganiayaan ayah kandungnya sendiri. Tapi tidak demikian dengan sang ibu. Perempuan 32 tahun itu baru sadar dari ‘tidur’ panjangnya setelah 40 jam kemudian. Tulang rahang kiri Bu Yuna – nama ibunda Alika – retak. Mungkin karena pipinya terantuk pegangan tangga saat Pak Vino – suaminya – menampar dengan keras. Tulang betis kanannya juga retak. Serta lebam di pipi kanan dan kiri serta banyak tempat lain di sekujur tubuh.

Dalam keadaan kesakitan, saat terbangun dari pingsan, Bu Yuna langsung menanyakan keadaan Alika yang ia sembunyikan di lorong kecil di bawah tangga.

Menimbulkan kegemparan selanjutnya.

Alika yang menghilang - disangka telah diculik oleh sang ayah - ternyata ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri setelah dua hari dua malam bersembunyi.

Konon Alika hampir mati. Menurut dokter, beberapa jam saja ia terlambat ditemukan, nyawanya tak bisa selamat. Gadis lincah bertubuh mungil itu mengalami dehidrasi parah dan kelaparan.

Itu baru kondisi fisiknya.

Sementara kondisi kejiwaan putri tunggal Bu Yuna dan Pak Vino tersebut tak kalah mengkhawatirkan.

***

2016

Jangan tanyakan soal kenangan tentang sosok ayah dan bunda, aku bisa langsung mual seketika. Satu-satunya ingatan paling kuat tentang Papi adalah ketika ia meneriakkan namaku dengan garang. Setelah sebelumnya menghajar Mami berkali-kali sampai jatuh dari tangga. Untung saja Mami tidak langsung mati.

Konon – yang pernah kudengar dari Bude Darmi, sepupu Mami – saat itu Papi sudah siap menggenggam parang dan karung plastik. Entah untuk apa. Mungkin ia memang punya niat menculikku dari Mami. Atau membunuhku di tempat.

Yang jelas sejak kejadian terakhir itu aku tidak pernah lagi melihat rumah mungil kami di Pulau Bangka. Juga pantai-pantai cantik tempat biasa bermain dengan Wiwin, Melly, Asih dan Desi, serta koleksi kulit-kulit kerang unik ‘harta karun’ hasil buruan kami. Termasuk tak ada lagi Bi Esti yang rajin memasakkan mpek-mpek dan otak-otak ikan paling enak sedunia. Semua yang kukenal akrab sebelumnya hilang begitu saja. Bahkan juga Papi dan Mami.

Sejak bayi aku jarang bertemu Papi. Mami bilang, ayah kandungku mantan orang kaya di Pulau Jawa. Vino Handoko adalah putra sulung keluarga Handoko Wiroguna yang punya bisnis hotel dan banyak tempat hiburan malam top di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Semarang. Mami menikah dengan Papi tahun 1988, setahun sebelum aku lahir.

Ada beberapa lembar foto pernikahan mereka dulu.

Keduanya sama-sama cantik dan ganteng. Mamiku, Yuna Wirasti, mantan penyanyi kafe bertubuh seksi dan biasa dikejar-kejar penggemar pria pada masanya. Setelah Papi memenangkan hati Mami, ia dilarang menyanyi lagi dimanapun. Awalnya tak masalah, toh Mami juga sedang hamil. Masalah baru timbul setelah Papi mulai tergoda perempuan lain. Mami yang marah memutuskan kabur dari rumah. Lalu setelah melahirkan, ia kembali aktif menyanyi di banyak kafe di kota lain.

Mami jadi buronan Papi sampai usiaku lima tahun. Pantas saja aku selalu berpindah-pindah rumah, soalnya anak buah Papi selalu berhasil menemukan jejak Mami. Satu-satunya tempat tinggal paling lama dan paling kusukai – waktu masih hidup bersama Mami - adalah rumah mungil kami yang berlantai dua di Pulau Bangka.

Ada halaman kecil ditanami bunga-bunga cantik di bagian belakang. Halaman depannya sangat luas, tempat aku dan anak-anak kampung leluasa main bersama. Bi Esti tukang cuci pakaian di rumah sering membuatkan makanan serba enak: ikan bakar, mie ayam, sup ikan, tekwan dan macam-macam lainnya. Hidupku sempat nyaman selama satu setengah tahun di kampung terpencil pinggir pantai, dan siap masuk sekolah dasar pada tahun ajaran baru, beberapa bulan kedepan, waktu itu.

Sampai tiba-tiba Papi - yang sebenarnya diam-diam sering kukangeni itu - datang sambil membawa segudang kemarahan. Lalu membabi-buta menghancurkan kebahagianku bersama Mami.

Tak banyak yang mampu kupahami di usia lima tahun. Kabarnya setelah dihajar Papi, Mami dirawat dua minggu di rumah sakit di Pulau Bangka, lalu pindah rumah setelah menjual seluruh asset yang dimiliki. Papi sendiri entah bersembunyi dimana.

Selanjutnya mimpi buruk panjangku dimulai. Aku menjalani hari-hari sebagai anak angkat Bude Darmi di Jakarta. Berusaha keras melupakan Papi dan kenangan buruk tentang sosoknya yang mengerikan - meski kadang-kadang ia tetap memaksa hadir lewat nightmare - lengkap dengan teriakan keras dan sebilah parang di tangan.

Juga berusaha melupakan Mami yang setelah itu seperti sengaja melenyapkan diri tanpa jejak, padahal putri tunggalnya sangat membutuhkan. Mami masih hidup, aku tahu pasti itu. Ia hanya tidak mau lagi bertemu anaknya.

Mungkin Mami sama saja seperi Papi, mereka sama-sama membenciku. Dan mungkin aku juga sama saja seperti mereka berdua: aku juga benci Papi dan Mami.

***

Bagaimana sih rasanya langsing? Seumur-umur aku hanya tahu rasanya ‘langsung’.

My name is Queenara Alika. Some people usually call me ‘Big Queena’. Dan yup, tak salah lagi, akulah si gadis overweight. Di usia 27 tahun, dengan tinggi hanya 163 sentimeter, beratku mencapai 115 kilogram. Gemuk? Sangat!

Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru membayangkan aku sebagai big monster yang mengerikan, ya. Because you’re so wrong.

Nyatanya aku sangat cantik.

Well, setidaknya aku selalu yakin 99,99% kalau aku sangat cantik. Karena walaupun bertubuh ekstra gemuk, tapi kulitku bening. Rambut lurus panjangku juga selalu rapih dan indah, ditambah lagi raut wajahku tidak pernah tidak kelihatan manis. Malahan – percaya atau tidak - banyak cowok-cowok yang justru beranggapan kalau aku sangat seksi dengan ukuran tubuh yang maksi. Apalagi kalau habis menyemprotkon parfum J.Lo ‘Still’ kesukaan.

Yang aku ingat, bentuk tubuhku mulai membulat sejak umur lima tahunan. Semenjak ada peristiwa traumatik yang membuatku jadi phobia terhadap rasa lapar. Juga pada ruang gelap dan sempit.

Harus kuakui, awalnya sulit menerima kondisi diri sendiri. Menjadi gadis yang bobot tubuhnya kelebihan sekitar 55 kilogram dari ukuran normal sangat tidak mudah. Di masa remaja aku punya segudang pengalaman dibully gara-gara urusan itu. Mulai dari yang berbentuk sindiran ‘biasa’ misalnya dicap sebagai sebagai tukang makan yang malas bergerak, sampai ejekan ‘setengah ringan’ seperti dibilang mirip ‘Godzilla’, ‘truk tronton’, atau ‘karung beras’ dan sebagainya. Yang lebih ekstrem dan mulai membuat sebal adalah kalau ejekan itu tidak hanya diungkapkan dengan kata-kata, tapi sudah langsung menggunakan tindakan,seperti misalnya dengan pura-pura salah memberikan centong nasi waktu aku minta tolong diambilkan sendok makan.

Kadang-kadang ada juga yang ejekannya sudah menjurus pada tindakan pelecehan, bahkan dilakukan beramai-ramai. Misalnya seperti waktu aku sedang jalan santai di sebuah kompleks perumahan, tiba-tiba ada segerombolan anak kecil yang meneriaki sambil tertawa-tawa, “tolong, bolanya jalan… bolanya jalan...”

Padahal entah dimana lucunya. Entah siapa yang mengajari anak-anak kecil berani membully orang dewasa. Atau orang dewasa - yang notabene harusnya sudah pandai berempati – masih saja suka membullysesama.

Tapi biar saja. Sekarang aku sudah tidak peduli lagi apapun komentar buruk orang lain tentang badanku yang jumbo. Toh kenyataannya - dibanding kebanyakan orang yang hobi berkomentar negatif – jelas-jelas aku jauh lebih sukses. Dan bahagia. Aku terkenal sebagai top model ‘big size’ papan atas yang banyak dikejar-kejar awak televisi dan media cetak serta online untuk diwawancarai. Sebagai selebiti. Namaku juga masuk dalam jajaran pesohor tanah air yang kebanjiran jobuntuk jadi MC, bintang tamu program talk show berkelas, motivator, sampai pemain sinetron bermutu.

Kalau orang lain sibuk diet mati-matian, berakrab-ria dengan rasa lapar demi punya bentuk tubuh ramping agar bisa tampil mempesona di mata orang lain, aku tak butuh melakukan itu. Aku sudah sempurna, just the way I am.

Lagipula aku paling benci rasa lapar.

Aku memang sangat gemuk. Tapi aku cantik, pintar, sukses, baik hati dan mengagumkan. Jadi persetan pendapat orang lain.

Maaf sodara-sodara, ceritanya ga akan diselesaikan disini. Ini cuma teaser naskah calon novel sayahh.. hihi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun