embun meninggalkan langit sendiri, menjadikannya sepi. tak pernah lagi hadir pelangi, dan hambarpun menyergap pagi, mengulitinya hingga mati. serupa gurun yang kering kerontang, atau seperti hamparan tanah retak membatu membentang, sejauh tebaran pandangan, negeri ini kehilangan roh-roh pembawa hujan.
lihatlah para pengkhotbah yang menjadi pemarah, melemparkan serapah ke segala arah, membabi-buta. juga tua-tua bijaksana yang menjadi pengadu domba, berebut memerahkan tanah, kata-kata fitnah meluncur dari tajamnya lidah, mengalir dari hati hitam bernanah.
tinggallah anak-anak negeri yang kehilangan arah, terpecah-pecah. berjalan memelas di tengah padang panas, berlari dari kejaran kepentingan buas. mencoba mencari perlindungan, mencoba menemukan pohon-pohon kesejukan, yang terlanjur ditebang, yang terlanjur diberikan kepada api kepentingan sebagai umpan.
anak-anak negeri, dalam letih dan kepanasan, memanggil angin agar mendatangkan awan, untuk menurunkan hujan.
anak-anak negeri, saling bertatapan, dalam pelukan harapan, berbisik lirih mengajukan pertanyaan:
"rayuan pulau kelapa, ke manakah ia gerangan?"
Jakarta, 2 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H