Mohon tunggu...
Suripman
Suripman Mohon Tunggu... Akuntan - Karyawan Swasta

Pekerja biasa, menulis alakadarnya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Burung Api

15 Desember 2016   12:02 Diperbarui: 15 Desember 2016   12:18 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Burung serakah itu masih terbang berputar 

Sorot mata dendam, paruh haus darah dan benci di ujung cakar 

Terbang di atas api meyala, menjatuhkan angkara murka, birahi iblis yang dibungkus cadar 

Nurani dibakar dalam tungku sakit hati, sayap-sayap yang haus mahar 

Matamu itu, seolah haus akan kebenaran

Lidahmu berteriak-teriak mengenai keadilan

Oh….burung durjana, dibalik bulu putih kau sembunyikan belati

Kebenaran dan keadilan kau cengkeram, untukmu sendiri

Burung sesat, terbang kembali menebar laknat

Fatwa semua yang beda adalah sesat

Kapan dahaga darahmu terpuaskan?

Kapan birahi kuasamu terlampiaskan?

Langit yang kau arungi saban waktu

Menangis sedih, tertunduk luka kepak sayap belatimu

Bumi yang kau datangi mencari mangsa

Tak lagi damai menjelma doa, larut dalam sumur dosa, yang kau reguk untuk memuaskan dahaga

Bagaimana berharap surga

Dengan dengusan nafsu, panas membakar hati, meluluhlantak nurani?

Bagaimana menerima ridha-Nya

Dengan menebar benih dusta, menanam dendam dan memanen benci?

Kami diam, berlidah kelu, bukan tak paham

Kami tak ingin bab ini semakin hitam

Tapi sungguh burung beringas ini semakin ganas

Dalam setiap jalan cerita panas yang terus dia gagas

Tanahku tidak butuh cakar berapi

Gunung dan hutanku tak kan terhasut, terbakar

Jiwa kami, jiwa-jiwa lugu mandiri, jiwa yang takut pada Sang Suci

Dari senandung nurani kami berakar

Kau, burung berbulu putih, di balik sayapmu kau sembunyikan belati

Airku tidak butuh tebaran bara api

Pergi, pergilah bawa cakar bencimu dari negeri

Sungguh, kami sudah tidak sudi.

Jakarta, 15 Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun