Burung serakah itu masih terbang berputarÂ
Sorot mata dendam, paruh haus darah dan benci di ujung cakarÂ
Terbang di atas api meyala, menjatuhkan angkara murka, birahi iblis yang dibungkus cadarÂ
Nurani dibakar dalam tungku sakit hati, sayap-sayap yang haus maharÂ
Matamu itu, seolah haus akan kebenaran
Lidahmu berteriak-teriak mengenai keadilan
Oh….burung durjana, dibalik bulu putih kau sembunyikan belati
Kebenaran dan keadilan kau cengkeram, untukmu sendiri
Burung sesat, terbang kembali menebar laknat
Fatwa semua yang beda adalah sesat
Kapan dahaga darahmu terpuaskan?
Kapan birahi kuasamu terlampiaskan?
Langit yang kau arungi saban waktu
Menangis sedih, tertunduk luka kepak sayap belatimu
Bumi yang kau datangi mencari mangsa
Tak lagi damai menjelma doa, larut dalam sumur dosa, yang kau reguk untuk memuaskan dahaga
Bagaimana berharap surga
Dengan dengusan nafsu, panas membakar hati, meluluhlantak nurani?
Bagaimana menerima ridha-Nya
Dengan menebar benih dusta, menanam dendam dan memanen benci?
Kami diam, berlidah kelu, bukan tak paham
Kami tak ingin bab ini semakin hitam
Tapi sungguh burung beringas ini semakin ganas
Dalam setiap jalan cerita panas yang terus dia gagas
Tanahku tidak butuh cakar berapi
Gunung dan hutanku tak kan terhasut, terbakar
Jiwa kami, jiwa-jiwa lugu mandiri, jiwa yang takut pada Sang Suci
Dari senandung nurani kami berakar
Kau, burung berbulu putih, di balik sayapmu kau sembunyikan belati
Airku tidak butuh tebaran bara api
Pergi, pergilah bawa cakar bencimu dari negeri
Sungguh, kami sudah tidak sudi.
Jakarta, 15 Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H