Suasana langsung pecah. Warga mengangkat Si Cemong, mengenakan selempang kain bertuliskan "Pemimpin Desa Sukamaju". Cemong yang tampak bingung hanya mengeong kecil. Malam itu, perayaan berlangsung meriah, seolah desa benar-benar mendapatkan pemimpin baru yang unik.
Namun, kegembiraan ini tidak bertahan lama.
Seminggu setelah pelantikan, desa mulai kacau. Kantor desa penuh dengan bau anyir karena Cemong sering membawa "hadiah" berupa tikus atau ikan dari kali. Jalan berlubang tetap dibiarkan. Masalah pupuk tak kunjung selesai. Bahkan, surat penting dari kabupaten ditemukan basah karena terkena air liur Cemong.
Warga mulai sadar betapa konyolnya pilihan mereka. Di pos ronda, suasana penuh keluhan.
"Pak Mamat, gara-gara ide aneh kamu, desa jadi kayak kandang kucing!" seru Bu Imas sambil menunjuk tumpukan ikan di sudut kantor desa.
Pak Mamat tertawa kecil sambil menyapu lantai. "Ya gimana, kalian semua ikut-ikutan. Jangan cuma nyalahin saya."
Kegagalan ini menjadi pelajaran besar. Desa Sukamaju akhirnya mengadakan pemilu ulang. Kali ini, warga memilih dengan serius. Tak ada lagi nama "Si Cemong" di surat suara.
Meski begitu, cerita tentang Si Cemong tetap hidup sebagai lelucon abadi. Di setiap pemilu, kisah ini diulang-ulang di warung kopi, menjadi pengingat bahwa demokrasi bukanlah sekadar urusan lucu-lucuan. Bahkan, seorang pemimpin harus benar-benar memiliki tanggung jawab dan visi, bukan hanya memenangkan popularitas.
Si Cemong? Ia tetap maskot desa, sering terlihat tidur di kursi kepala desa seperti raja yang puas. Pemerintahannya mungkin hanya seminggu, tapi pengaruhnya tetap terasa seumur hidup.
Dan hingga kini, setiap kali melihat poster kandidat yang terlalu mulus, warga Desa Sukamaju selalu berkata, "Ingat ya, jangan sampai kayak Si Cemong lagi!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H