Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Di tengah dunia yang berputar cepat, saya adalah penjelajah kata dan perasaan. Saya menulis untuk menghidupkan kembali kenangan indah dan menciptakan pelangi dari kata-kata. Bergabunglah dengan saya dalam perjalanan menemukan keindahan dalam setiap detik dan momen kehidupan. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika si Cemong Menang Pemilu, Apa Jadinya Desa Ini?

2 Desember 2024   11:20 Diperbarui: 7 Desember 2024   20:08 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Maskot desa tak resmi, selalu hadir di tiap acara. Dari rapat serius-dangdutan, dia tak pernah absen mengamati! (pixabay.com/Martadireja)

Desa Sukamaju selalu dikenal sebagai tempat yang damai. Namun, semuanya berubah saat pemilihan kepala desa tahun ini. Tidak seperti biasanya, warga lebih sibuk membahas hal-hal sepele. Poster-poster kandidat bertebaran di setiap sudut jalan. Yang lucu, wajah mereka di poster tampak seperti hasil editan aplikasi yang berlebihan. Wajah aslinya? Jauh berbeda.

Di pos ronda, para warga sedang membicarakan kandidat yang "tampan".
"Pak Budi itu wajahnya kayak artis FTV, tapi senyumnya kaku banget!" kata Bu Imas sambil membetulkan kerudungnya.
"Pak Joko beda lagi, senyumnya ramah. Tapi programnya kayak main tebak-tebakan, nggak jelas arahnya," sahut Bu Yati.

Di sudut lain, ada Pak Mamat, lelaki tua yang terkenal asal bicara tapi disukai semua orang karena humornya. Sambil menyuapkan kerupuk ke mulutnya, dia nyeletuk, "Ah, milih siapa juga sama aja. Yang penting nyoblos, nggak usah dipikirin panjang-panjang. Udah terbiasa kecewa ini."

Mendengar itu, warga tertawa terbahak-bahak. Tapi, yang paling mencuri perhatian sebenarnya bukan manusia, melainkan Si Cemong. Seekor kucing kampung berbulu abu-abu belang putih, badannya sedikit kurus, tapi wajahnya selalu tampak puas. Cemong adalah maskot tak resmi Desa Sukamaju. Ia muncul di mana-mana—pengajian, acara hajatan, hingga rapat desa. Entah bagaimana, dia selalu tahu kapan ada makanan gratis.

Hari pemilihan tiba. Suasana TPS ramai, seperti pasar malam kecil. Warga saling berbagi cerita, sebagian serius, sebagian hanya datang untuk memastikan nama mereka tetap ada di daftar pemilih. Di antara kerumunan, Pak Mamat berjalan santai menuju bilik suara.

"Eh, Pak, pilih siapa?" tanya Bu Imas penasaran.
Pak Mamat hanya mengangkat bahu. "Belum tahu. Lihat nanti aja."

Saat di dalam bilik suara, Pak Mamat membuka surat suara dan mengamati nama-nama kandidat. Alih-alih terkesan, dia malah bingung. "Hah? Kok kayaknya nggak ada yang saya kenal. Apa saya salah TPS?" gumamnya sendiri. Tiba-tiba, ide konyol melintas di kepalanya. Dengan senyum nakal, dia mencoret semua nama kandidat dan menulis "Si Cemong" di kolom kosong.

Keluar dari bilik suara, dia berkata pada Bu Imas dengan nada serius tapi penuh humor, "Saya udah pilih yang paling jujur, nggak pernah utang, dan selalu hadir di semua acara desa."
"Siapa, Pak?" tanya Bu Imas penasaran.
Pak Mamat menjawab sambil terkekeh, "Si Cemong!"

Cerita ini dengan cepat menyebar. Warga yang awalnya bingung mulai ikut-ikutan. "Kalau Cemong menang, paling nggak dia nggak bohong," kata seorang pemuda sambil tertawa. Hingga sore hari, nama "Si Cemong" mulai muncul di banyak surat suara.

Penghitungan suara pun jadi tontonan heboh. Awalnya berjalan lancar, sampai tiba giliran panitia membaca nama-nama tidak resmi.
"Pak Budi... Pak Joko... Si Cemong?!"
Warga tertawa terbahak-bahak. Tapi tawa itu berubah menjadi keterkejutan saat jumlah suara "Si Cemong" terus bertambah. Pada akhirnya, suara terbanyak tidak dimenangkan oleh Pak Budi atau Pak Joko, melainkan Si Cemong.

Suasana langsung pecah. Warga mengangkat Si Cemong, mengenakan selempang kain bertuliskan "Pemimpin Desa Sukamaju". Cemong yang tampak bingung hanya mengeong kecil. Malam itu, perayaan berlangsung meriah, seolah desa benar-benar mendapatkan pemimpin baru yang unik.

Namun, kegembiraan ini tidak bertahan lama.

Seminggu setelah pelantikan, desa mulai kacau. Kantor desa penuh dengan bau anyir karena Cemong sering membawa "hadiah" berupa tikus atau ikan dari kali. Jalan berlubang tetap dibiarkan. Masalah pupuk tak kunjung selesai. Bahkan, surat penting dari kabupaten ditemukan basah karena terkena air liur Cemong.

Warga mulai sadar betapa konyolnya pilihan mereka. Di pos ronda, suasana penuh keluhan.
"Pak Mamat, gara-gara ide aneh kamu, desa jadi kayak kandang kucing!" seru Bu Imas sambil menunjuk tumpukan ikan di sudut kantor desa.
Pak Mamat tertawa kecil sambil menyapu lantai. "Ya gimana, kalian semua ikut-ikutan. Jangan cuma nyalahin saya."

Kegagalan ini menjadi pelajaran besar. Desa Sukamaju akhirnya mengadakan pemilu ulang. Kali ini, warga memilih dengan serius. Tak ada lagi nama "Si Cemong" di surat suara.

Meski begitu, cerita tentang Si Cemong tetap hidup sebagai lelucon abadi. Di setiap pemilu, kisah ini diulang-ulang di warung kopi, menjadi pengingat bahwa demokrasi bukanlah sekadar urusan lucu-lucuan. Bahkan, seorang pemimpin harus benar-benar memiliki tanggung jawab dan visi, bukan hanya memenangkan popularitas.

Si Cemong? Ia tetap maskot desa, sering terlihat tidur di kursi kepala desa seperti raja yang puas. Pemerintahannya mungkin hanya seminggu, tapi pengaruhnya tetap terasa seumur hidup.

Dan hingga kini, setiap kali melihat poster kandidat yang terlalu mulus, warga Desa Sukamaju selalu berkata, "Ingat ya, jangan sampai kayak Si Cemong lagi!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun