Berdasarkan contoh yang saya berikan, ERP memang dapat meningkatkan efisiensi sebuah perusahaan, apabila dilakukan dengan tepat dan didukung oleh semua pihak. Sekali lagi, hanya dan akan terjadi, jika dilakukan dengan tepat. Sebab, ada pula perusahaan yang tidak begitu sukses dalam melakukan penerapan konsep ERP ini. Salah satu contohnya, adalah kasus yang menimpa Nestlé pada awal tahun 2000-an.
Nestlé adalah perusahaan makanan dan minuman multinasional yang berkantor pusat di Vevey, Switzerland. Produk-produk yang dihasilkan oleh Nestlé meliputi makanan bayi, minuman botol, sereal sarapan, kopi dan teh, gula, susu, es krim, makanan beku, makanan hewan, dan cemilan (Bangsa, 2015).
Nestlé dibentuk pada tahun 1905 oleh penggabungan dari Perusahaan Susu Anglo-Swiss, yang didirikan pada tahun 1866 oleh George Page dan Charles Page bersaudara, dan Farine Lactée Henri Nestlé, didirikan pada tahun 1866 oleh Henri Nestlé. Perusahaan tumbuh signifikan selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II, memperluas penawarannya di luar produk awalnya, yaitu susu kental dan produk formula bayi (Bangsa, 2015).
Pada tahun 2000 Nestlé memutuskan untuk memanfaatkan luasnya jaringan dan mulai menjadi perusahaan raksasa. Untuk mewujudkan hal tersebut, perusahaan menandatangani kontrak dengan SAP senilai 200 juta USD untuk membangun sebuah sistem ERP untuk 230.000 karyawannya di dalam 80 negara di seluruh dunia (Olson, 2004, dalam Bangsa, 2015). Kemudian, Nestlé juga menyerahkan tambahan 80 juta USD yang dihabiskan untuk konsultasi, pemeliharaan, dan upgrade (Konicki, 2000, dalam Bangsa, 2015). Para eksekutif di Nestlé menyadari bahwa perusahaan membutuhkan untuk standarisasi proses bisnisnya jika ingin perusahaannya lebih kompetitif. Peluncuran telah dijadwalkan untuk mengambil tiga tahun untuk situs terbesar Nestlé (Bangsa, 2015).
Pada tahun 1997, Nestlé USA memulai proyek ERP yang dikenal sebagai BEST (Business Excellence Through Systems Technology) (Worthen, 2002). Proyek tersebut dijadwalkan untuk berjalan selama 6 tahun yang berakhir pada kuarter pertama di tahun 2003. Proyek ini telah dianggarkan lebih dari 200 juta USD dan akan mengimplementasikan 5 modul SAP, yaitu pembelian, finansial, penjualan dan pendistribusian, akun pembayaran, dan akun penerimaan (Worthen, 2002).
Istilah “Implementasi ERP” bisa menjadi mimpi buruk jika proses tersebut gagal. Kegagalan tersebut dapat berakibat buruk bagi bisnis mereka, baik vendor maupun perusahaan. Oleh karena itu Vendor, seperti SAP berusaha untuk bekerja dengan teliti untuk mempertaruhkan reputasi mereka untuk dapat mencapai kesuksesan dalam implementasi. Beruntung bagi perusahaan yang mempertimbangkan implementasi ERP berdasarkan kepada apa telah dilakukan pada perusahaan lain sehingga bisa mempelajari keberhasilan dan kegagalan implementasi (Bangsa, 2015).
Salah satu faktor kunci dari kesuksesan implementasi adalah jangan mencoba untuk membuat produk sama persis seperti idealnya dengan yang ingin dikerjakan atau dari sisi lain yang menganggap bahwa orang benar-benar akan mengubah prosesnya untuk memenuhi permintaan. Pertama, memerlukan waktu bertahun-tahun dan biaya yang dikeluarkan dan kedua, akan menemui hambatan besar (Adshead, 2002).
Kendala terakhir untuk dihindari dalam implementasi ERP adalah tidak untuk meremehkan pentingnya pelatihan. Hal ini tidak umum ketika usirseperti karyawan menerima pelatihan beberapa hari pada sistem baru dan kemudian tidak melihat sistem lagi untuk beberapa bulan. User membutuhkan pelatihan yang dalam dan harus dilibatkan dengan pengujian sistem jika memungkinkan untuk dilakukan (Adshead, 2002).
Sayangnya untuk Nestlé USA, mereka tidak memperhatikan kegagalan dari yang lainnya. Sepanjang implementasi, Nestlé USA membuat kesalahan besar yang hampir menghancurkan proyek tersebut. Ketika proyek dimulai, satu tim dari 50 top eksekutif dan 10 senior profesional IT telah berkumpul untuk mengembangkan kumpulan best practices untuk semua divisi Nestlé USA. Tujuannya adalah untuk mengembangkan best practices ini untuk semua fungsi dari organisasi. Setiap fungsi dari manufaktur sampai penjualan nantinya akan dipaksa untuk meninggalkan pendekatan lama mereka dan menerapkan best practice baru yang sudah dikembangkan. Secara bersamaan, tim teknis dituduh karena melaksanakan implementasi struktur data umum di seluruh perusahaan (Worthen, 2002).
Pada saat awal 2000, implementasi telah berubah menjadi bencana. Karyawan banyak yang tidak mengerti bagaimana menggunakan sistem baru dan hanya sedikit yang bersedia untuk membantu meluruskan kekacauan yang telah dikembangkan (Worthen, 2002).