Eksistensialisme merupakan pendatang baru dalam dunia filsafat. Kehadirannya merupakanÂ
sebuah kontra-respon terhadap masyarakat modern yang telah kehilangan individualitasnya. PadaÂ
masanya, manusia terjebak dalam isu objektivitas ilmu pengetahuan. Masyarakat modern yang pragmatis memiliki kecenderungan untuk mereduksi manusia menjadi sebuah mesin yang tidak memiliki kehendak. Eksistensialisme menilai ada sebuah gejala dehumanisasi dalam segala bidang.
Eksistensialisme berasal dari bahasa Latin, existere. Kata existere merupakan penggabungan dari kata ex: keluar dan sistere yang memiliki arti menempatkan, condong, merentang, dan berdiri. Jadi, secara bahasa, eksistensi bermakna menempatkan dirinya sendiri lebih menonjol dari yang lain. Atau dengan kata lain, eksistensialisme berarti cara manusia berada di dunia. Eksistensi merupakan istilah khas untuk manusia, tidak untuk benda atau hewan.Â
Terkait makna istilah, beberapa eksistensialis tidak seragam dalam memaknai eksistensialisme. Namun demikian, semuanya sepakat untuk menempatkan manusia sebagai isu utama. Eksistensialisme menekankan kesadaran manusia dalam mengambil sebuah keputusan yang beresiko di masa yang akan datang. Manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi. Eksistensialisme meneliti bagaimana cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Eksistensialisme lahir sebagai respon atas pandangan yang materialistik terhadap manusia. Materialisme menempatkan manusia sama dengan benda lain yang ada di dunia dengan sedikit keunggulannya. Namun demikian, hakikat manusia dipandang sebagai materi. Hal, demikian yang ditentang eksistensialisme. Tidak hanya materialisme yang dikritik oleh eksistensialisme, idealisme juga direspon karena berpandangan sama ekstrimnya dengan materialisme dalam memandang manusia dan kehidupannya. Berbeda dengan materialisme yang menempatkan manusia sama dengan benda yang lain sebagai objek, idealisme berpandangan sebaliknya yakni menempatkan manusia hanya sebagai subjek,Â
kesadaran, pemikiran atau rohaniahnya semata. Pandangan demikian dikritik oleh eksistensialismeÂ
yang mengingatkan bahwa subjektivitas manusia ada karena menghadapi objek. Eksistensialisme berpandangan bahwa manusia bereksistensi sebagai manusia karena berinteraksi dengan realitas diÂ
sekelilingnya.
Konsep pendidikan dalam eksistensialisme Martin Heidegger
Eksistensialisme dan pendidikan memiliki keterkaitan yang erat. Keduanya bersinggungan pada persoalan yang sama, yaitu manusia dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Bedanya, eksistensialisme memfokuskan kajiannya pada keberadaan manusia, sedangkan pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan hanya oleh manusia. Dalam eksistensialisme,Â
keberadaan manusia menjadi modus utama keberadaan objek di sekitar manusia, sedangkanÂ
pendidikan yang dilakukan manusia berusaha mengasah dan mengolah potensi yang ada dalam diriÂ
manusia agar berada. Akan tetapi, kaum eksistensialis berpandangan bahwa pendidikan yang adaÂ
selama ini hanya berupa propaganda untuk memikat manusia. Pendidikan digunakan sebagai alat untuk memproduksi manusia yang terampil sebagai penggerak dalam mesin industrial dan birokrasi modern. Pendidikan dianggap telah memusnahkan sifat-sifat kemanusiaannya.
Bertolak dari eksistensialisme Heidegger, pendidikan seharusnya menjadi media manusia untukÂ
membuka diri terhadap dunianya. Pendidikan adalah media untuk mengada bagi manusia yang setiapÂ
individu pasti ada perbedaan. Oleh karenanya, pendidikan seharunya mampu mengakomodir setiap perbedaan dari masing-masing individu. Penyeragaman adalah bentuk dari penindasan dan pendistorsian subjektivitas manusia. Pendidikan seharusnya memberikan kebebasan manusia untuk memilih secara sadar dan bertanggung jawab atas kecenderungan yang diminatinya.
Berangkat dari asumsi eksistensialisme tersebut terkait pendidikan, maka pendidikan harus merumuskan ulang tentang tujuan pendidikan, makna guru, makna peserta didik, kurikulum, dan materi pembelajaran. Pertama, tujuan pendidikan harus dirubah arahnya untuk membantu peserta didik dalam mengeluarkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kedua, seorang guru harus membantu peserta didiknya untuk mampu menyadari eksistensi dirinya. Setelah itu, seorang guru harus mendorong peserta didik untuk mampu bertindak sesuai pillihannya secara sadar dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, guru bertindak sebagai fasilitator, tidak lagi bertindak sebagai satu- satunya sumber pengetahuan peserta didik. Ketiga, peserta didik dalam pandangan eksistensialisme  diberi kebebasan untuk menentukan pilihan minat dan bakatnya. Peserta didik juga diberi kebebasan untuk memilih apa yang akan dipelajarinya secara sadar. Peserta didik dituntut aktif dalam mencari pengetahuan dari berbagai sumber. Keempat, kurikulum dalam pandangan eksistensialisme tidak  boleh diberlakukan untuk semua peserta didik. Alasannya karena setiap individu dipandang memiliki  keunikan berdasarkan pengalaman eksistensinya. Kurikulum yang tepat untuk peserta didik adalah kurikulum yang mengarahkan manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya. Dan kelima, materi pembelajaran dengan kondisi peserta didik. Materi pembelajaran bukan sesuatu yang asing bagi peserta didik, tetapi ia adalah aspek dari kondisinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H