Melihat fenomena saat ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) tengah kalut dengan banyaknya pemberitaan negatif mulai dari gaya hidup hedonisme dan konsumtif, mencuatnya kasus korupsi dengan nilai fantastis, keterlibatan oknum dalam politik praktis, hingga tingginya angka radikalisme dan intoleransi yang dilakukan melalui media sosial. Sejak dahulu, profesi ASN tidak lepas dari stereotip dan anekdot yang berkembang di masyarakat, seperti contohnya ASN yang diidentikkan dengan sifat malas dan korup.Â
Upaya pemerintah mengubah persepsi publik tentang kinerja ASN menjadi semakin sulit karena adanya pemberitaan-pemberitaan tersebut. Tak ayal, kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi yang mulai terbangun pun menjadi dipertaruhkan. Degradasi mental dan etika di ranah birokrasi bukan tanpa sebab, adanya permasalahan dalam perilaku dan budaya kerja menunjukkan bahwa ASN semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, termasuk di dalamnya nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Seorang ASN sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun  2014  tentang  ASN,  mengampu  tiga fungsi utama, yaitu  sebagai  pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Sebagai salah satu unsur yang memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan, pembangunan, serta kemasyarakatan, maka apapun yang dilakukan oleh ASN baik yang berkaitan langsung dengan kedinasan maupun di luar kedinasan selalu akan diperhatikan dan dicontoh oleh masyarakat. Karenanya, ASN seharusnya tidak hanya menguasai kemampuan teknis, namun juga harus memiliki kemampuan non teknis, salah satunya adalah kemampuan bertindak dan perfikir sesuai norma, salah satunya Pancasila.
Pancasila sejatinya merupakan warisan Pendiri Bangsa, di mana nilai-nilai luhur di dalamnya telah melalui sejarah panjang dan terbukti mampu menjadi pedoman dan pemecahan masalah kebangsaan. Oleh karenanya, revitalisasi, penguatan, dan internalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan tidak hanya sebagai langkah pelestarian, namun juga upaya penguatan birokrasi dan kepemerintahan. Di dunia birokrasi, terkadang sesuatu yang terlalu progresif cenderung sulit diaplikasikan.Â
Sehingga upaya-upaya sederhana namun realistis, sedikit demi sedikit namun pasti, diharapkan mampu membangkitkan nilai Pancasila dalam tubuh birokrasi.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (2) tentang Aparatur Sipil Negara, menjelaskan bahwa ASN merupakan pegawai pemerintahan Indonesia yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. ASN juga berperan sebagai perekat dan pemersatu bangsa, di mana harus menjunjung tinggi nilai-nilai dasar Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta cinta tanah air, ditunjukkan melalui sikap dan perilaku kerja yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan. Sehingga, sudah menjadi sebuah keharusan bahwa ASN harus mempedomani diri dengan nilai-nilai dasar Pancasila.
Tindak pidana korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai ketuhanan pada Sila Pertama Pancasila, karena dia menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri dan mengabaikan ajaran seluruh agama untuk tetap bertindak sesuai jalur yang benar. Manusia memiliki sifat tidak pernah puas, ditambah lagi dengan lemahnya penerapan nilai Sila Pertama Pancasila, maka tindak korupsi tidak lagi dipandang sebagai sebuah kejahatan serius. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 579 kasus telah ditindak di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah tersebut meningkat 8,63% dibandingkan tahun sebelumnya. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia membuat adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pegawai atau pejabat pemerintahan termasuk ASN.
Tindak korupsi yang dilakukan oleh ASN menyangkut uang rakyat yang semestinya digunakan sesuai kehendak rakyat dan berlandaskan peraturan perundang-undangan. Padahal peran ASN adalah sebagai perencana, pelaksana, dan penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional seharusnya bersih dari korupsi. Korupsi adalah penyakit yang menghancurkan sebuah negara jika tidak segera diatasi.
Alasan seorang ASN melakukan tindak korupsi sangat beragam, diklasifikasikan melalui Teori GONE yang dikenalkan oleh Jack Bologne. Elemen yang terdapat pada Teori GONE, yaitu keserakahan (greeds), kesempatan (oppotunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan  (exposures). Awal mula korupsi terjadi karena  adanya keserakahan seseorang yang didukung dengan adanya kesempatan. Jika kedua unsur tersebut ada, maka akan menjadi bibit munculnya tindak korupsi. Setelah keserakahan dan kesempatan, maka akan timbul kebutuhan yang berlebih karena gaya hidup konsumtif dan terakhir karena faktor hukum yang tidak dapat menimbulkan efek jera. Seorang ASN yang pernah melakukan tindak korupsi memiliki moral yang lemah sehingga besar kemungkinan untuk kembali terjerumus ke dalam lingkaran korupsi, oleh karenanya, perlu ada penguatan mental melalui internalisasi nilai Pancasila.
Salah satu nilai yang dapat diterapkan dari Sila Kedua Pancasila dalam kehidupan sebagai ASN adalah memperlakukan manusia sesuai dengan hak, harkat, dan martabatnya. Namun, karena lemahnya internalisasi nilai Pancasila, menyebabkan masih adanya diskriminasi dalam pembangunan dan pelayanan  publik. Diskriminasi kerap terjadi saat kelompok minoritas hendak mengakses pelayanan pendidikan dan keadministrasian lain. Perbedaan kualitas pelayanan antara masyarakat penerima manfaat/bantuan dengan masyarakat yang membayar secara mandiri juga kerap menjadi sorotan publik. Padahal, ASN merupakan pelayan yang sudah menjadi kewajibannya
untuk memberikan pelayanan professional, berkualitas, sesuai prosedur dengan tanpa membeda-bedakan status sosial dan latar belakang seseorang. Kesetaraan akses pelayanan publik juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Regulasi ini mengamanatkan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kurangnya kualitas pelayanan publik selama ini menjadi salah satu variabel penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia dimaknai sebagai keutuhan dalam satu ikatan NKRI baik dari segi ideologi maupun kewilayahan. Namun mirisnya, data dari Kementerian PANRB melaporkan bahwa pada tahun 2021 saja terdapat 27 ASN yang terbukti berafiliasi dengan kelompok radikal, artinya masih ada ASN yang memiliki paham separatisme dan radikalisme yang menginginkan perubahan wilayah dan ideologi Bangsa Indonesia.Â
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa, Pegawai Negeri Sipil harus setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah. Jadi dapat dikatakan apabila ASN tergabung ke dalam kelompok radikal berarti ASN melakukan pelanggaran disiplin. Masih menyusupnya paham radikalisme dan separatisme di tubuh birokasi salah satunya karena mudahnya ASN terdoktrinasi paham baru sebab mulai apatis dengan nilai Pancasila.
Seorang ASN diharuskan netral dan bebas dari intervensi partai politik, agar Pemilihan Umum dapat berjalan secara jujur dan adil. Tetapi faktanya, masih ditemui ASN yang terlibat aktif dalam pelaksanaan politik praktis. Ada tiga hal yang menyebabkan ASN tidak netral, yang pertama solidaritas kekerabatan ASN dengan politisi yang akan maju dalam kontestasi politik, kedua mobilisasi yang dilakukan oleh atasan, dan yang ketiga kepentingan oknum ASN untuk mendapatkan jabatan.Â
Hal tersebut bersinggungan dengan sila keempat, yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Istilah netralitas perlu dipahami secara benar oleh ASN. Pada dasarnya, netralitas tidak diatur untuk membelenggu kebebasan ASN dalam mewujudkan aspirasi politiknya. ASN dituntut untuk menjalankan amanahnya sebagai abdi negara yang bekerja semata-mata demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau partai politik tertentu.
Pemberian bantuan sosial kepada masyarakat merupakan salah satu implementasi sila kelima Pancasila yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Namun, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah karena tidak meratanya penyebaran bantuan sosial tersebut. Biasanya pemerintah memberikan bantuan sosial kepada keluarga pra-sejahtera, korban bencana alam, dan sebagainya. Tujuan diberikannya bantuan sosial adalah untuk mengurangi risiko sosial yang ditimbulkan dari kondisi tertentu.Â
Dalam proses formal perundang- undangan tentang mekanisme anggaran sudah dibuat sedemikian rupa, namun masih terjadi penyalahgunaan anggaran yang dilakukan oleh ASN, bahkan proses perumusannya masih  didominasi kepentingan  elit.  Proses tersebut hanya  dimaknai sebagai proses formal dan masih jauh dari nilai-nilai keadilan dalam penyelenggaraan pemerintah yang baik. Politisasi anggaran publik tersebut dapat ditelusuri dari besarnya anggaran yang diterima dan siapa yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan.
-Rio Pongpadati-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H