Mohon tunggu...
Rio Nur Ilham
Rio Nur Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati

Bukan Basa-basi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kampanye Demokrasi Amerika Serikat Dipertanyakan setelah Israel Mendegradasi Mahkamah Agung

4 Agustus 2023   15:05 Diperbarui: 4 Agustus 2023   15:07 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesudah perang dunia pertama dan sebelum serangan 9 November 2001 di Kota New York, Amerika Serikat, hanya satu alasan negeri Paman Sam ini bertingkah seolah hiperaktif, yakni mengampanyekan demokrasi yang di dalamnya terdapat seperangkat lengkap tentang hak asasi manusia (HAM). Doktrin ini, demokrasi, diyakini lebih manusiawi ketimbang autokrasi di mana kekuasaan pemerintahannya berada di satu tangan/lembaga yang sedikit banyak akan mengancam hak asasi warganya.

Terus terang saja, saya penggemar berat Amerika Serikat karena doktrin tersebut. Bahkan saya agak usil mengatakan orang yang mengaku pro Barat sesungguhnya sedang menyatakan dirinya waras. Ya, kan karena itu juga blok demokrat menang berkali-kali melawan blok autokrat. 

Sebut saja, mulai dari autokrat versi fasis di edisi dua perang dunia, versi komunis-satu partai saat perang dingin, dan versi agamais garis keras. Versi yang terakhir ini, agamais, rasanya tak berujung karena AS mencampuradukkannya ke dalam persoalan teroris pascatragedi 9/11.

Nah, dalam tujuh bulan belakangan sampai 24 Juli kemarin, AS membuat penggemarnya geleng-geleng kepala lagi dan lagi. Hal itu lantaran Washington terkesan diam ketika Israel, sahabat mereka dalam memerangi atau bertahan dari pengaruh blok autokrat di Timur-Tengah, meratifikasi produk hukum yang isinya mencabut peran Mahkamah Agung dalam konsep trias politika. Sekarang parlemen Israel bisa meloloskan undang-undang sesuka hati tanpa khawatir dianulir warganya lewat Mahkamah Agung.

Kegilaan PM Netanyahu yang melumpuhkan sistem peradilan jelas telah mengubah Israel menjadi negara autokrasi alih-alih demokrasi. Sementara itu Presiden AS Joe Biden bahkan diberitakan tidak menekan Yerusalem untuk merintangi niatan PM Netanyahu itu. Juga tidak ada ancaman lanjutan dari AS untuk menyikapi isu tersebut, padahal masyarakat prodemokrasi dunia sudah mengipasi Gedung Putih untuk bertindak tegas. Di Israel sendiri telah berlangsung demo besar-besaran sejak Januari lalu sampai sekarang. Maka diamnya AS seolah-olah membuka kedok kepalsuan kampanye demokrasi dan hak asasi mereka selama ini.

Seperti yang Anda sendiri pun tahu, Israel adalah negara demokrasi parlementer yang menganut prinsip trias politika. Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist pada 2022 menempatkan Israel di urutan 29, bahkan berada 25 tingkat di atas Indonesia, dan menjadi rangking kelas di antara negara-negara kawasan arab. Artinya demokrasi di Israel itu sangat bagus.

Fakta itu membuat semua orang kecewa dan curiga jika AS tak kunjung mengembargo sekutunya yang baru saja, dalam istilah orang muslim, murtad. Ke mana Amerika Serikat yang dikenal getol mencampuri negeri orang dengan dalih hak asasi dan demokrasi?

Standar ganda AS dalam memosisikan kebijakan geopolitiknya sebenarnya bukan sekali ini saja. Saya masih ingat saat mulanya intelijen dan parlemen AS begitu keras menekan pangeran Saudi, Salman, atas kasus pembunuhan wartawan Jamal Khasoggi. Kolumnis koran Washington Post itu disiksa sebelum dibunuh di gedung konsulat Saudi di Turki lantaran yang bersangkutan memiliki cerita yang menyinggung Kerajaan Saudi dan hendak naik cetak. Meski dikipasi, Presiden Trump saat itu bersikeras tidak ingin ikut campur sehingga AS tidak memiliki sikap resmi terhadap kekejian itu.

Lalu ketika Biden gantian berkantor di Gedung Putih, dia malah mengunjungi Saudi untuk ngemis produk energi yang terdampak dari perang Ukraina. Biden bahkan menjabat tangan Pangeran Salman, si tersangka utama pembunuhan Khasoggi. Padahal dalam kampanyenya, Biden heroik ngata-ngatain Pangeran Salman tentang betapa buruknya Saudi soal hak asasi lantaran tak menindaklanjuti kematian Khasoggi.

Melihat dua kasus itu saja kita jadi pusing tujuh keliling menerka jalan pikiran AS. Mereka sudah seperti negara oportunis. Yang jelas intinya, Presiden AS, entah dari Partai Republik atau Demokrat (AS), sama-sama berstandar tak menentu dalam geopolitik.

Yang lebih parah dalam rentetan kebusukan standar ganda AS itu, adalah saat jurnalis Al Jazeera keturunan Amerika-Palestina, Shireen Abu Akleh, ditembak hingga tewas oleh aparat Israel. Shireen padahal sedang bertugas meliput peristiwa bentrokan antara Palestina dan Israel. Shireen juga dipastikan menggunakan tanda pengenalnya saat ditembak.

Tak sampai di situ, mayat dan pelayat yang hendak memakamkan mendiang Shireen pun ditembaki aparat Israel. Dunia lantas kompak memarahi Israel, bahkan keluarga korban dan LSM dunia pun berusaha minta tolong ke AS agar bicara dengan Yerusalem. Tapi AS seperti biasa: diam-diam saja kayak sapi ompong.

AS pada kasus-kasus tersebut gagal bersikap sebagai negara terdepan dalam memperjuangkan hak asasi dan demokrasi. Bayangkan, jantung demokrasi dipermainkan seperti itu---wartawan yang dibunuh saat bertugas---dan AS hanya mengomentarinya secara normatif, bahkan tidak sampai jumpa pers untuk menekan atau mengutuk Israel.

Saya lalu terkekeh saat membaca rencana PBB yang hendak mengecam kebencian atau kefanatikan terhadap agama. Resolusi ini digadang-gadang akan merespons perlakuan buruk terhadap pembakar kitab suci yang baru-baru ini marak di negara-negara skandinavia. 

AS seperti yang kita tahu, tidak mendukung resolusi tersebut lantaran berpegang teguh pada prinsip kebebasan berekspresi yang masuk pada hak asasi. AS seolah-olah mempersilakan benci terhadap agama meskipun dengan cara membakar kitab suci.

Jika berusaha mengikuti jejak pikir AS tersebut maka kesimpulannya menembaki wartawan yang sedang bertugas pun merupakan kebebasan berekspresi? Atau memberangus peradilan pun masuk pada kebebasan berekspresi para politikus yang bercita-cita menjadi otoritarian yang akan mengancam prinsip demokrasi? Begitukah?

Oh, Amerika Serikat yang saya dewakan, tolong jangan bodohi kami berulang-ulang seperti ini. Kalian itu diharapkan menyadarkan kegilaan pemerintah China, Iran, Korut, Saudi, Myanmar, Afganistan, dan Rusia tentu saja. Pemerintah negara-negara itu telah mengancam warganya di banyak kesempatan karena tak menerapkan demokrasi. Hanya kepada kebijaksanaan AS warga-warga tak berdosa itu berharap, bukannya malah AS pura-pura tebang pilih tentang siapa yang patut dibela.

Begitu juga dengan warga Israel, negara sahabatmu. Warga-warga di sana cemas akan menghadapi pemerintahan otoriter. Apa yang akan kau lakukan, AS? Membiarkan mereka berdemo sampai ditembaki sebagaimana tabiat polisi Israel dan apalagi jika pemerintahannya otoriter? Hei, sudah tujuh bulan warga turun ke jalan. Apa rencanamu, AS?

Jangan sampai gosip-gosip bahwa orang-orang besar di Israel adalah penyumbang terbesar dana kampanye Gedung Putih dinyatakan bukan gosip lagi. Mungkin orang memang tahu tentang itu, tapi paling tidak Presiden Biden bisa mengadakan jumpa pers selama setengah jam penuh, misalnya, untuk menyatakan keprihatinan terhadap matinya demokrasi di Israel. Jangan diam saja atau cuap-cuap normatif, dong!

Saya sudah tidak tahan lagi berpikir positif. Sebagai penggemar berat AS saya meminta Presiden Biden untuk menutupi kepalanya pakai karung jika bepergian keluar Gedung Putih kalau dia tak juga buka suara. Demokrasi telah dibunuh oleh negara sahabatnya sendiri, lantas mau taruh di mana lagi muka pemerintahan AS ini, hah?

Tutupi muka kalian. Itu pun kalau kalian punya malu...

~Rio

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun