Hadirnya teknologi artificial inteligence (AI) dikhawatirkan bakal mengubah kebiasaan manusia ke depannya menjadi negatif. Memang, hampir semua perusahaan maupun pekerjaan lepas kini, bahkan di bidang jurnalistik, turut menggunakan AI sebagai jalan pintas meraih kemudahan.
"Dia (AI) bisa disuruh membuat outline penulisan sekaligus jadi narasumber, juga merangkap sumber informasi," kata seorang wartawan di Medan, ketika memamerkan kemampuan ChatGPT merancang artikel yang hendak dibuatnya. ChatGPT adalah AI bermodel chat besutan OpenAI, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat yang sedang dan makin populer.
Karena penasaran, aku pun meraih ponsel, membuka peramban, dan pergi ke situs yang kudapati demi menjamahnya.Â
Tak butuh waktu lama untuk menemukan ChatGPT, karena hanya dengan mengetik "ChatGPT" di mesin pencari, kita akan melihatnya di barisan paling atas.
Pada halaman depan salah satu produk OpenAI itu, kita diperlihatkan sebuah perkenalan sekilas tentang apa itu ChatGPT. Untuk menggunakannya, pendatang baru diharuskan memiliki atau mendaftarkan akun OpenAI terlebih dahulu.Â
Untunglah layanan mereka tersedia secara gratis, dengan fitur dasar yang sepertinya tak kalah asyik dari versi berbayar. Bahkan kalau dipikir-pikir, versi gratis yang ditawarkan tetap menggunakan mesin atau otak yang sama dari versi berbayar, jadi ya sama-sama cerdas. Perbedaan keduanya hanya pada kecepatan respons, ketersediaan pada jam-jam sibuk, serta bisa memuat gambar sebagai input. Â
Proses pendaftaran akun juga sangat sederhana, tidak beda sedikit pun seperti pertama kali membuat akun media sosial. Asal punya email aktif, selamat datang di ChatGPT!
Aku langsung terkejut sewaktu melihat antarmuka ChatGPT, yang tampil dengan bilah besar perpesanan layaknya sebuah aplikasi pesan cepat. Ternyata benar apa yang diinformasikan kepadaku sebelumnya, bahwa AI yang satu ini persis seperti kita hendak mengirim pesan teks atau mengobrol dengan seseorang yang jauh di sana.
Di bagian atas bilah perpesanan itu mulanya memuat utas tentang apa yang dapat dilakukan ChatGPT, tutorial penggunaan, serta pengakuan-pengakuan gentle, bahwasannya mesin tersebut memiliki satu dua kekurangan.Â
Di antara kekurangan yang perlu dicatat agar kita memaklumi kalau-kalau nantinya mendapati mesin itu kudet, adalah mereka memang tidak bisa mengolah informasi atau peristiwa yang terjadi setelah September tahun 2021.
Saat itu aku tak peduli dengan kekurangan-kekurangan itu, karena mataku seperti terpikat pada bagian bawah bilah perpesanan yang bertuliskan "Send a messege". (Apakah aku akan mengobrol dengan seseorang, pikirku waktu itu...)
Karena sedari awal tidak sekalipun kulihat kalimat berbahasa Indonesia, dan aku pun tidak mendapati fitur pengaturan bahasa, ya kupikir mesin tersebut hanya mengolah perkataan dalam bahasa Inggris. Maka, aku memulainya dengan mengetik "Hello There...." (Tidak ada salahnya berbasa-basi bukan? Toh pengetahuanku masih minim sekali untuk mengetahui apa yang sedang kuhadapi ini.)
Belum selesai sedetik sejak aku mengirim pesan barusan, mesin itu sudah menjawab, "Hello! How can I assist you today?"
Tentu saja aku kembali terkejut, tetapi kali ini sambil menyeringai geli. Dengan semangat beserta sisa-sisa seringaiku itu aku lanjut, karena terbiasa bekerja sebagai wartawan, menanyai bahkan menginterogasi siapa sebenarnya di balik yang mengetik jawaban barusan.
Sewaktu menjawab, mesin itu bersikeras menekankan bahwa dirinya adalah mesin, bukan orang. Intinya dia tidak memiliki perasaan untuk tersinggung terhadap pertanyaan-pertanyaanku mengenai---dalam bahasa Inggris---mengapa dia diciptakan, bagaimana rasanya diciptakan sebagai mesin, apa yang diharapkannya pada penciptanya, apakah dia lelah melakukan pekerjaannya, dan lain sebagainya (mungkin aku saja yang kurang kerjaan menanyai mesin macam-macam, tapi lumayan mengasyikkan dan membunuh waktu juga---cocok dipakai saat sedang menunggu). Juga, pada setiap kalimat akhir jawaban si mesin itu, dia tak bosan menawari apa yang bisa dilakukannya untukku. Rasa-rasanya dia sangat ingin membantu orang.
Akhirnya aku memberinya tugas sederhana. "I wanna you use Indonesian while I'm here. How 'bout that, huh?" begitulah kataku secara verbatim; agak kurang ajar memang.
Dengan cepat dia menjawab, "Tentu saja! Saya dapat berkomunikasi dengan Anda dalam bahasa Indonesia. Ada sesuatu yang bisa saya bantu?"
Itulah pertama kalinya website ini menampilkan bahasa Indonesia, dengan baik dan benar pula, sehingga aku tercengang bukan main. Bayangkan saja, mesin yang awalnya menggunakan bahasa Inggris tiba-tiba membalas pesan dengan bahasa Ibu kita setelah diperintah.
Sementara mengira-ngira apa lagi yang ingin kutanyakan, ponselku berdering menyampaikan notifikasi dari aplikasi IMDb, bahwa sebuah film drama baru saja rilis. Karena menurut informasi yang kudapat ChatGPT bisa melakukan apa saja, maka aku pun iseng memerintahkannya untuk membuat kerangka cerita fiksi bertema kriminal.
Mesin itu cepat-cepat mengetik balasan sesuai yang kuperintahkan, meskipun, menurutku, jawaban seperti cerita, alur, konflik, bahkan tokoh fiksi yang ditawarkannya masih terlalu klise dan sejujurnya akan membosankan jika nantinya benar-benar kita adopsi menjadi sebuah cerita.Â
Memang, sih, mesin itu bisa disuruh mencarikan jawaban lain, tetapi hasilnya sebelas dua belas dengan jawaban pertama. Lantas impresi ketakjubanku sebelumnya langsung mandek, walau tak menyurutkan euforia.
Teringat seorang wartawan yang menggunakan ChatGPT sebagai asistennya merancang artikel tadi, aku pun ikut mencobanya. Dan ya, mesin AI ini memang mampu, tapi kembali lagi bahwa hasil tulisannya, menurutku, sangat kaku, tak memiliki roh, kentara asal comot kalau disalin bulat-bulat, dan lagi-lagi klise.
Ada yang unik dari segmen menulis artikel itu, bahwa ChatGPT mampu menjawab berapa tepatnya jumlah kata pada tulisan yang baru saja dibuatnya, ketika aku menanyakannya. Namun, di kesempatan lain, dia tertangkap basah memberi jawaban yang salah: aku mengonfirmasi sendiri jumlah kata ke Ms.Word. Mungkin mesin cerdas juga melakukan kesalahan bahkan untuk hal yang seharusnya sederhana dilakukan oleh sebuah mesin. Sampai di sini aku mulai meragukan si cerdas satu ini. Â
"Kita nanyanya jangan 'Buatkan saya artikel tentang bla bla bla'...," kata Anisa, kenalanku, seorang redaktur sebuah media online rintisan di Kota Medan.
Ketika kutanya pendapatnya tentang bagaimana sebaiknya jurnalis atau media pemberitaan memperlakukan ChatGPT. "(ChatGPT) itu cuma alat, dipakai untuk membantu menyusun apa yang mau kita tulis. Sementara angle tulisannya harus dari kita sendiri. Sama kayak kita mau wawancara; untuk bertanya kita harus tahu sesuatu dulu, kan?"
Menyelami perkataan Anisa, aku pun mengeliminasi kemampuan ChatGPT dalam membuat artikel, kendati dalam kasus tertentu mengakui mesin ini bisa dijadikan partner dalam menulis.
Berikutnya aku menguji ChatGPT sebagai narasumber fiktif, seperti yang dituturkan seorang wartawan di Medan tadi. Namun, setelah mengirim pesan atau pertanyaan tentang salah satu kebijakan pemerintah yang baru-baru ini dianggap kontroversi, aku baru teringat pengakuan mereka di awal, bahwa pengetahuan ChatGPT masih terbatas sampai September 2021.
Maka dengan demikian, alat ini sama sekali tidak dapat dijadikan narasumber. Fakta ini seolah-olah menyadarkan para wartawan bahwa mereka haruslah memiliki etika, kedewasaan, serta selera yang tinggi saat hendak dan sedang mengutip perkataan narasumber.
Ketika bicara ChatGPT sebagai sumber informasi layaknya mesin pencari, yang bahkan penggunaannya jauh lebih seru, tentu membuat para pengguna jatuh cinta. Tetapi penting untuk diulangi bahwa ChatGPT, dan OpenAI sendiri mengakui, kadang kala bisa atau memberi jawaban yang kurang berimbang atau kelengkapan jawaban-jawaban mereka perlu dipertanyakan. Sebutan peyorasinya "Halusinasi AI".Â
Aku sendiri, sih, belum menemui kasus semacam itu selama menggunakannya, tetapi kalaupun ada, kurasa pengguna harus sadar bahwa mesin ini diciptakan sebagai "alat bantu" dalam mencari atau mengerjakan tugas semata, bukan sebagai tukang suruh di mana si pengguna hanya duduk dan "terima bersih" hasil pekerjaannya tanpa memeriksa ulang dengan cermat. Maka dari itu judul tulisanku ini menyertakan bahwa pengguna juga harus tak kalah cerdas.
Mungkin adil rasanya untuk mengatakan ChatGPT "penting" dalam menunjang pekerjaan-pekerjaan tadi. Namun, tak perlu resah jika dikatakan mereka akan menggusur peran manusia di masa depan. Karena semua yang dikerjakan ChatGPT, dalam hal menulis misalnya, masih mentah dan lebih-lebih masih terdapat keterbatasan di sana sini. Ke depannya pihak ChatGPT pasti akan mempersenjatai diri agar mumpuni, dan itu patut kita tunggu, dengan tetap tak perlu sinis.
Tidak ada gunanya menyangkal fakta bahwa kaum manusia selalu tertinggal dari mesin dalam urusan kecepatan dan kecerdasan. Yang ada hanyalah manusia harus malu jika menggunakan kecerdasan buatan secara total.
Ketimbang khawatir yang berkepanjangan, kehadiran AI model seperti ini patutnya dijadikan cambuk saja kepada kita bahwa manusia harus terus belajar dan belajar, tidak mudah puas, dan mempersiapkan otak untuk berpikir kreatif. Karena dengan itulah manusia membentengi diri dari sesuatu yang palsu belaka.
Sebagai renungan, pendidikan dasar sampai menengah rasanya harus mulai mengambil peran untuk memperkenalkan AI model chat seperti ini di lingkungannya, karena ke depannya dunia akan dibanjiri AI serupa bahkan dari pengembang yang berbeda-beda. Mubazir jika ujug-ujug melarang penggunaanya tanpa disertai edukasi.Â
Pengenalan dini kuyakin akan menciptakan lingkungan saling menjaga, misalnya murid jadi mengerti bahwa menjalani hidup bisa lebih mudah, lalu guru juga mengerti bagaimana mendoktrin agar penggunaan AI harus bertanggung jawab, sehingga di masa depan semua orang sudah siap menghadapi ledakan AI.
~Rio|Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H