Teringat seorang wartawan yang menggunakan ChatGPT sebagai asistennya merancang artikel tadi, aku pun ikut mencobanya. Dan ya, mesin AI ini memang mampu, tapi kembali lagi bahwa hasil tulisannya, menurutku, sangat kaku, tak memiliki roh, kentara asal comot kalau disalin bulat-bulat, dan lagi-lagi klise.
Ada yang unik dari segmen menulis artikel itu, bahwa ChatGPT mampu menjawab berapa tepatnya jumlah kata pada tulisan yang baru saja dibuatnya, ketika aku menanyakannya. Namun, di kesempatan lain, dia tertangkap basah memberi jawaban yang salah: aku mengonfirmasi sendiri jumlah kata ke Ms.Word. Mungkin mesin cerdas juga melakukan kesalahan bahkan untuk hal yang seharusnya sederhana dilakukan oleh sebuah mesin. Sampai di sini aku mulai meragukan si cerdas satu ini. Â
"Kita nanyanya jangan 'Buatkan saya artikel tentang bla bla bla'...," kata Anisa, kenalanku, seorang redaktur sebuah media online rintisan di Kota Medan.
Ketika kutanya pendapatnya tentang bagaimana sebaiknya jurnalis atau media pemberitaan memperlakukan ChatGPT. "(ChatGPT) itu cuma alat, dipakai untuk membantu menyusun apa yang mau kita tulis. Sementara angle tulisannya harus dari kita sendiri. Sama kayak kita mau wawancara; untuk bertanya kita harus tahu sesuatu dulu, kan?"
Menyelami perkataan Anisa, aku pun mengeliminasi kemampuan ChatGPT dalam membuat artikel, kendati dalam kasus tertentu mengakui mesin ini bisa dijadikan partner dalam menulis.
Berikutnya aku menguji ChatGPT sebagai narasumber fiktif, seperti yang dituturkan seorang wartawan di Medan tadi. Namun, setelah mengirim pesan atau pertanyaan tentang salah satu kebijakan pemerintah yang baru-baru ini dianggap kontroversi, aku baru teringat pengakuan mereka di awal, bahwa pengetahuan ChatGPT masih terbatas sampai September 2021.
Maka dengan demikian, alat ini sama sekali tidak dapat dijadikan narasumber. Fakta ini seolah-olah menyadarkan para wartawan bahwa mereka haruslah memiliki etika, kedewasaan, serta selera yang tinggi saat hendak dan sedang mengutip perkataan narasumber.
Ketika bicara ChatGPT sebagai sumber informasi layaknya mesin pencari, yang bahkan penggunaannya jauh lebih seru, tentu membuat para pengguna jatuh cinta. Tetapi penting untuk diulangi bahwa ChatGPT, dan OpenAI sendiri mengakui, kadang kala bisa atau memberi jawaban yang kurang berimbang atau kelengkapan jawaban-jawaban mereka perlu dipertanyakan. Sebutan peyorasinya "Halusinasi AI".Â
Aku sendiri, sih, belum menemui kasus semacam itu selama menggunakannya, tetapi kalaupun ada, kurasa pengguna harus sadar bahwa mesin ini diciptakan sebagai "alat bantu" dalam mencari atau mengerjakan tugas semata, bukan sebagai tukang suruh di mana si pengguna hanya duduk dan "terima bersih" hasil pekerjaannya tanpa memeriksa ulang dengan cermat. Maka dari itu judul tulisanku ini menyertakan bahwa pengguna juga harus tak kalah cerdas.
Mungkin adil rasanya untuk mengatakan ChatGPT "penting" dalam menunjang pekerjaan-pekerjaan tadi. Namun, tak perlu resah jika dikatakan mereka akan menggusur peran manusia di masa depan. Karena semua yang dikerjakan ChatGPT, dalam hal menulis misalnya, masih mentah dan lebih-lebih masih terdapat keterbatasan di sana sini. Ke depannya pihak ChatGPT pasti akan mempersenjatai diri agar mumpuni, dan itu patut kita tunggu, dengan tetap tak perlu sinis.
Tidak ada gunanya menyangkal fakta bahwa kaum manusia selalu tertinggal dari mesin dalam urusan kecepatan dan kecerdasan. Yang ada hanyalah manusia harus malu jika menggunakan kecerdasan buatan secara total.