Mohon tunggu...
Rio Nur Ilham
Rio Nur Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati

Bukan Basa-basi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Buruh Diabaikan

6 Oktober 2020   01:14 Diperbarui: 6 Oktober 2020   20:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Poster tolak kapitalisme dalam demo kelompok buruh di London, Inggris (1/4/2009). (Foto: Wikimedia Commons: Jonny White) 

DPR dan pemerintah, Senin (5/10) petang sepakat meratifikasi RUU Cipta Kerja. Sebelumnya, pengesahan RUU Sapu Jagat itu direncanakan pada tanggal 8 Oktober. Namun, dengan alasan takut akan ancaman Covid-19 yang semakin masif, pengesahannya dimajukan hari ini. 

Pengesahan RUU yang dinilai menindas buruh ini melenggang mulus di Paripurna DPR. Hanya fraksi PKS dan Demokrat yang konsisten merintanginya. Pada menit-menit terakhir Demokrat sampai melakukan aksi walk out dan menyatakan sikap bahwa mereka tidak bertanggungjawab atas disahkannya RUU Ciptaker. 

Namun, apa pun itu, palu telah dihantamkan dari meja pimpinan rapat dewan. RUU Cipta Kerja sejak hari ini telah berubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Sekian Tentang Cipta Lapangan Kerja yang, sudah pasti, mengikat masyarakatnya. 

Selepas ketok palu dan berpidato, pemerintah dan dewan berfoto mengabadikan hasil kerja yang besar itu. Setidaknya, pemerintah meyakini UU Ciptaker akan menciptakan lapangan kerja di Tanah Air sebagaimana judul UU itu. Kemudahan berusaha dijamin dan investasi meningkat. Sungguh proyek yang besar.

Kendati pemerintah pede dengan hasil pencapaiannya itu, buruh tetap berpikiran lain. Berbulan-bulan pemerintah memperjuangkan agar RUU Ciptaker segera disahkan. Berbulan-bulan juga buruh berjuang agar pemerintah mendiskusikannya kembali. 

Berbagai lobi sudah dilakukan buruh, tetapi hasil akhir RUU, mereka nilai, hanya menguntungkan pengusaha. Buruh segera meratapi nasib. Suara mereka diabaikan. Perjuangan buruh sampai sekarang masih membal.

Tak putus asa, mayoritas konfederasi buruh siap melakukan mogok nasional. Aksi turun ke jalan segera dilakukan. Sebanyak lima juta massa buruh, yang tersebar di beberapa titik di Indonesia, akan memperjuangkan haknya sebagai upaya terakhir mereka dalam mengajak penguasa memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. 

Aksi mereka diharapkan menjadi teguran keras kepada pemerintah agar membuka mata. Pasalnya, di tengah pandemi, akan sangat berbahaya bagi buruh untuk menggelar aksi unjuk rasa beramai-ramai. 

Tak ada satu pun yang menginginkan buruh menggelar aksi. Buruh sendiri pun tak ingin, apalagi di tengah situasi semacam ini. Namun, UU Ciptaker agaknya memaksa mereka. 

Buruh untuk saat ini tak akan mengambil jalan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Cara itu terlalu lembut, yang sangat mungkin diabaikan oleh pemerintah. Unjuk rasa adalah cara paling efektif untuk menyentuh hati para pemerintah yang masih tertutup. Buruh berharap pemerintah menyayangi mereka, para pekerja anak bangsa yang merasa tertekan karena UU Cilaka. 

Tentu pemerintah sudah mengkalkulasi apabila buruh melakukan mogok nasional dan unjuk rasa beramai-ramai di tengah situasi pandemi dan resesi. Namun, pemerintah masih bergeming. 

Aparat kepolisian malah disiapkan untuk menghadang massa. Ini semakin menjengkelkan karena buruh ingin didengar, bukan dihadang. 

Tuntutan buruh sederhana. Yang paling masuk akal mungkin hanya beberapa. Antara lain, upah minimum sektoral kabupaten jangan dihapus. Itu akan mengurangi gaji pekerja. 

Seperti yang dicemaskan pekerja perusahaan elektronik, Leni (41), yang menyoroti patokan upah apabila UMSK ditiadakan. Jika nanti patokan gajinya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP), dia yang digaji  dengan standar UMSK Kabupaten Bogor akan mengalami penurunan gaji. Ini karena UMP Jawa Barat hanya Rp 1,8 juta, sementara pendapatannya saat ini lebih kurang Rp 4,5 juta (Kompas.id). 

Memang upah minimum sektoral ini tidak akan dihilangkan untuk angkatan kerja yang sekarang, karena hukum selalu tidak berlaku surut. Namun, manusia tidak mungkin hidup selamanya. Alias, bagi angkatan kerja baru, upah mereka akan minim, sesuai UMP. Menyedihkan.

Tuntutan lainnya adalah perihal pesangon. Di tengah pandemi yang tak dapat diperkirakan kapan berakhir ini menimbulkan potensi perusahaan melakukan PHK. Dan, berdasarkan UU Cilaka, besaran pesangon karyawan yang terkena PHK hanya sebesar 25 kali gaji. Padahal semestinya 32 kali gaji, berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Di sini negara turut terbebani karena ikut membayar 6 kali gaji pekerja yang di-PHK. PHK tanpa beban akan menjadi tren. 

Masalah outsorcing juga membikin cemas pekerja. Pekerja kontrak pun demikian. Hal itu lantaran tak adanya kepastian masa waktu maksimal menjadi pekerja kontrak. Mereka berpotensi bekerja kontrak seumur hidup yang, kalau suatu saat di-PHK, tak akan mendapat pesangon. 

Masalah upah cuti turut memborbardir buruh. Cuti memang tidak hilang. Yang hilang upahnya. Anda cuti hamil, maka Anda tak digaji. Kasihan sekali para pekerja. No work no pay.

Terkait jam kerja yang diperpanjang, misalnya, semakin membuat buruh menjadi pekerja berat nan lelah demi sesuap nasi. Mereka menilai ini bentuk eksploitasi. Apakah para pekerja harus dibuat seperti ini? 

Untuk itu mereka mencari pemerintah. Di manakah pemerintah berada, mereka tak merasakan kehadirannya. Pemerintah hadir, tapi sebagai musuh. 

Buruh ingin didengar. Buruh bertindak membahayakan nyawa dan bangsanya dengan berdemo besok hanya karena ingin didengar. Mereka terpaksa; hidup-mati.

Pengusaha lega UU Ciptaker disahkan. Buruh mulai merasakan kegelapan. 

Artikel ini masih berbicara pada bagian klaster ketenagakerjaan. Sementara pada omnibus yang satu ini, berbagai pihak turut merasa keberatan dengan argumen yang kuat.

–Rio

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun