Mohon tunggu...
Rio Mastri
Rio Mastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger dan pembelajar

Seorang blogger yang sedang mendalami niche dunia digital

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjalanan Panjang Meruntuhkan Optimisme Naif

20 Februari 2022   11:00 Diperbarui: 20 Februari 2022   11:04 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul: Candide

Judul Asli: Candide Ou I’Optimisme

Penulis: Voltaire

Penerjemah: Widya Mahardika Putra

Penerbit: DIVA Press

ISBN: 978-602-391-734-1

Tebal: 204 halaman

Tahun terbit: Agustus 2019

Cetakan: Pertama

Membaca Candide, saya teringat dengan cerpen Anton Chekov, Ruang Inap No. 6, yang bercerita tentang seorang dokter bernama Andrei Yefimich, seorang penganut Stoikisme. Ia ditugaskan di rumah sakit jiwa yang menjadi tempatnya hingga akhir hayat. Ia pintar dan banyak mendalami filsafat, namun naïf dalam memandang dunia.

Kenaifan itu disebabkan karena ia tak pernah merasakan kesengsaraan sampai titik yang tak tertahankan. Demikianlah akunya ketika ditanyai oleh Ivan Dmitrich, seorang pengidap paranoid yang tanpa disadarinya sering ia rendahkan dalam persoalan pandangan hidup.

Namun, setelah melalui bergabai peristiwa dalam hidupnya ia mulai menanggalkan stoikisme sebagai pedoman hidup. Hal serupa ditemukan pada Candide, yang menjalani hidupnya sampai usia muda di dalam cangkang mewah istana seorang Baron, yang secara bertahap juga kehilangan pijakan pada keyakinannya.

Novel Candide, karya Francois-Marie Arouet, yang kemudian masyhur dengan nama pena Voltaire, pertama kali terbit di Jenewa, Swiss, dalam bahasa Prancis pada 1759. Judul asli novel ini adalah Candide Ou I’Optimisme. Seperti karya Voltaire lainnya, Candide pun di sini kentara dengan unsur satire. Melalui karya ini, ia menyerang prinsip dalam pemikiran seorang filsuf Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), seperti principium rationis sufficientis (prinsip cukup alasan). Bahwa, segala hal pasti memiliki suatu alasan yang mencukupi.

Itulah prinsip yang diyakini oleh Cunegonde. Ia merupakan putri dari Tuan Baron Thunder-ten-tronckh di wilayah Westfalia. Prinsip itu berkaitan dengan hubungannya dengan pemuda berjiwa mulia lagi bersahaja dan berbudi pekerti amat baik, yang menjadikannya mampu menimbang segala persoalan dengan adil: Candide.

Pada beberapa bagian, Voltaire juga menyindir unsur klenik jimat yang dipercayai umumnya oleh masyarakat budak yang mencari keselamatan sia-sia darinya. Kemudian, watak khas bangsa dan golongan seperti, bahwa Belanda terkenal pelit dan mengejar kekayaan duniawi.

Sindirannya juga menyentuh topik politik: gubernur sebagai representasi kelas elite yang angkuh dan status kebangsawanan yang dapat menggagalkan pernikahan apabila ternyata terbukti salah satu pasangan bukan dari golongan bangsawan. 

Bagi saya, yang paling penting di sini adalah Voltaire mendorong para filsuf untuk tidak sebatas berpikir dan berdiskusi, melainkan aktif dalam mewujudkan dunia yang lebih baik.

Dalam spektrum filsafat, Leibniz–di sini diwakili oleh tokoh Pangloss, seorang guru istana–dikenal sebagai pengusung aliran optimisme. Aliran inilah yang sepanjang cerita diporak-porandakan oleh Voltaire. Dimulai dengan peristiwa ciuman polos yang dilancarkan Candide terhadap Cunegonde, yang disaksikan langsung oleh Tuan Baron, dan berakibat diusirnya Candide dari istana dengan tendangan di bokong oleh Tuan Baron sendiri. 

Setelah diusir dari istana, Candide mulai menyaksikan dengan matanya sendiri tentang bagaimana dunia yang digambarkan oleh Pangloss, bahwa “… segala hal di dunia ini adalah yang sebaik-baiknya” (hal. 10), berlainan sama sekali dengan yang ia jalani. Bukan hanya menyaksikan wajah dunia yang kejam, Candide sendiri menjumpai dirinya diperlakukan secara kejam. Kekejaman pertamanya diperoleh dari prajurit Bulgaria.

Di Bulgaria, Candide bertemu kembali dengan gurunya yang hidup terlunta-lunta mengenakan pakaian lusuh dan mengemis. Dari gurunya ia tahu bahwa istana Thunder-ten-tronckh telah diserang pasukan Bulgaria dan Tuan Baron berserta istri, juga Cunegonde dan kakak laki-lakinya ikut terbunuh. Optimisme Candide sempat redup, namun ketika ia bertemu kembali dengan Cunegonde di Belanda, ia tak lagi pesimis.

Runtuhnya optimisme Candide secara tragis dimulai sejak ia melakukan perjalanan bersama pelayannya, Cacambo. Mereka bertemu seorang budak kulit hitam bercelana biru pendek yang kaki kiri dan tangan kanannya telah dipotong majikannya.

O, Pangloss!” seru Candide, “Kau pasti tak akan pernah menyangka bahwa kekejian seperti ini terjadi di bumi; cukup sudah, aku tak akan lagi percaya dengan optimismemu!” (hal. 113). Melanjutkan tragedi keruntuhan optimisme itu agar tetap mencekam, Voltaire merasa perlu menghadirkan tokoh penyangkal, supaya optimisme tak lagi bernafas dalam diri Candide, dengan menciptakan seorang penganut Maniisme bernama Martin.

Inti dari alur cerita Candide selama perjalanannya mengarungi lautan (Jerman-Bulgaria-Portugal-Venezia-Paraguay-Venezuela-El Dorado-Suriname-Amerika-Belanda-Prancis-dan Istanbul) adalah perjuangannya menemukan Cunegonde. Satu-satunya perempuan yang pernah ia cintai.

Karena seorang Cunegonde, sisi kejam pemuda Candide yang berbudi pekerti luhur akhirnya muncul ke permukaan. Pada suatu ketika, karena motif cemburu, Candide akhirnya mengambil tindakan untuk melakukan pembunuhan  sebagai upayanya menjamin keselamatan Cunegonde.

Setelah terpaksa berpisah karena Cunegonde diambil oleh gubernur Buenos Aires, Candide mengutus Cacambo untuk menyusulnya dan berjanji akan membawanya ke Venezia, tempat mereka akan bertemu dan bebahagia.

Namun, alih-alih bahagia setelah bertemu Cacambo di Venezia, Candide malah dirundung kesedihan karena ternyata Cunegonde tidak bersama Cacambo di Venezia, melainkan di Istanbul.

Ketika tiba di Istanbul, Candide bertemu dengan Cunegonde yang rupanya tidak lagi seperti rupa ketika terakhir kali mereka bersama. Candide tak lagi mencintainya seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Namun, ia tetap menikahinya sebagai pembalasan terhadap kelancangan Pangeran Baron yang pernah tidak menyetujui, bahkan melecehkan Candide.

Akhirnya, mereka hidup dengan menggarap lahan pertanian sambil tidak meninggalkan kebiasaan berdiskusi mereka yang itu-itu saja. Hingga suatu ketika pertanyaan perempuan tua pelayan Cunegonde memunculkan berbagai pemikiran baru:

Aku ingin tahu mana yang lebih menyengsarakan: diperkosa seratus kali oleh bajak laut kulit hitam, hanya punya satu bokong, dihukum gauntlet oleh prajurit Bulgaria,  dicambuk dan digantung  di sebuah auto-da-fe, dibedah, dipaksa mendayung–singkatnya, mengalami segala penderitaan yang telah kita alami, atau tinggal di sini dengan tidak melakukan apa-apa?” (hal. 196).

            Pertanyaan ini seolah menampar mereka semua. Hingga akhir cerita, Pangloss yang masih tetap berusaha meyakinkan dirinya dengan prinsip optimisme (walaupun ia sendiri sudah tidak memercayainya), disanggah oleh Candide dengan mengatakan, “Kau benar,” ..., “tapi kita harus menggarap kebun kita.” (hal. 202).

Dengan demikian, optimisme yang selalu dijaga kelestariannya oleh Candide, kini tampak lebih seperti suatu kenaifan, apabila tetap diyakini dalam dunia yang penuh kekejian.

Sampai jumpa pada tulisan selanjutnya.

Tulisan ini saya tulis pada akhir tahun 2019. Untuk tanggal pasti kapan ditulis, saya tidak ingat lagi.

** Silakan kunjungi blog saya di Kincairai, apabila Anda memiliki minat pada digital marketing, media sosial, dan tema relevan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun