“O, Pangloss!” seru Candide, “Kau pasti tak akan pernah menyangka bahwa kekejian seperti ini terjadi di bumi; cukup sudah, aku tak akan lagi percaya dengan optimismemu!” (hal. 113). Melanjutkan tragedi keruntuhan optimisme itu agar tetap mencekam, Voltaire merasa perlu menghadirkan tokoh penyangkal, supaya optimisme tak lagi bernafas dalam diri Candide, dengan menciptakan seorang penganut Maniisme bernama Martin.
Inti dari alur cerita Candide selama perjalanannya mengarungi lautan (Jerman-Bulgaria-Portugal-Venezia-Paraguay-Venezuela-El Dorado-Suriname-Amerika-Belanda-Prancis-dan Istanbul) adalah perjuangannya menemukan Cunegonde. Satu-satunya perempuan yang pernah ia cintai.
Karena seorang Cunegonde, sisi kejam pemuda Candide yang berbudi pekerti luhur akhirnya muncul ke permukaan. Pada suatu ketika, karena motif cemburu, Candide akhirnya mengambil tindakan untuk melakukan pembunuhan sebagai upayanya menjamin keselamatan Cunegonde.
Setelah terpaksa berpisah karena Cunegonde diambil oleh gubernur Buenos Aires, Candide mengutus Cacambo untuk menyusulnya dan berjanji akan membawanya ke Venezia, tempat mereka akan bertemu dan bebahagia.
Namun, alih-alih bahagia setelah bertemu Cacambo di Venezia, Candide malah dirundung kesedihan karena ternyata Cunegonde tidak bersama Cacambo di Venezia, melainkan di Istanbul.
Ketika tiba di Istanbul, Candide bertemu dengan Cunegonde yang rupanya tidak lagi seperti rupa ketika terakhir kali mereka bersama. Candide tak lagi mencintainya seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Namun, ia tetap menikahinya sebagai pembalasan terhadap kelancangan Pangeran Baron yang pernah tidak menyetujui, bahkan melecehkan Candide.
Akhirnya, mereka hidup dengan menggarap lahan pertanian sambil tidak meninggalkan kebiasaan berdiskusi mereka yang itu-itu saja. Hingga suatu ketika pertanyaan perempuan tua pelayan Cunegonde memunculkan berbagai pemikiran baru:
“Aku ingin tahu mana yang lebih menyengsarakan: diperkosa seratus kali oleh bajak laut kulit hitam, hanya punya satu bokong, dihukum gauntlet oleh prajurit Bulgaria, dicambuk dan digantung di sebuah auto-da-fe, dibedah, dipaksa mendayung–singkatnya, mengalami segala penderitaan yang telah kita alami, atau tinggal di sini dengan tidak melakukan apa-apa?” (hal. 196).
Pertanyaan ini seolah menampar mereka semua. Hingga akhir cerita, Pangloss yang masih tetap berusaha meyakinkan dirinya dengan prinsip optimisme (walaupun ia sendiri sudah tidak memercayainya), disanggah oleh Candide dengan mengatakan, “Kau benar,” ..., “tapi kita harus menggarap kebun kita.” (hal. 202).
Dengan demikian, optimisme yang selalu dijaga kelestariannya oleh Candide, kini tampak lebih seperti suatu kenaifan, apabila tetap diyakini dalam dunia yang penuh kekejian.
Sampai jumpa pada tulisan selanjutnya.