Sebuah keangkuhan yang terkesan sebagai omong kosong belaka. Bahwa seorang dokter spesialis mata selalu membutuhkan uluran tangan dan tuntunan mata dari seseorang yang bahkan tak menguasai ilmu pengetahuan tentang mata.Â
Saramago tak lupa memeragakan keberadaan seorang pastur yang menelanjangi sisi kemanusiaannya. Gambaran seorang insan yang selalu terbuka kemungkinan baginya untuk tenggelam dalam kondisi keputusasaan yang paling ekstrem.
Keterkejutan seluruh penghuni gereja karena mengetahui semua patung suci di gereja tersebut dalam kondisi mata dibebat kain putih, berkaitan erat dengan tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang yang mengenal seluk beluk gereja.Â
Karenanya, yang paling memungkinkan untuk melakukan tindakan di luar nalar ketaatan tersebut hanya sang pastur gereja--seseorang yang mengalami distorsi keyakinan setelah menyadari ketaatannya selama ini tak menjamin ia terbebas dari wabah penyakit yang mengerikan itu. Sampai di sini, tak salah jika kita mendefinisikan dunia tanpa kemampuan melihat adalah neraka yang sengaja diturunkan ke bumi.
Bagi seorang relijius, neraka-di-bumi ini bisa saja merepresentasikan bentuk hukuman terhadap hamba Tuhan yang selama ini menjalani kehidupan dengan penuh kebohongan.Â
Kini, di neraka-di-bumi ini, mereka dipaksa menjalani hidupnya tanpa kain penutup sifat aslinya yang melekat pada diri masing-masing. "Kau takkan pernah tahu sebelumnya apa yang sanggup dilakukan orang. Kau harus menunggu. Beri waktu. Waktulah yang menentukan. Waktu adalah partner judi kita di sisi lain meja judi dan dia memegang seluruh tumpukan kartu. Kita harus menebak kartu kemenangan hidup, hidup kita" (474).
Akhirnya, membaca Blindness, puas menyaksikan kegilaan distopianya, kita diajak kembali merenungkan ketakberdayaan manusia untuk hidup sendiri. B
ahwa manusia, di sini adalah manusia modern, tak bisa melepaskan dirinya dari para pekerja listrik yang menjamin penerangan kota; pemasok air bersih yang mengusir dahaga dan bau tak sedap pada rumah dan pakaian yang kita kenakan; petugas kebersihan yang mempersembahkan jalanan mulus tanpa sampah sebagai landasan kaki-kaki kita; dan seluruh pihak yang menjadi bagian dari keutuhan hidup bermasyarakat lainnya.
Satu petuah yang dikutip pada pembukaan novel ini tiba-tiba menjadi sangat berarti untuk direnungkan setelah kita mengkhatamkan novel ini, "jika kau dapat melihat, pandanglah. Jika kau bisa memandang, amatilah" (Buku Petuah).Â
Petuah ini setali tiga uang dengan apa yang dengan tegas disampaikan oleh seorang filsuf hermeneutika, Martin Heidegger, agar kita menjalani kehidupan yang bukan sekadar lalu saja. Untuk itu kita harus berusaha menyingkap setiap tabir yang menyelimuti mistik keseharian.
07 -- 08 November 2019