Money politics, atau politik uang, masih menjadi ancaman serius dalam setiap gelaran pemilihan, termasuk Pilkada 2024 mendatang. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi praktik ini, kenyataannya politik uang tetap menghantui proses demokrasi di tingkat lokal. Dengan ribuan calon kepala daerah yang bersaing, pertanyaan besar muncul: apakah pemilih benar-benar memilih berdasarkan visi dan program kandidat, atau justru terpengaruh oleh amplop berisi uang?
Politik Uang: Kenapa Masih Bertahan?
Fenomena politik uang bukan hal baru dalam Pilkada. Namun, apa yang membuatnya tetap bertahan hingga saat ini, bahkan di era demokrasi modern? Salah satu alasannya adalah lemahnya penegakan hukum. Data dari Bawaslu pada Pilkada 2020 menunjukkan ada 2.526 pengaduan terkait politik uang di berbagai daerah. Ironisnya, hanya sekitar 18% dari kasus-kasus ini yang berujung pada penindakan tegas.
Selain itu, bagi sebagian masyarakat, terutama di daerah dengan tingkat ekonomi rendah, pemberian uang atau barang sering kali dianggap sebagai "imbalan" dari politisi yang berkampanye. Dalam survei Indikator Politik Indonesia (2021), 28% responden mengaku pernah menerima uang atau barang selama Pilkada sebelumnya, dan dari mereka, 60% menyatakan hal itu memengaruhi keputusan mereka dalam memilih.
Modus Operandi yang Kian Canggih
Dalam Pilkada 2024, para kandidat mulai menerapkan modus yang lebih halus untuk menghindari sorotan pengawas. Selain memberikan uang secara langsung, politisi juga menggunakan metode seperti "bantuan sosial" atau acara amal untuk menarik simpati pemilih. Praktik ini sering kali dikemas seolah-olah tidak berkaitan langsung dengan kampanye, padahal tujuannya jelas untuk memengaruhi hasil suara.
Pembagian barang seperti sembako, alat rumah tangga, hingga perangkat elektronik kecil masih menjadi bentuk favorit politik uang. SMRC (Saiful Mujani Research & Consulting) mencatat bahwa di daerah pedesaan, sekitar 35-40% pemilih mengaku pernah terpengaruh oleh politik uang. Hal ini sangat menonjol di wilayah-wilayah dengan ketergantungan ekonomi yang lebih tinggi pada bantuan material.
Dampak pada Hasil Pilkada
Dampak politik uang terhadap hasil Pilkada sangat nyata. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menemukan bahwa politik uang dapat mengubah hasil akhir pemilihan hingga 2-5% dari total suara di beberapa daerah, terutama yang memiliki persaingan ketat. Di wilayah seperti Sumatera Utara dan Jawa Barat, yang selalu mencatat jumlah pengaduan tertinggi terkait politik uang, suara pemilih rentan dipengaruhi oleh praktik ini.
Politik uang juga cenderung menurunkan kualitas kepemimpinan lokal. Kandidat yang mengandalkan cara-cara curang untuk meraih suara sering kali tidak memiliki visi pembangunan yang jelas. Sebaliknya, mereka cenderung lebih fokus untuk "mengembalikan modal" yang dikeluarkan selama kampanye. Menurut wawancara anonim dari tim kampanye di Pilkada 2020, seorang calon bupati atau wali kota bisa menghabiskan antara Rp 1-5 miliar hanya untuk politik uang, sementara di tingkat gubernur, anggaran ini bisa naik hingga Rp 10-20 miliar.
Tantangan Penegakan Hukum