Julukan "Nyai" terus melekat dalam dirinya karena di mata orang-orang Belanda dia tetaplah seorang gundik pribumi sakalipun memiliki keahlian setara dengan orang Belanda.Â
Dia membenci budaya yang telah membesarkannya, mengagumi pendidikan Barat tetapi membenci hukum Barat (kolonial) karena sangat diskriminatif.Â
Di sinilah salah satu kehebatan sosok Nyai Ontosoroh yang digambarkan Pram sebagai wanita tak menempuh pendidikan formal tetapi mampu memahami hukum-hukum kolonial.Â
Dia membuat tabungan pribadi dari pendapatannya mengelola perusahaan sebagai bentuk antisipasi jika sewaktu-waktu hukum kolonial merampas semua harta yang dia urus dan kembangkan.
Tidak lama setelah Herman Mellema meninggal, kekahwatiran Ontosorohpun menjadi kenyataan. Murits Mellema, anak sah dari Herman Mellema, datang dari negeri Belanda untuk mengambil alih perusahaan dan warisan ayahnya.Â
Betapapun Otosoroh menyadari posisinya yang lemah saat berhadapan dengan hukum kolonial, dia tidak menyerah begitu saja. Dia melakukan perlawanan hukum dan mengeluarkan banyak uang membayar penasehat hukum.
Pada akhirnya, Ontosoroh memang kehilangan semuanya termasuk putri tunggalnya yang turut diboyong ke negeri Belanda untuk ditempatkan di bawah  perwalian istri sah dari mendiang Herman Mellema.Â
Menghadapi kekalahan itu, Nyai Ontosoroh menunjukkan ketegarannya sebagai seorang Ibu dengan pendirian yang kokoh.Â
Di akhir Bumi Manusia kita menemukan Ontosoroh berkata kepada Minke yang menjadi tokoh utama tetralogi tersebut "Kita telah melawan, Nak. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya".
Dalam 3 seri berikutnya (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) kita tahu Ontosoroh tidak hidup melarat setelah kehilangan perusahaan yang diurusnya selama puluhan tahun.
Dengan modal uang tabungan, dia membangun perusahaan baru dan kembali meraih sukses. Dia bergaul dengan seorang pelukis berkebangsaan Prancis, mantan serdadu dalam perang Aceh. Mereka kemudian menikah dan pindah ke Prancis. Di Perancis Nyai Ontosoroh mengganti namanya menjadi Madame Le Boucq.Â