Salah satu karakter dari karya fiksi yang membekas kuat dalam ingatanku adalah Nyai Ontosoroh. Karakter itu diciptakan Pramodya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia yang telah diadaptasi ke layar lebar.Â
Masih segar dalam ingatan bagaimana saya harus berjuang melewatkan halaman-halam yang membosankan ketika pertama kali membaca bagian pertama tetralogi tersebut lebih 10 tahun lalu, sebelum akhirnya terpikat oleh sosok Nyai Ontosoroh.Â
Pram menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai antitesis dari karakter wanita pribumi yang tunduk pada belengu hukum dan budaya patriarki di era pra-kemerdekaan Indonesia.
Dalam Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh dengan piawai mengurus rumah tangga dan mengelola sebuah perusahaan. Dari alur mundur (flash back) novel tersebut kita tahu bahwa Nyai Ontosoroh sejak anak-anak bernama Sanikem.Â
Beranjak remaja, dia dijual ayahnya kepada orang Belanda (Herman Mellema) yang menjabat sebagai aminstratur pabrik gula. Herman Mellena sesungguhnya pria baik.Dia memeperlakukan Sanikem dengan hormat sebagaimana layaknya istri sah.Â
Tetapi karena Herman Mellema masih memiliki istri sah di Belanda, Sanikem secara hukum tetap berstatus gundik dari tuannya. Hukum Kolonial tidak memberikan hak apapun kepada Sanikem atas harta tuannya, termasuk atas anak yang didapat dari hubungan dengan tuannya.
Sadar bahwa status gundik akan terus dia sandang tanpa hak-hak apapun dari semua yang telah dia kerjakan dan perbuat bagi tuannya, Sanikem membekali dirinya dengan berbagai keahlian penting.Â
Dia belajar secara otodidak bahasa Belanda hingga fasih menggunakannya secara lisan dan tertulis. Dia juga belajar pembukuan, cara mengelola perusahaan dan korespondensi.Â
Dengan keahlian itu, Sanikem berhasil mengurus perusahaan keluarga Mellema di bidang peternakan sapi perah tanpa melupakan tugas-tugasnya mengurus keluarga dengan dua anak.
Sanikem  menjadi Ontosoroh untuk melupakan masa lalunya dan melepaskan ikatan dari budaya yang telah membuangnya menjadi gundik orang Belanda.Â