Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Trump Dikalahkan oleh Covid-19

23 November 2020   00:50 Diperbarui: 23 November 2020   01:09 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga hari ini, Donald Trump belum mengakui kekalahannya. Seluruh dunia dibuat penasaran: kapan dia akan menyerah dan bagaimana proses transisi kekuasaan akan berlangsung. Di sela-sela rasa penasaran tersebut, dalam sebuah diskusi daring beberapa hari lalu terlontar sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik: "Andaikan pandemi Covid-19 tidak melanda Amerika Serikat (AS) dengan hebat, apakah Trump akan memenangi Pilpres AS 2020?". Pertanyaan post factum tersebut tentu saja sulit dijawab dengan pasti. Tapi beberapa indikasi dapat kita lihat.

Sebelum pandemi Covid-19 merebak  hingga ke AS, tak ada analis politik yang cukup yakin bahwa Trump akan kalah di Piplres AS 2020. Walaupun tuduhan skandal bermunculan, Trump tampak tak tegoyahkan dan terus menatap masa depan kekuasaannya dengan penuh optimisme. Sumber utama optimisme tersebut adalah kemampuannya memainkan sentimen pemilih (populisme) dan disokong oleh kinerja ekonomi yang cukup baik. Angka penggangguran berhasil ditekan sangat rendah dan pertumbuhan ekonomi dijaga dengan baik.  

Menurut laporan businessinsider.com (21/01/2020), pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi AS sebesar 3 persen dan angka penggangguran 3,5 persen (terendah dalam 50 tahun terakhir). Prestasi ini terus menerus dia banggakan tanpa pernah berterimakasih kepada pendahulunya (Obama) yang telah mewariskan perekonomian nasional yang sangat baik.

Trump menjalankan kekuasaanya seperti seorang jagoan tanpa lawan tanding sepadan. Keputusan-keputusannya kerap mengejutkan dan pernyataan-pernyataannya tak jarang bernada provokatif tapi tetap disambut dengan gegap gempita oleh para pendukungnya yang merasa diri sebagai warga negara (AS) yang superior. 

Trump dengan cerdik memainkan politik identitas sambil memamerkan keberhasilan ekonomi, untuk memelihara kebanggaan massa pendukungnya. Bahkan dia sesumbar telah membuat ledakan ekonomi AS terbesar sepanjang sejarah, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Perang dagang dengan China, dia klaim mudah dimenangkan dan akan membawa keuntungan berlipat bagi AS. Trump dengan sangat lihai memainkan retorika-retorika yang membuat pendukungnya terus bangga sekalipun tidak selalu didukung oleh bukti-bukti konkrit.  Tapi pandemi Covid-19 kemudian mengubah peruntungannya.

Sikap Denial

Seperti kita tahu, Trump tidak pernah mengakui ancaman bahaya dari pandemi Covid-19. Dia menyepelekannya baik dari segi kebijakan maupun dari sikap (tampil tanpa masker). Pendukungnya membebek begitu saja. Ketika pandemi akhirnya melanda AS dengan hebat, Trump tak henti-hentinya mencari kambing hitam: China dan media massa. Trump menyalahkan China sebagai sumber dari pandemi tersebut dan menyerang media yang terlalu membesar-besarkan dampaknya. Teori konspirasipun berebak.

Alih-alih menghadapi pandemi dengan serius, Trump lebih memusatkan energinya untuk mempertahankan kekuasaannya melalui retorika-retorika bombastis. Dia berkali-kali mengklaim AS telah menang melawan pandemi sementara statistik kasus-kasus infeksi dan korban meninggal masih terus mengalami peningkatan. Sementara itu, ekonomi AS mengalami goncangan hebat. Angka pengangguran meledak hingga di atas 10 %. Jika dia bisa bersikap denial terhadap ancaman pandemi, dia sama sekali tak bisa membantah kecemasan masyarakat terhadap ancaman ekonomi di depan mata.

Politik populisme Trump bekerja dengan baik 4 tahun silam karena ekonomi sangat baik berkat kinerja ekonomi pemerintahan Obama. Dalam keadaan sejahtera, orang-orang akan lebih mudah diajak untuk mengukuhkan rasa suprioritasnya. Karena itulah kampanye Trump "Make Amerika Great Again" dan "American First" mendapat sambutan hangat 4 tahun lalu. Dalam Pilpres 2020 dia masih menggunakan pendekatan yang sama di tengah kondisi ekonomi yang sedang porak-poranda. Tentu orang-orang lebih peduli pada masa depan ekonomi daripada masa depan suprioritas suku bangsa, agama atau suprioritas primordial lainnya.

Covid-19 sejak awal diremehkan oleh Trump dan pada akhirnya menjadi  faktor terbesar kekalahannya. Presiden terpilih, Joe Biden, seakan menegaskan fakta tersebut dengan membentuk dan mengumumkan gugus tugas pengendalian pandemi Covid-19, sebagai salah satu dari Tim Transisi yang dia bentuk. Pada akhirnya kita dapat belajar bahwa kemenangan yang dibangun melalui retorika-retorika bombastis dan sikap-sikap denial pada ujungnya akan menabrak tembok tebal. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun