Mohon tunggu...
Rintih Sukmaria Zendrato
Rintih Sukmaria Zendrato Mohon Tunggu... Guru - Educator - Bibliophile - Javaphile

Qui docet, discit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Guru" Bukan Sekadar Pekerjaan atau Profesi, Melainkan...

5 Februari 2020   13:44 Diperbarui: 7 November 2023   23:00 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini sebenarnya ditulis dengan cara dicicil sejak akhir tahun lalu, karena setiap kata yang tertuang merupakan hasil pergumulan terhadap pendidikan. Selamat menikmati.

Pada Sabtu pagi, 23 November 2019, sekitar pukul 10.30 saya melihat postingan akun @kemdikbud.ri terkait pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upacara peringatan Hari Guru Nasional 2019 yang jatuh pada 25 November 2019. Saya memang telah mengikuti akun ini cukup lama, namun itu pertama kalinya saya merasa senang sekali, bahkan terharu membaca poin-poin yang ditekankan oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita. Alasannya?

Saat itu sulit untuk saya deskripsikan. Hal ini pun mendorong saya untuk screenshoot postingan tersebut dan langsung membagikannya ke chatroom grup Mahasiswa Pendidikan Fisika Angkatan 2016 dan grup kamar dorm. Meskipun hanya beberapa yang merespon, saya senang dan berharap siapapun yang membacanya memberikan waktunya untuk menilik lebih dalam makna postingan tersebut. 

Poin-poin penting yang dipaparkan oleh Bapak Nadiem juga saya taruh di note laptop saya, supaya menjadi reminder. Maafkan jika menurut anda respon saya berlebihan, tapi jujur hal ini juga menjadi bagian dari pergumulan saya sejak memutuskan untuk menjadi seorang guru, dalam waktu dekat ini.

Seolah-olah kebetulan, di hari yang sama pukul 18.00 di grup line Angkatan 2016 di Fakultas kami, salah seorang staff Student Service membagikan hal yang sama. Tapi, kali ini saya baru ngeh akan deskripsi yang tepat yang membuat saya sangat senang, tepatnya 'jatuh hati' dengan isi naskah pidato tersebut, melalui caption dari beliau. Ya, ternyata poin-poin tersebut merupakan God's provision, yang juga selama ini menjadi pusat sasaran dari pendidikan Indonesia yang digumulkan dan dikerjakan bersama di dalam komunitas Teachers College.

Seorang guru bukanlah seorang tukang bengkel yang memperbaiki 'siswa yang berpeluang untuk diperbaiki', sedangkan sisanya dibiarkan saja. Bukan pula seseorang yang hanya mengisi siswa dengan semua hal yang ia ketahui, dengan asumsi siswa itu bagaikan kertas kosong, atau dengan kata lain guru tidak hanya mentransfer ilmu.

Guru juga bukan seorang hakim yang dengan mudahnya melihat perilaku atau kemampuan akademik siswa secara sepintas lalu dengan terburu-buru melabelinya dengan berbagai istilah (baik yang diungkapkan di hadapan sisiwa, ataupun hanya di dalam pikiran), yang tanpa disadarinya akan berpengaruh dalam proses pertumbuhan siswanya.

Sebagaimana dikatakan dalam teori psikologi perkembangan, manusia dipengaruhi oleh nature dan nurture. Artinya, beragamnya kepribadian dan kemampuan siswa dipengaruhi oleh genetik dan juga lingkungan tempatnya bertumbuh, salah satunya adalah sekolah. Nah, siapa pilar utama dalam pembentukan siswa di sekolah? Guru.

Tentu saja hal ini juga tidak berarti bahwa orangtua lepas tangan terhadap anaknya. Tidak demikian. Dalam pendidikan seorang anak, diperlukan sinergi antara keluarga, sekolah dan lingkungan untuk memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ketika kita menilik lebih dalam tentang peran guru di dalam pendidikan seorang anak, sesungguhnya kita sedang menggali kehidupan seorang guru itu sendiri.

Guru adalah seorang pribadi yang layak digugu dan ditiru. Hal ini tidak mudah sebab sebelum menjadi teladan bagi siswanya, seorang guru harus mengenali dirinya terlebih dahulu. Mengapa? Karena setiap kali guru berpikir, berbicara, dan bertindak, di saat itulah ia sedang menceritakan dirinya kepada orang lain. Let see: dimanapun seorang guru berada, ia akan dipanggil 'guru' oleh orang-orang di sekitarnya, setidaknya kenalannya. Hal ini pernah saya alami ketika baru saja menyelesaikan PPL 1 di salah satu SMA Swasta di Tangerang.

Sore itu saya sedang bersama teman-teman saya di mall untuk belanja keperluan bulanan, tiba-tiba dari arah yang berlawanan saya dipanggil oleh seorang anak perempuan, "Bu...Ibu Rin", dan disusul dengan dikenalkannya saya kepada orangtuanya. Hal ini cukup mengejutkan, mengingat pada waktu saya PPL, saya bahkan belum mengajar mereka, namun mereka telah mengenal saya sebagai salah seorang calon guru yang sedang PPL. Coba bayangkan jika saat itu saya sedang tidak berpakaian tidak sopan ketika ke mall, dan bertemu dengan siswa tersebut dan orangtuanya.

Apa pendapat siswa dan orangtuanya tentang saya sebagai 'guru'? Tentu saja ini hanya salah satu contoh. Hal yang saya pelajari disini adalah kehidupan seorang guru sebagai 'guru' itu adalah 24 jam dalam sehari menjadi teladan. Dalam kondisi manusia yang berdosa begini mah, pastinya akan sangat sulit untuk berbuat benar setiap saat. Resiko terburuknya adalah berlaku fake, menjadi seorang yang berbeda di dalam dan di luar kelas.

Tantangan berikutnya menjadi seorang guru adalah seperti yang dipaparkan dengan jelas oleh Mendikbud, Nadiem Makarim, selain konten pembelajaran, guru juga berkutat dengan hal administratif. Hal ini yang kerap kali membuat guru kelelahan duluan sehingga kurang maksimal dalam mempersiapkan pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan siswanya, khususnya di era digital ini dan dalam konteks yang lebih luas ini menjadi salah satu penyebab kurang baiknya manajemen kelas oleh guru.Hal ini akan diperparah ketika guru tidak punya daya juang, dan memiliki prinsip 'yang penting mengajar'. Padahal, setiap siswa juga punya hak untuk mendapatkan pendidikan terbaik, terlepas dari konteks di sekolah manapun mereka menempuh pendidikan. Sebagai salah seorang mahasiswa guru tahun akhir, saya sungguh bergumul akan hal ini.

Di satu sisi, guru diekspektasikan mampu menjadi fasilitator bagi siswanya dalam belajar. Artinya, saya sebagai guru juga harus mempunyai persiapan yang matang untuk mengajar, dan tentu saja mengajar yang saya maksud dalam hal ini bukan sekedar baca buku teks dan latihan soal supaya nilai ujian siswa memuaskan. Mengajar yang saya gumulkan dalam hal ini adalah pengajaran yang memampukan siswa untuk menikmati proses konstruksi pengetahuan melalui pembelajaran di kelas dan benar-benar mendapat 'oh moment' dari setiap topik pembelajaran.

Selain itu, sebagaimana disebutkan dalam salah satu video channel Youtube Geolive, saya sangat menyadari bahwa pembelajaran di sekolah yang dipimpin oleh guru juga berbicara tentang transmisi nilai. Artinya, keberadaan guru di kelas seharusnya menolong siswa untuk memahami nilai-nilai yang benar untuk dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, mengapa nilai itu benar, dan bagaimana cara mengetahui nilai itu benar atau tidak.

Nah, skill inilah yang diharapkan untuk didelegasikan oleh guru kepada siswanya di kelas. Inilah salah satu alasan ketidaksetujuan saya jika ada yang berpendapat bahwa robot sudah cukup untuk menggantikan guru. Tidak akan pernah bisa, jika melihat tujuan pendidikan secara utuh.

Hal-hal yang saya sebutkan di atas hanyalah beberapa di antara tantangan yang dialami oleh guru, dan barangkali masih di tatanan fenomena. Jika konteks pendidikan di sekolah lebih dispesifikkan lagi, kita akan melihat situasi yang terjadi di dalam kelas, khususnya dalam hal pandangan guru tentang siswa.

Hal ini sangat krusial sebab bagaimana guru memandang siswa di dalam kelas akan menentukan cara guru menyikapi keragaman siswanya baik dalam hal perilaku maupun kemampuan akademiknya. Hal ini jugalah yang menentukan bagaimana guru mempersiapkan dirinya dengan baik untuk mengajar siswa sesuai dengan porsi mereka masing-masing.

Hal yang lebih penting lagi adalah pandangan guru tentang siswa inilah yang menentukan cara guru untuk menolong setiap siswa dalam melihat kehidupan dan mengambil tanggung jawab atas keberlangsungan kehidupan di dunia ini. Lantas, bagaimana guru harus memandang siswanya?

Guru harus melihat siswanya sebagai pribadi, yang sepaket dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap manusia, termasuk setiap siswa di sekolah adalah imago Dei, sehingga memiliki dignitas yang tidak akan hilang terlepas dari bagaimana perilaku jeleknya. Siswa sebagai pribadi berarti siswa punya kemampuan untuk berpikir, menganalisis problem, mengungkapkan pemikirannya serta bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.

Oleh sebab itu, di dalam pembelajaran, siswa tidak hanya 'disuap' akan berbagai pengetahuan, tetapi diberikan kesempatan untuk mengkajinya melalui pemikiran yang benar, menemukan integrasinya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan belajar untuk menggunakan pengetahuan itu untuk memecahkan permasalahan di lingkungannya.

Di dalam kelas, guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Dengan menggunakan sarana-sarana pembelajaran yang memadai (dalam hal ini memang dibutuhkan kreativitas guru), guru bersama-sama dengan siswa mengoneksikan berbagai pengetahuan yang telah dimilikinya sehingga setiap materi pembelajaran di sekolah pun menjadi masuk akal ketika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, sebelum menjejali siswa dengan pendidikan berbasis teknologi yang semakin canggih, seorang guru juga harus benar-benar memahami bahwa teknologi bisa menjadi berkat, sekaligus batu sandungan dalam kehidupan setiap orang. Oleh sebab itulah, melalui pembelajaran seorang guru harus dapat menyampaikan kepada siswa bahwa teknologi seyogyanya menjadi sarana untuk melaksanakan tanggung jawab menjalankan mandate budaya yang telah diberikan Allah kepada manusia. Dengan berbekal teknologi di era industri 4.0 ini, siswa tidak mencari-cari alasan lagi untuk tidak mengeksplor talenta yang dimilikinya.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa dalam mengikuti pembelajaran yang direncanakan guru, setiap anak memiliki kecepatannya masing-masing. Dalam hal ini, guru tidak berhak untuk melabeli siswa (bahkan sejak dalam pemikirannya). Ketika menemukan siswa kesulitan, sebagai suatu komunitas, guru bisa mengajak setiap siswa di kelas untuk saling menolong. Ketika menjalani PPL 2 di salah satu SMA di Yogyakarta, saya juga menemukan permasalahan siswa di dalam kelas, baik dalam hal afektif maupun kognitif.

Ada suatu titik saya hampir menyerah ketika berhadapan dengan siswa-siswa yang berlaku semaunya di kelas, namun dengan kesadaran bahwa sesungguhnya setiap siswa adalah pribadi yang berharga di mata Tuhan, saya dimampukan untuk mengenali behind the scene perilaku siswa di kelas. Saya percaya bahwa tidak ada siswa yang bodoh, meskipun mereka menujukkan perilaku nakal. Ketidaktahuan siswa bisa jadi merupakan dampak dari kurang terakomodirnya kebutuhannya dalam belajar, atau kurangnya pengenalan guru akan siswanya.

Saya pernah menjadi siswa, dan bagi saya kepedulian seorang guru akan siswanya sudah menjadi modal awal bagi siswa untuk semangat dalam belajar. Kepedulian? Ya, guru membuka ruang diskusi dalam pembelajaran, mencari tahu alasan di balik keterbatasan siswa mengikuti pembelajaran dan menggandeng siswa untuk bersama-sama menemukan solusi dari setiap permasalahan mereka. Intinya, siswa bukan membutuhkan guru yang superior, tapi guru yang mau mengenal mereka dan berjalan bersama dengan mereka untuk menghadapi dunia yang sangat kompleks ini.

Sesungguhnya ketika kita berbicara tentang hal-hal yang harus dibenahi dalam pendidikan, satu periode kepemimpinan seorang Presiden pun tidak cukup. Maksud saya, hal ini sungguh kompleks dan seringkali pendidikan dipahami sebagai hal yang mengubahkan manusia. Beberapa waktu belakangan ini melalui beberapa diskusi tentang isu-isu pendidikan di perkuliahan, saya akhirnya memahami bahwa asumsi yang kita gunakan dalam memaknai pendidikan telah keliru.

Sesungguhnya, kalau boleh jujur, pendidikan pun tidak sanggup untuk mengubahkan manusia. Mengapa? Pendidikan itu juga sejatinya sudah terdistorsi. Terdapat banyak praktik pendidikan yang tidak sesuai dengan naturnya. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa bukan pendidikan yang mengubahkan hati manusia, melainkan Roh Kudus.

Lantas, guna apa capek-capek mengusahakan pendidikan? Nah, pendidikan berfungsi sebagai agen transformasi manusia itu sendiri. Artinya, hanya sebagai alat yang dipakai Allah untuk mengubahkan manusia, membawa manusia mengenal PenciptaNya. Demikian pula halnya dengan guru.

Salah seorang dosen saya pernah mengatakan di salah satu perkuliahan, "guru" itu sejatinya dipandang oleh manusia dalam 3 perspektif, yakni "pekerjaan", "profesi", atau "panggilan". Jika seorang guru menjalankan perannya hanya sebagai pekerjaan, maka tidak heran jika pada saat-saat kesulitan finansial seorang guru akan putus asa, menyerah, atau kehilangan spirit untuk mendidik siswa, karena orientasinya hanyalah pada penghasilan.

Jika seorang guru menjalankan perannya sebagai  profesi, sudah pasti ia akan berusaha sebaik mungkin dalam usahanya mendidik siswa, bahkan bisa jadi melakukan banyak pengorbanan, tetapi pada akhirnya akan terjatuh pada sindrom aktualisasi diri. Artinya, besar kemungkinan jika dirinya tidak dianggap berhasil oleh orang lain, atau tetap direndahkan siswa setelah usaha ekstra tersebut, semangatnya sebagai seorang guru akan dengan mudah surut.

Nah, bagaimana dengan panggilan? Ya, dalam Biblical Christian Worldview, menjadi guru berarti memenuhi panggilan Allah Tritunggal dalam pengudusan dunia bagi kemuliaan nama-Nya. Itulah sebabnya menjadi guru bukanlah pekerjaan yang sepele, harus sungguh-sungguh digumulkan karena menjadi guru berarti menjadi rekan sekerja Allah dalam rekonsiliasi siswa dengan Allah itu sendiri.

Seorang guru terlebih dahulu harus mau dididik dalam kebenaran Allah supaya setiap pengajaran yang dilakukannya bersandar pada pengetahuan sejati, iman kepada Kristus dan menolong siswa untuk memiliki karakter ilahi. Menjalani kehidupan sebagai guru yang karena panggilan dari Allah akan memampukan guru untuk tidak putus asa atau menggantungkan spirit mengajarnya pada besar-kecilnya upah yang diperolehnya.

Dengan keyakinan bahwa Allah akan memelihara kehidupan setiap orang yang percaya kepada-Nya, guru tidak akan ragu untuk memandang gaji yang diterimanya sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan atas kehidupannya dan keluarganya. Sangat idealis? Barangkali pembaca akan merasa demikian.

Tapi hingga hari ini, saya telah mendengarkan banyak kesaksian dari guru-guru yang sungguh-sungguh mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan mulia ini dengan berlandaskan iman yang ditujunkkan melalui integritas dalam panggilannya, telah dipelihara Allah dari titik terpuruk kehidupannya sebagai guru hingga di titik mereka dapat melihat penyertaan-Nya yang nyata dan tak berkesudahan atas hidup mereka.

Dalam usaha untuk mendidik siswa, jika seorang guru telah mengusahakan yang terbaik demi pembentukan kepribadian siswa secara holistis, namun siswa masih tetap tidak berubah, atau hanya menunjukkan sedikit perubahan, guru tidak berhak untuk melabeli siswa sebagai siswa yang "....." (konotasi negatif), atau menyalahkan diri sendiri karena gagal mengubah siswa. Tidak, tidak demikian. Guru menabur apa yang seharusnya dia tabur, Allah yang memberi pertumbuhan.

Seorang guru bisa saja menjadi orang pertama yang memberikan nasihat atau teguran tertentu kepada siswa, dan langsung diresponi oleh siswa dengan berubah menjadi lebih baik. Guru juga bisa menjadi orang ke-26 yang menegur siswa, sampai siswa itu bisa berubah. Atau bahkan guru bukanlah orang yang dipakai Tuhan untuk menjadi agen perubahan siswa itu sendiri selama masa persekolahannya.

Tidak perlu kecewa. Kendati hasilnya demikian, yang saya percaya adalah suatu kebenaran yang diajarkan guru kepada siswanya jikan benar berasal dari Allah tidak akan menjadi sia-sia, meskipun kebenaran itu baru berbuah beberapa puluh tahun ke depan atau bahkan di akhir hidup siswa yang telah ditaburi kebenaran tersebut. Intinya, mendidik siswa harus diawali dengan pengenalan akan diri sendiri, pengenalan akan siswa yang dididik, yang semuanya itu didasari oleh pengenalan akan Allah yang sejati.

Sulit? Ya, tapi kita tidak berjalan sendiri, ada Dia yang senantiasa memampukan kita melalui setiap orang di sekitar kita, rekan kerja, siswa, dan berbagai hal tak terduga lainnya yang dapat dipakai Allah untuk memperlengkapi kita menjadi agen transformasi manusia serupa dengan Kristus melalui pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun