Akan tetapi, sebelum menjejali siswa dengan pendidikan berbasis teknologi yang semakin canggih, seorang guru juga harus benar-benar memahami bahwa teknologi bisa menjadi berkat, sekaligus batu sandungan dalam kehidupan setiap orang. Oleh sebab itulah, melalui pembelajaran seorang guru harus dapat menyampaikan kepada siswa bahwa teknologi seyogyanya menjadi sarana untuk melaksanakan tanggung jawab menjalankan mandate budaya yang telah diberikan Allah kepada manusia. Dengan berbekal teknologi di era industri 4.0 ini, siswa tidak mencari-cari alasan lagi untuk tidak mengeksplor talenta yang dimilikinya.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa dalam mengikuti pembelajaran yang direncanakan guru, setiap anak memiliki kecepatannya masing-masing. Dalam hal ini, guru tidak berhak untuk melabeli siswa (bahkan sejak dalam pemikirannya). Ketika menemukan siswa kesulitan, sebagai suatu komunitas, guru bisa mengajak setiap siswa di kelas untuk saling menolong. Ketika menjalani PPL 2 di salah satu SMA di Yogyakarta, saya juga menemukan permasalahan siswa di dalam kelas, baik dalam hal afektif maupun kognitif.
Ada suatu titik saya hampir menyerah ketika berhadapan dengan siswa-siswa yang berlaku semaunya di kelas, namun dengan kesadaran bahwa sesungguhnya setiap siswa adalah pribadi yang berharga di mata Tuhan, saya dimampukan untuk mengenali behind the scene perilaku siswa di kelas. Saya percaya bahwa tidak ada siswa yang bodoh, meskipun mereka menujukkan perilaku nakal. Ketidaktahuan siswa bisa jadi merupakan dampak dari kurang terakomodirnya kebutuhannya dalam belajar, atau kurangnya pengenalan guru akan siswanya.
Saya pernah menjadi siswa, dan bagi saya kepedulian seorang guru akan siswanya sudah menjadi modal awal bagi siswa untuk semangat dalam belajar. Kepedulian? Ya, guru membuka ruang diskusi dalam pembelajaran, mencari tahu alasan di balik keterbatasan siswa mengikuti pembelajaran dan menggandeng siswa untuk bersama-sama menemukan solusi dari setiap permasalahan mereka. Intinya, siswa bukan membutuhkan guru yang superior, tapi guru yang mau mengenal mereka dan berjalan bersama dengan mereka untuk menghadapi dunia yang sangat kompleks ini.
Sesungguhnya ketika kita berbicara tentang hal-hal yang harus dibenahi dalam pendidikan, satu periode kepemimpinan seorang Presiden pun tidak cukup. Maksud saya, hal ini sungguh kompleks dan seringkali pendidikan dipahami sebagai hal yang mengubahkan manusia. Beberapa waktu belakangan ini melalui beberapa diskusi tentang isu-isu pendidikan di perkuliahan, saya akhirnya memahami bahwa asumsi yang kita gunakan dalam memaknai pendidikan telah keliru.
Sesungguhnya, kalau boleh jujur, pendidikan pun tidak sanggup untuk mengubahkan manusia. Mengapa? Pendidikan itu juga sejatinya sudah terdistorsi. Terdapat banyak praktik pendidikan yang tidak sesuai dengan naturnya. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa bukan pendidikan yang mengubahkan hati manusia, melainkan Roh Kudus.
Lantas, guna apa capek-capek mengusahakan pendidikan? Nah, pendidikan berfungsi sebagai agen transformasi manusia itu sendiri. Artinya, hanya sebagai alat yang dipakai Allah untuk mengubahkan manusia, membawa manusia mengenal PenciptaNya. Demikian pula halnya dengan guru.
Salah seorang dosen saya pernah mengatakan di salah satu perkuliahan, "guru" itu sejatinya dipandang oleh manusia dalam 3 perspektif, yakni "pekerjaan", "profesi", atau "panggilan". Jika seorang guru menjalankan perannya hanya sebagai pekerjaan, maka tidak heran jika pada saat-saat kesulitan finansial seorang guru akan putus asa, menyerah, atau kehilangan spirit untuk mendidik siswa, karena orientasinya hanyalah pada penghasilan.
Jika seorang guru menjalankan perannya sebagai  profesi, sudah pasti ia akan berusaha sebaik mungkin dalam usahanya mendidik siswa, bahkan bisa jadi melakukan banyak pengorbanan, tetapi pada akhirnya akan terjatuh pada sindrom aktualisasi diri. Artinya, besar kemungkinan jika dirinya tidak dianggap berhasil oleh orang lain, atau tetap direndahkan siswa setelah usaha ekstra tersebut, semangatnya sebagai seorang guru akan dengan mudah surut.
Nah, bagaimana dengan panggilan? Ya, dalam Biblical Christian Worldview, menjadi guru berarti memenuhi panggilan Allah Tritunggal dalam pengudusan dunia bagi kemuliaan nama-Nya. Itulah sebabnya menjadi guru bukanlah pekerjaan yang sepele, harus sungguh-sungguh digumulkan karena menjadi guru berarti menjadi rekan sekerja Allah dalam rekonsiliasi siswa dengan Allah itu sendiri.
Seorang guru terlebih dahulu harus mau dididik dalam kebenaran Allah supaya setiap pengajaran yang dilakukannya bersandar pada pengetahuan sejati, iman kepada Kristus dan menolong siswa untuk memiliki karakter ilahi. Menjalani kehidupan sebagai guru yang karena panggilan dari Allah akan memampukan guru untuk tidak putus asa atau menggantungkan spirit mengajarnya pada besar-kecilnya upah yang diperolehnya.