Mohon tunggu...
Rinu setyo OFFICIAL
Rinu setyo OFFICIAL Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Halo teman-teman, Perkenalkan diri saya Rinu setyo Nugroho seorang mahasiswa yang memiliki Hobi traveling, salam sehat semua nya.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Green banking sebagai pembiayaan

13 Desember 2024   10:16 Diperbarui: 13 Desember 2024   10:16 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: langit bergerak

PENDAHULUAN

Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, krisis lingkungan, dan kebutuhan akan pembangunan berkelanjutan, sektor perbankan memegang peran penting. Konsep Green Banking atau perbankan hijau menjadi solusi inovatif dalam pembiayaan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Artikel ini akan membahas pengertian, manfaat, implementasi, serta tantangan Green Banking dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pengertian Green Banking

Green Banking mengacu pada praktik perbankan yang mendukung kegiatan ramah lingkungan melalui produk, layanan, dan kebijakan yang berfokus pada keberlanjutan. Bank hijau tidak hanya bertujuan untuk keuntungan finansial tetapi juga mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan mereka. Hal ini melibatkan pembiayaan proyek-proyek yang mendukung energi terbarukan, pengelolaan limbah, efisiensi energi, serta kegiatan lain yang mengurangi emisi karbon dan melestarikan sumber daya alam.

Prinsip Dasar Green Banking

1. Inklusivitas: Meningkatkan akses pembiayaan bagi sektor yang mendukung keberlanjutan.

2. Keberlanjutan: Memastikan dampak positif jangka panjang terhadap lingkungan.

3. Tanggung Jawab Sosial: Mendorong aktivitas yang memberikan dampak sosial positif.

4. Manajemen Risiko Lingkungan: Mengidentifikasi dan mengurangi risiko lingkungan yang berkaitan dengan pembiayaan proyek.

Manfaat Green Banking

1. Mengurangi Dampak Lingkungan: Dengan mendanai proyek ramah lingkungan, bank dapat membantu menekan emisi karbon, meningkatkan efisiensi sumber daya, dan melestarikan lingkungan.

2. Keuntungan Ekonomi Jangka Panjang: Proyek hijau sering kali memberikan keuntungan berkelanjutan, seperti pengurangan biaya energi dan peningkatan reputasi bisnis.

3. Meningkatkan Reputasi Bank: Bank yang mengadopsi praktik hijau cenderung mendapatkan kepercayaan lebih dari masyarakat dan investor.

4. Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): Green Banking selaras dengan target SDGs, terutama dalam aspek energi bersih, kota berkelanjutan, dan aksi terhadap perubahan iklim.

Implementasi Green Banking.

1. Produk dan Layanan Ramah Lingkungan

Bank dapat menawarkan produk seperti:

* Green Loans: Pinjaman untuk proyek energi terbarukan, efisiensi energi, atau pengelolaan limbah.

* Green Bonds: Obligasi yang digunakan untuk mendanai proyek hijau.

* Eco-friendly Credit Cards: Kartu kredit yang mendorong pengguna untuk mendukung belanja ramah lingkungan.

2. Digitalisasi Perbankan

Digitalisasi layanan perbankan mengurangi penggunaan kertas, energi, dan sumber daya lain. Contohnya adalah penggunaan aplikasi mobile banking, e-statements, dan transaksi non-tunai.

3. Kebijakan Investasi Hijau

Bank dapat memprioritaskan investasi pada perusahaan yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi. Hal ini mencakup pembatasan investasi pada industri yang merusak lingkungan, seperti pertambangan batu bara atau minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan.

4. Edukasi dan Kesadaran

Penting bagi bank untuk meningkatkan kesadaran nasabah mengenai pentingnya keberlanjutan melalui kampanye, seminar, atau insentif bagi kegiatan hijau.

5. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Lembaga Internasional

Bank perlu bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi internasional untuk memperkuat regulasi dan menciptakan mekanisme insentif untuk proyek hijau.

Tantangan Implementasi Green Banking

1. Keterbatasan Pengetahuan dan Kesadaran

Masih banyak pelaku bisnis dan masyarakat yang belum memahami pentingnya Green Banking dan manfaat jangka panjangnya.

2. Biaya Implementasi Awal yang Tinggi

Proyek hijau sering kali membutuhkan investasi awal yang besar, yang dapat menjadi kendala bagi banyak perusahaan.

3. Risiko dan Ketidakpastian

Proyek hijau terkadang menghadapi risiko, seperti teknologi baru yang belum teruji atau regulasi yang berubah-ubah.

4. Kurangnya Regulasi dan Insentif

Beberapa negara belum memiliki regulasi yang mendukung atau insentif yang cukup untuk mendorong perbankan hijau.

Studi Kasus Keberhasilan Green Banking

1. Triodos Bank (Belanda)

Triodos Bank adalah contoh bank hijau yang mendanai proyek energi terbarukan, pertanian organik, dan pendidikan. Bank ini memiliki kebijakan transparansi tinggi, di mana nasabah dapat melihat proyek yang didanai.

2. Yes Bank (India)

Yes Bank telah meluncurkan obligasi hijau untuk mendukung pembiayaan proyek energi terbarukan dan telah berpartisipasi dalam berbagai inisiatif keberlanjutan di India.

3. Bank Mandiri (Indonesia)

Sebagai salah satu bank besar di Indonesia, Bank Mandiri telah memulai program pendanaan untuk sektor energi terbarukan dan pengelolaan limbah.

Prospek Masa Depan Green Banking

Dengan meningkatnya kesadaran global akan pentingnya keberlanjutan, prospek Green Banking semakin cerah. Teknologi, seperti kecerdasan buatan dan blockchain, dapat membantu bank hijau mengidentifikasi risiko, meningkatkan efisiensi, dan memastikan transparansi. Selain itu, tekanan dari pemangku kepentingan dan masyarakat akan terus mendorong bank untuk mengadopsi praktik hijau.

Green banking atau perbankan hijau adalah pendekatan yang diterapkan oleh lembaga keuangan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam operasi dan kebijakan mereka. Konsep ini menjadi lebih populer setelah disepakatinya Paris Climate Agreement pada tahun 2015, yang mendorong lembaga keuangan untuk berinvestasi dalam energi terbarukan dan proyek-proyek berkelanjutan lainnya13. Green banking mencakup berbagai praktik, seperti:

Pengurangan penggunaan kertas: Mengalihkan transaksi dari manual ke digital untuk mengurangi deforestasi.

Pemberian pinjaman untuk proyek ramah lingkungan: Seperti kendaraan listrik dan sistem tenaga surya.

Kebijakan investasi yang bertanggung jawab: Menghindari investasi di sektor-sektor yang merusak lingkungan seperti bahan bakar fosil15.

Manfaat Green Banking

Implementasi green banking menawarkan berbagai manfaat baik bagi bank itu sendiri maupun bagi masyarakat dan lingkungan. Beberapa manfaat utama meliputi:

Meningkatkan efisiensi operasional: Dengan mengurangi penggunaan kertas dan menerapkan teknologi digital, bank dapat menghemat biaya operasional5.

Meningkatkan citra perusahaan: Bank yang menerapkan praktik ramah lingkungan cenderung memiliki citra positif di mata masyarakat, yang dapat menarik lebih banyak nasabah6.

Akses ke pasar baru: Dengan fokus pada pembiayaan proyek-proyek berkelanjutan, bank dapat membuka akses ke segmen pasar baru yang peduli terhadap isu lingkungan7.

Pengurangan risiko: Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan dalam pengambilan keputusan, bank dapat mengurangi risiko terkait dengan proyek-proyek yang dapat berdampak negatif pada lingkungan8.

Tantangan dalam Implementasi Green Banking

Meskipun green banking menawarkan banyak manfaat, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh bank dalam implementasinya:

Diversifikasi Portofolio: Bank mungkin mengalami kesulitan dalam menemukan cukup banyak proyek ramah lingkungan untuk didanai, terutama jika mereka membatasi diri hanya pada entitas yang memenuhi kriteria green banking1.

Biaya Awal yang Tinggi: Investasi awal untuk teknologi baru dan pelatihan karyawan dapat menjadi beban finansial bagi bank, terutama bagi bank kecil atau baru34.

Kurangnya Dukungan Pemerintah: Tanpa adanya regulasi atau insentif dari pemerintah untuk mendukung praktik green banking, bank mungkin kurang termotivasi untuk beralih ke model ini16.

Implementasi Green Banking di Indonesia

Di Indonesia, beberapa bank telah mulai menerapkan prinsip-prinsip green banking. Misalnya, Bank Syariah Indonesia (BSI) telah mengimplementasikan berbagai kebijakan green banking yang mencakup:

Pembiayaan untuk energi terbarukan: BSI memberikan pinjaman khusus untuk proyek-proyek energi terbarukan seperti solar panel dan pembangkit listrik tenaga angin.

Kebijakan paperless: Mendorong nasabah untuk bertransaksi secara online guna mengurangi penggunaan kertas.

Edukasi kepada nasabah: Mengedukasi nasabah tentang pentingnya keberlanjutan dan bagaimana mereka dapat berkontribusi melalui pilihan investasi mereka

Pemerintah pun telah memulai langkah untuk mewujudkan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Misalnya, menyiapkan sederet strategi untuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) dan menyiapkan peta transisi energi menuju Net Zero Emission pada 2060. Di industri keuangan, regulator pun gencar menerbitkan green bond atau green sukuk dengan proyek ramah lingkungan.

Adapun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) sebagai upaya untuk mengakselerasi penerapan ESG bagi sektor jasa keuangan, serta Taksonomi Hijau Edisi 1.0 sebagai acuan mempercepat program pembiayaan dengan prinsip berkelanjutan di sektor jasa keuangan.

Sementara, Bank Indonesia (BI) mendukung pembiayaan hijau melalui instrumen kebijakan pelonggaran uang muka untuk kendaraan bermotor, loan to value (LtV) untuk perumahan yang sustainable, serta memberikan pelonggaran likuiditas kepada bank yang menyalurkan kredit atau pembiayaan ke sektor hijau dan berkelanjutan.

Langkah ini semata-mata dilakukan pemerintah dan regulator untuk mencapai ekonomi hijau yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Terlebih, data Green Economy Indeks 2022 menunjukkan ekonomi hijau menjadi solusi ketahanan bencana dan mengurangi emisi hingga 68 persen tahun 2045. Secara tak langsung juga menciptakan 1,8 juta lapangan kerja di 2030 dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050. Ekonomi hijau juga jadi kunci utama untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045

Sebagai katalis pembangun ekonomi, bank memiliki peran penting untuk mendorong ekonomi hijau, serta berperan aktif dengan mengintegrasikan ESG ke dalam hitungan bisnis dan keputusan pembiayaan, yakni memperhatikan pembiayaan terhadap aspek-aspek pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial dan tata kelola yang baik. Sehingga, bank tidak hanya mencari untung, tapi juga memberi makmur.

"Komitmen dari lembaga keuangan untuk mendukung pembiayaan hijau menjadi sangat krusial. Bank juga diharapkan terus menyeimbangkan antara motif untuk mengejar keuntungan jangka pendek dengan sustainable finance," kata Juda Agung, Deputi Gubernur Bank Indonesia, beberapa waktu lalu.

Kini, bank-bank tanah air sedang berproses agar penyaluran kreditnya "menjadi hijau". Pembiayaan hijau dapat berupa investasi atau kredit yang khusus diberikan untuk mendanai proyek pembangunan jangka panjang dan ramah lingkungan.

Hingga akhir 2022, OJK mencatat green bond yang terbit di pasar domestik mencapai Rp15,4 triliun. Sementara itu, platform SDG Indonesia One dalam kerangka blended finance telah menghimpun komitmen pendanaan maupun fasilitas lain senilai US$3,26 miliar per Maret 2023, yang melibatkan partisipasi sejumlah institusi perbankan. Bank juga telah menyalurkan pembiayaan hijau Rp728,9 triliun, senilai Rp1,28 triliun disalurkan untuk pembiayaan kendaraan listrik, dan senilai Rp28,9 triliun untuk membiayai proyek terkait EBT.

Tren pembiayaan hijau perbankan Indonesia pun terus meningkat. Hal ini tecermin pada kinerja keuangan hijau bank-bank milik negara atau Himbara. BRI, misalnya. Pada kuartal III 2023, BRI membukukan penyaluran kredit berkelanjutan atau kredit ESG sebesar Rp750,91 triliun atau tumbuh 11,89% secara tahunan. Porsi kredit ESG ini mencapai 66,1% dari total portofolio kredit bank, dimana BRI telah menyalurkan kredit sebesar Rp1.250,72 triliun hingga akhir September 2023 atau tumbuh 12,53% secara tahunan.

Saat ini, ada 15 lembaga keuangan yang tergabung dalam Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Inisiatif ini merupakan bentuk komitmen nyata dari industri keuangan untuk mendukung pembiayaan hijau. Bank-bank yang termasuk dalam keanggotaan asosiasi ini, yaitu BRI, BNI, BCA, Bank BJB, CIMB Niaga, OCBC NISP Indonesia, Bank Syariah Indonesia, dan HSBC Indonesia

Menurut catatan Infobank, HSBC Indonesia telah menyalurkan kredit hijau ke berbagai proyek hijau di Indonesia. Pertama, HSBC Indonesia mendukung Semen Indonesia Group dalam mengembangkan kerangka keberlanjutan yang merupakan persyaratan penting untuk memperoleh pinjaman terkait keberlanjutan, serta berpartisipasi memberikan Syndicated Sustainability Linked Loan kepada Semen Indonesia.

Kedua, HSBC Indonesia memberikan pinjaman ramah lingkungan sebesar USD 67 juta kepada PT Bumi Menara Internusa, eksportir akuakultur dan makanan laut berkelanjutan, dengan perjanjian partisipasi risiko dengan ADB.

Ketiga, HSBC Indonesia menyalurkan pinjaman berjangka hijau sebesar USD 20 juta kepada PT Indo-Rama Synthetics, Tbk, yang akan digunakan untuk mendukung upaya Indo-Rama mengurangi konsumsi energi melalui instalasi mesin-mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal, serta meningkatkan pencapaian ESG dari Indorama Group secara keseluruhan.

Selain itu, pada April 2023 lalu, HSBC Indonesia telah menyalurkan kredit hijau berjangka sebesar US$10,3 juta atau sekitar Rp154,6 miliar dengan jangka waktu 6 tahun kepada PT Euroasiatic Heat and Power Systems (Euroasiatic) untuk proyek pembangkit listrik turbin gas dengan sistem pembangkitan bersama berbahan bakar gas alam.

Lalu pada Juni 2023, HSBC Indonesia menyalurkan pinjaman berjangka (Term Loan) sebesar Rp350 miliar, termasuk di dalamnya pinjaman hijau berjangka (Green Term Loan) senilai Rp50 miliar kepada PT Blue Bird, Tbk. dan Anak Perusahaan (BIRD) yang akan digunakan untuk mengakuisisi kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV).

HSBC Indonesia juga dimandatkan sebagai Joint Bookrunner dan Agen Penjual Internasional pada IPO Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Indonesia senilai US$608 juta di Bursa Efek Indonesia (BEI). "Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan portfolio sustainable finance HSBC Indonesia menunjukkan performa yang menggembirakan," kata Riko Tasmaya, Managing Director dan Head of Wholesale Banking HSBC Indonesia, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.

Sementara, Francois de Maricourt, Presiden Direktur HSBC Indonesia, mengatakan bahwa HSBC Indonesia telah terlibat dalam mengembangkan keuangan keberlanjutan melalui kemitraan strategis antara pemerintah dengan swasta. "Kami berperan aktif dalam inisiatif strategis seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) melalui mekanisma Just Energy Transition Partnership (JETP). Kolaborasi ini bertujuan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan di Indonesia," ujarnya, beberapa waktu lalu.

Karena dedikasinya ini, HSBC Indonesia telah diakui sebagai The Best International Bank in Indonesia dari Asia Money selama dua tahun berturut-turut sejak tahun 2022. Pengakuan ini tidak lepas dari komitmen kuat HSBC Indonesia mendukung nasabahnya dalam transisi menuju net zero, serta berbagai kemampuan dan inovasi yang dihadirkan.

Tantangan "Menjadi Hijau"

Kendati begitu, tak mudah untuk "menjadi hijau". Masih ada tumpukan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, masih minimnya kesadaran penerapan ESG di Indonesia. Padahal ESG adalah tonggak awal tercapainya ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Berdasarkan survey Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) tahun 2021, indeks ESG Indonesia berada pada peringkat ke 36 dari 47 pasar modal di dunia dan 40% perusahaan Indonesia masih belum sadar terhadap pentingnya penerapan ESG.

Ryan Kiryanto, Ekonom Senior menyebut ada lima tantangan implementasi ESG di Indonesia, diantaranya tidak mempunyai keahlian, belum siap dan terus menunda, tidak mempunyai resources yang cukup, biaya konsultan ESG cukup mahal, serta ESG sangat kompleks dan tidak tahu untuk memulai darimana. Di perbankan, implementasi ESG juga terhambat oleh arus informasi, spekulasi dan peraturan yang berubah-ubah.

"Bank telah lama peduli dengan keberlanjutan dengan cara yang sebagian besar terfragmentasi. Namun, karena arus informasi dan spekulasi yang membingungkan tentang perubahan peraturan di masa depan, sulit bagi sebagian besar institusi untuk mengembangkan strategi komprehensif untuk faktor-faktor ESG," ujarnya, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hendri Saparini, Ekonom Senior dan pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, bulan lalu, bahwa Indonesia masih serba "mendadak hijau", belum tahu yang mana sektor prioritas dan mana yang tidak. "Yang penting harus hijau karena ada desakan untuk menekan emisi. Akhirnya, transisi ke ekonomi hijau masih dilihat sebagai beban kewajiban, bukan peluang," katanya.

Oleh sebab itu, Wahyudin Rahman, Dosen dan Praktisi Manajemen Risiko menilai pemerintah wajib mendaur ulang aksi "menjadi hijau" sehingga lebih progresif dan bukan sekedar jargon. Utamanya, memperkuat komitmen dan kebijakan. "Perlunya komitmen tinggi dari top dan bottom level, hulu ke hilir dan semua sektor dalam menjalankan kebijakan hijau. Negara dapat memaksimalkan BUMN sebagai role model dan akselerator aksi ekonomi hijau," katanya, beberapa waktu lalu.

Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih mengikat. Climate Action Tracker (CAT) menyebut kebijakan pemerintah Indonesia saat ini belum cukup untuk mencapai target emisi. "Harus ada peningkatan pengawasan dan sanksi. Hampir di setiap sektor, ketidakberhasilan dikarenakan lemahnya pengawasan, yakni konsistensi eksekusi dan laporan emisi. Pemerintah harus bertindak tegas dengan pemberian sanksi bertahap bagi para pelaku yang tidak komitmen," tambah Wahyudin.

Asa mewujudkan ekonomi hijau dan berkelanjutan perlu kerjasama semua pihak -- untuk mencapainya pun seperti sedang bermain orkestra. Dibutuhkan harmonisasi antar pemainnya, supaya menghasilkan alunan musik yang merdu nan indah. Dan juga, masih ada peluang besar perbankan menjadi hijau. Meskipun sulit, tapi jika tekun pasti terwujud. Karena, sebaik-baiknya pekerjaan, adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dan sesuatu yang mulia, pasti bisa berjalan dalam jangka waktu yang lama

Kesimpulan

Green Banking adalah solusi pembiayaan yang tidak hanya menjawab tantangan lingkungan tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam produk, kebijakan, dan operasi mereka, bank dapat memainkan peran kunci dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau. Namun, keberhasilan implementasinya membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat

Daftar Pustaka

1. "Sustainable Banking: Managing the Social and Environmental Impact of Financial Institutions" -- Journal of Environmental Management.

2. "Green Banking Practices: Issues and Challenges" -- International Journal of Financial Studies.

3. "The Role of Banks in Promoting Sustainable Development" -- United Nations Environment Programme (UNEP).

4. Website resmi Triodos Bank (https://www.triodos.com).

5. Bank Mandiri Sustainability Report 2023.

6. World Bank. "Green Bonds: Mobilizing the Private Sector for Climate Action."

7. "Digital Banking and Environmental Sustainability" -- McKinsey & Company.

8. Laporan Keberlanjutan Yes Bank (https://www.yesbank.in)

9. https://infobanknews.com/pembiayaan-hijau-masa-depan-perbankan-indonesia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun