Membaca investigasi Majalah Tempo (edisi 20-26 November 2023) tentang peran Ibu Negara Iriana Joko Widodo dalam mengegolkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto mengantarkan kita pada suatu kesan umum yang negatif tentang Iriana perempuan secara umum.Â
Betapa tidak, dalam investigasi tersebut, dikisahkan dengan menyakinkan bahwa Iriana sebagai tokoh sentral yang terlibat dalam memunculkan nama Gibran sebagai bacawapres sejak Juni 2023. Dalam forum-forum keluarga Jokowi dan Iriana, nama Gibran disodorkan sebagai cawapres dan kesan umum keluarga hanya "mengangguk-angguk" tanda setuju meski ada satu dua yang berbeda pandangan.Â
Sentralnya peran Iriana ini mengandung dua hal sekaligus. Pertama, peran Jokowi sebagai Kepala Negara dan kepala keluarga disandera oleh istrinya. Jokowi seperti "boneka" dari Iriana yang tidak otonom, hanya manut pada titah sang istri, alias jenis suami takut istri.Â
Tentu ini tidak benar jika kita melihat track record kejeniusan Jokowi yang sangat piawai dalam memainkan politik di level nasional. Iriana sendiri hampir jarang di ajak dalam hajatan politik yang menghadirkan Jokowi. Itu artinya, Jokowi tahu membatasi dan mengendalikan peran Iriana dalam urusan politik.Â
Kalau pun Iriana terbukti menentukan dan mengarahkan pilihan dan masa depan anak-anaknya, ya, wajar saja namanya orang tua. Di mana-mana, saya kira, semua orang tua pasti mengarahkan anak-anaknya untuk memiliki masa depan yang baik. Rasanya tidak mungkin nasehat ibu kepada anaknya di meja makan begitu berkuasa sehingga mampu membuat semua ketua umum partai memberika dukungan seketika.
Kedua, tuduhan yang dilancarkan oleh Tempo itu membawa kita kepada sebuah konsep femme fatale (istilah Prancis) yang secara harafiah berarti perempuan pembawa sial, bencana, dan kemalangan. Konsep ini justru berkembang dalam tradisi partiarkis yang kental di mana perempuan sama sekali merupakan second class dari peradaban dan cenderung distigma negatif jika ada persitiwa buruk.Â
Konsekuensi yang kedua ini sebetulnya tidak saja merendahkan martabat Iriana sebagai seorang perempuan, tetapi serentak sangat merendahkan martabat kaum perempuan yang masih dianggap sebagai biang keburukan dan malpolitik dalam sebuah negeri yang didominasi oleh kekuasaan patriarkis yang kental.Â
Terlepas dari ivenstigasi itu benar atau tidak, hasil tersebut telah menggiring publik pembaca dan penonton kepada suatu kesimpulan (sementara) bahwa Iriana merupakan orang yang bertanggung jawab atas seluruh kemunduran demokrasi sebagai akibat dari pencalonan Gibran yang dianggap tak etis dan cacat hukum.Â
Mitos perempuan sebagai femme fatale ini terus dipelihara justru sebagai legitimasi dominasi kekuasaan politik kaum laki-laki. Kalau pun ada peran perempuan dalam sedikit kisah besar, itu hanyalah pemberian yang permisif dari dominasi laki-laki.Â
Stereotipe femme fatale--seperti diuraikan dengan sangat bagus oleh Muhammad Sabri dalam Modjok.co--bisa kita lacak dalam kebudayaan umat manusia terutama dalam agama Shamawi dan juga kebudayaan Helenistik. Dalam kebudayaan agama shamawi kita temukan bagaimana Hawa (Eva) dianggap sebagai femme fatale kejatuhan Adam dan dengan demikian kejatuhan seluruh umat manusia ke dalam dosa karena memakan buah terlarang.Â