Mohon tunggu...
Rinto Namang
Rinto Namang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai rujak dan gado-gado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Iriana dan Misoginisme Politik

5 Desember 2023   17:03 Diperbarui: 5 Desember 2023   17:03 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: FB Setkab 

Dalam kebudayaan Helenistik, kita melihat deretan nama-nama seperti Pandora, Medusa, Helen dari Troy sebagai gambaran umum dari bencana bagi bangsa tersebut. Helen dituding menjadi biang keladi perang besar antara Yunani dan Troy. Pandora diberi hadiah oleh Dewa Zeus tetapi dengan pesan "tidak boleh dibuka" tetapi karena penasaran ia buka kotak tersebut dan ternyata keluarlah segala keburukan (dan harapan) yang menimpa umat manusia.

Sementara Medusa adalah korban pemerkosaan dewa laut Poseidon tetapi justru dihukum dengan sangat mengerikan yaitu rambutnya berubah menjadi ular, matanya berubah mematikan, barang siapa yang menatap matanya segera menemui ajalnya, dan ia akhirnya menjadi monster (femme fatale) bagi kota Athena. 

Dalam dunia film horor di Indonesia, banyak mengangkat dan melestarikan budaya perempuan sebagai femme fatale bagi masyarakat, seperti kuntilanak, Mak Lampir, Sundel Bolong, dan hantu perempuan lainnya. Semua itu dimaksudkan untuk membentuk perspektif misoginis di benak publik bahwa segala aib dan bencana bersumber dari perempuan.

Ketika membaca investigasi Tempo dan menonton podcast Bocor Alus tentang peran Iriana, saya mendapatkan kesan adanya upaya penggiringan opini publik secara misoginis sedemikian sehingga terbentuk di dalam sanubari publik bahwa semua pelanggaran etika politik yang memunculkan nama Gibran ini berasal dari seorang perempuan bernama Iriana yang adalah ibu kandung dari Gibran.

Namun, benarkah Iriana berperan sangat sentral dan penting dalam pencalonan Gibran sebagai cawapres dalam "cawe-cawe" di kalangan Keluarga Solo dan HIPMI Solo sedemikian sehingga bisa mengitervensi keputusan politik Koalisi Indonesia Maju? Sayang, dalam ulasan Tempo kita tidak melihat ada hubungan antara peran Iriana dengan para ketua umum partai KIM. Maka, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Iriana adalah sumber bencana bagi demokrasi kita melalui pencalonan Gibran. 

Pencalonan Gibran tidak bisa hanya berdasarakan omongan di kalangan keluarga besar yang notabene tidak ada irisan politik dengan KIM. Toh, yang memutuskan Gibran maju dan tidaknya adalah KIM selaku pemegang tiketnya yang sah. Dan, keputusan KIM yang menyatakan Gibran maju sebagai cawapres adalah sebuah "jalan tengah" dari kebuntuan politik (political deadlock) di dalam Koalisi itu sendiri. 

Menuding Iriana sebagai  berperan penting dalam pencawapresan Gibran dan dengan demikian mendorong Indonesia masuk ke dalam dinasti politik, selain sesat pikir, adalah sebuah misoginisme politik yang dimaksudkan untuk melanggengkan dominasi kekuasaan patriarkis! Ini harus dilawan! 

Tudingan ini tidak lain adalah bentuk pelanggengan dari konsep femme fatale di dalam demokrasi kita. Sialnya, pelanggengan femme fatale ini justru datang dari media sekelas Tempo, sebagai salah satu pilar demokratis, di dalam era demorkatis seperti sekarang ini. Ketika dunia sedang bergerak maju meninggalkan misoginisme politik, wajah politik kita justru dihiasi oleh media yang merangsang kebencian terhadap perempuan, terhadap seorang ibu. 

Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun