Mohon tunggu...
Rinto Namang
Rinto Namang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai rujak dan gado-gado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Iriana dan Misoginisme Politik

5 Desember 2023   17:03 Diperbarui: 5 Desember 2023   17:03 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: FB Setkab 

Membaca investigasi Majalah Tempo (edisi 20-26 November 2023) tentang peran Ibu Negara Iriana Joko Widodo dalam mengegolkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto mengantarkan kita pada suatu kesan umum yang negatif tentang Iriana perempuan secara umum. 

Betapa tidak, dalam investigasi tersebut, dikisahkan dengan menyakinkan bahwa Iriana sebagai tokoh sentral yang terlibat dalam memunculkan nama Gibran sebagai bacawapres sejak Juni 2023. Dalam forum-forum keluarga Jokowi dan Iriana, nama Gibran disodorkan sebagai cawapres dan kesan umum keluarga hanya "mengangguk-angguk" tanda setuju meski ada satu dua yang berbeda pandangan. 

Sentralnya peran Iriana ini mengandung dua hal sekaligus. Pertama, peran Jokowi sebagai Kepala Negara dan kepala keluarga disandera oleh istrinya. Jokowi seperti "boneka" dari Iriana yang tidak otonom, hanya manut pada titah sang istri, alias jenis suami takut istri. 

Tentu ini tidak benar jika kita melihat track record kejeniusan Jokowi yang sangat piawai dalam memainkan politik di level nasional. Iriana sendiri hampir jarang di ajak dalam hajatan politik yang menghadirkan Jokowi. Itu artinya, Jokowi tahu membatasi dan mengendalikan peran Iriana dalam urusan politik. 

Kalau pun Iriana terbukti menentukan dan mengarahkan pilihan dan masa depan anak-anaknya, ya, wajar saja namanya orang tua. Di mana-mana, saya kira, semua orang tua pasti mengarahkan anak-anaknya untuk memiliki masa depan yang baik. Rasanya tidak mungkin nasehat ibu kepada anaknya di meja makan begitu berkuasa sehingga mampu membuat semua ketua umum partai memberika dukungan seketika.

Kedua, tuduhan yang dilancarkan oleh Tempo itu membawa kita kepada sebuah konsep femme fatale (istilah Prancis) yang secara harafiah berarti perempuan pembawa sial, bencana, dan kemalangan. Konsep ini justru berkembang dalam tradisi partiarkis yang kental di mana perempuan sama sekali merupakan second class dari peradaban dan cenderung distigma negatif jika ada persitiwa buruk. 

Konsekuensi yang kedua ini sebetulnya tidak saja merendahkan martabat Iriana sebagai seorang perempuan, tetapi serentak sangat merendahkan martabat kaum perempuan yang masih dianggap sebagai biang keburukan dan malpolitik dalam sebuah negeri yang didominasi oleh kekuasaan patriarkis yang kental. 

Terlepas dari ivenstigasi itu benar atau tidak, hasil tersebut telah menggiring publik pembaca dan penonton kepada suatu kesimpulan (sementara) bahwa Iriana merupakan orang yang bertanggung jawab atas seluruh kemunduran demokrasi sebagai akibat dari pencalonan Gibran yang dianggap tak etis dan cacat hukum. 

Mitos perempuan sebagai femme fatale ini terus dipelihara justru sebagai legitimasi dominasi kekuasaan politik kaum laki-laki. Kalau pun ada peran perempuan dalam sedikit kisah besar, itu hanyalah pemberian yang permisif dari dominasi laki-laki. 

Stereotipe femme fatale--seperti diuraikan dengan sangat bagus oleh Muhammad Sabri dalam Modjok.co--bisa kita lacak dalam kebudayaan umat manusia terutama dalam agama Shamawi dan juga kebudayaan Helenistik. Dalam kebudayaan agama shamawi kita temukan bagaimana Hawa (Eva) dianggap sebagai femme fatale kejatuhan Adam dan dengan demikian kejatuhan seluruh umat manusia ke dalam dosa karena memakan buah terlarang. 

Dalam kebudayaan Helenistik, kita melihat deretan nama-nama seperti Pandora, Medusa, Helen dari Troy sebagai gambaran umum dari bencana bagi bangsa tersebut. Helen dituding menjadi biang keladi perang besar antara Yunani dan Troy. Pandora diberi hadiah oleh Dewa Zeus tetapi dengan pesan "tidak boleh dibuka" tetapi karena penasaran ia buka kotak tersebut dan ternyata keluarlah segala keburukan (dan harapan) yang menimpa umat manusia.

Sementara Medusa adalah korban pemerkosaan dewa laut Poseidon tetapi justru dihukum dengan sangat mengerikan yaitu rambutnya berubah menjadi ular, matanya berubah mematikan, barang siapa yang menatap matanya segera menemui ajalnya, dan ia akhirnya menjadi monster (femme fatale) bagi kota Athena. 

Dalam dunia film horor di Indonesia, banyak mengangkat dan melestarikan budaya perempuan sebagai femme fatale bagi masyarakat, seperti kuntilanak, Mak Lampir, Sundel Bolong, dan hantu perempuan lainnya. Semua itu dimaksudkan untuk membentuk perspektif misoginis di benak publik bahwa segala aib dan bencana bersumber dari perempuan.

Ketika membaca investigasi Tempo dan menonton podcast Bocor Alus tentang peran Iriana, saya mendapatkan kesan adanya upaya penggiringan opini publik secara misoginis sedemikian sehingga terbentuk di dalam sanubari publik bahwa semua pelanggaran etika politik yang memunculkan nama Gibran ini berasal dari seorang perempuan bernama Iriana yang adalah ibu kandung dari Gibran.

Namun, benarkah Iriana berperan sangat sentral dan penting dalam pencalonan Gibran sebagai cawapres dalam "cawe-cawe" di kalangan Keluarga Solo dan HIPMI Solo sedemikian sehingga bisa mengitervensi keputusan politik Koalisi Indonesia Maju? Sayang, dalam ulasan Tempo kita tidak melihat ada hubungan antara peran Iriana dengan para ketua umum partai KIM. Maka, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Iriana adalah sumber bencana bagi demokrasi kita melalui pencalonan Gibran. 

Pencalonan Gibran tidak bisa hanya berdasarakan omongan di kalangan keluarga besar yang notabene tidak ada irisan politik dengan KIM. Toh, yang memutuskan Gibran maju dan tidaknya adalah KIM selaku pemegang tiketnya yang sah. Dan, keputusan KIM yang menyatakan Gibran maju sebagai cawapres adalah sebuah "jalan tengah" dari kebuntuan politik (political deadlock) di dalam Koalisi itu sendiri. 

Menuding Iriana sebagai  berperan penting dalam pencawapresan Gibran dan dengan demikian mendorong Indonesia masuk ke dalam dinasti politik, selain sesat pikir, adalah sebuah misoginisme politik yang dimaksudkan untuk melanggengkan dominasi kekuasaan patriarkis! Ini harus dilawan! 

Tudingan ini tidak lain adalah bentuk pelanggengan dari konsep femme fatale di dalam demokrasi kita. Sialnya, pelanggengan femme fatale ini justru datang dari media sekelas Tempo, sebagai salah satu pilar demokratis, di dalam era demorkatis seperti sekarang ini. Ketika dunia sedang bergerak maju meninggalkan misoginisme politik, wajah politik kita justru dihiasi oleh media yang merangsang kebencian terhadap perempuan, terhadap seorang ibu. 

Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun