Mohon tunggu...
Rinto Pariaman Tono Aritora
Rinto Pariaman Tono Aritora Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Rinto Pariaman Tono R

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baoa na Burju #6# Tidak Semua Orang Batak Makan Babi

3 Oktober 2014   18:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:30 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123120992073925887

Encik Ros sudah selesai sholat. Ia berjalan keluar namun masih dengan memakai mukena memanggil Abigail, “borreg..ayo makan yuuk!” sahutnya sambil membuka mukena dan melipatnya. Jalannya tertatih-tatih menuju meja makan.

“apaan borreg encik..maksudku umi?” Tanya Abigail

“sudah.. panggil encik saja kalau susah..memang orang-orang sudah terbiasa dengan panggilan itu” sahut Encik Ros.

“Borreg itu maksudnya boru Regar..di kota ini orang terbiasa memanggil marga..nama paling buat anak-anak” sambung encik Ros. Ia menghidangkan sepiring lontong sayur dengan mie gomak kepada Abigail.

“cicipin dulu masakan encik” katanya sambil duduk di kursi dan berhadapan dengan Abigail.

Abigail mencicipi spaghetti ala Batak itu, ia masih enggak habis pikir, Encik menyuruhnya untuk mencicipi sepiring mie lengkap dengan lontong dan kuahnya. “ini mah porsi buat makan siang dan malam” pikirnya.

“kenapa? Kebanyakan? Biasanya orang Jakarta kalau ke kampung itu bawaannya pasti lapar..makanya encik kasih banyak” kata Encik Ros. Ia tertawa menatap Abigail yang menyantap lontong sayur khas Medan itu.

Abigail melirik jam dipergelangan tangannya. “masih jam tiga..habis magrib saja kau pulang!” sahut encik Ros. Sambil menemani Abigail makan encik Ros melanjutkan ceritanya.

**

“hati-hati encik!” sahut Tamara. Jalanan di kota ini memang harus hati-hati karena masih banyak ternak yang berkeliaran yang dilepas oleh para pemiliknya.

“itu rumah kami encik” sambung Tamara. Encik Ros melihat rumah berbentuk panggung itu dengan bahan utama bangunan berupa kayu. ia mendengar dari kejauhan suara seruling bambu yang nadanya seperti lagu yang dinyanyiin Tamara di kelas. “Itu siapa yang niup seruling?”

“ooh itu bang Burju..ia kalau sedang menjaga ternak biasanya main seruling..dan kalau sore aku diiringin abang bernyanyi” jawab Tamara. Diwajahnya yang polos mengembang senyuman manis. Tamara berlari dan memasuki rumah serta memanggil ibunya. “mama..ada encik guru!”

Encik Ros melihat sekeliling areal rumah itu, masih terdapat banyak pohon bambu dan ada pohon mangga besar. Ia memperhatikan di atas dahan pohon itu Burju sedang memainkan seruling dengan fokus sekali, jarinya bergantian bergerak-gerak membuka dan menutup lobang yang ada pada alat musik dari bambu itu. Hingga seekor ayam betina berkotek merusak suasana. Burju terperanjat dan ia melihat encik guru di bawah pohon. Burju terlihat gugup dan berusaha turun. Ia menggaruk kepalanya.mengaitkan kesepuluh jarinya sampai terdengar bunyi ‘tek’. Wajahnya terlihat berseri dan malu-malu melihat encik Ros yang sangat ia hormati itu.

“teruskan!” sahut encik ros sambil memperagakan tanganya menirukan gerakan pemain seruling.

Burju semakin salah tingkah ia memegang sarung pedang yang bergantung di samping pahanya. Pedang itu selalu dia bawa jika sedang pergi mangaragat tuak atau mengambil air enau.

“itu mak encik guru!” sahut Tamara.

“horas encik..ada apa gerangan? apa anggiat nakal disekolah?” Sahut mama Burju dengan pertanyaan beruntun.

“enggak kok nai Burju..aku cuma penasaran kenapa Burju gak sekolah” jawab encik Ros. Ia memanggil nai Burju karena Burju adalah anak pertama dalam keluarga ini. Tujuh tahun ia bersosialisasi di Muara jadi ia paham betul kalau wanita yang sudah menikah terlebih sudah punya anak pantang dipanggil nama gadisnya.

“ooh masuk dulu encik..mau minum apa?”

“airputih juga gak apa-apa nai burju”

Encik Ros masuk ke dalam rumah ia melihat di dinding selembar ulos dibentangkan di dinding ruang tamu. Ia baca tulisan di ulos tersebut, ‘Debata Mulajadi Nabolon’.

“ayo diminum encik..air itu sumbernya dari mata air dekat sumur sana..si burju yang ngambil..soalnya kalau pakai air danau si Tamara enggak mau minum” sahut nai Burju.

Tenang saja!..halal kok..walaupun kami Batak gak pernah kami makan babi..karena aku penganut Parmalim” sambung nai Burju ceplas-ceplos. Inilah kebiasaan orang Batak, mereka memang sangat terbuka dalam menyampaikan perasaannya.

“iya  nai Burjuaku minum kok.. kenapa hari ini Burju gak sekolah?” Tanya Encik Ros. Ia juga sudah mulai terpengaruh dengan kebiasaan orang Batak yang tak perlu banyak basa-basi.

“Bagaimana mau kubilang..si Anggiat katanya sering diejekin teman-temannya karna si Burju..jadi gak mau si Anggiat sekolah kalau abangnya masih sekolah..jadi kami pikir lebih baiklah abangnya sekolah..engak ada juga gunanya si Burju sekolah tinggal kelasnya teruus” Jawab nai Burju.

“tapi apa enggak lebih baik Burju bisa baca tulis dulu…setelah itu…”

“aaah sudahlah encik..harapan kami cuma Anggiat dan Tamara agar bisa sekolah tinggi” Sahut nai Burju memotong penjelasan Encik Ros sambil memangku Tamara dan membelai rambutnya.

Bergetar hati encik Ros mendengar pernyataan nai Burju. Ia sedih tidak bisa mengajari Burju lagi, padahal ia pernah berjanji akan mengajari Burju sampai bisa membaca. Encik Ros pamit dan diantar oleh nai Burju dan Tamara keluar dari areal rumah. Ia berjalan sambil berpikir keras bagaimana caranya ia tetap bisa mengajari pria bisu yang sudah mulai menginjak usia remaja itu. Jika perjalanan ke rumah Burju banyak tanjakan, sekarang ia harus lebih berhati-hati karena jalanan menuju sekolah, posisinya menurun sehingga ia harus menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh. Ia mendengar suara roda berbunyi agak kasar di belakangnya. Ia menoleh dan melihat Burju sedang membawa gerobak sorong artco atau yang disebut beko di desa ini. Kalau biasanya beko hanya punya satu roda namun beko yang dibawa oleh Burju punya tiga roda, dimana satu roda di depan dan dua roda di belakang. Mungkin karena besi yang sudah karatan dan kropos akhirnya diganti dengan ke dua roda dibelakangnya sehingga beko itu masih bisa tetap dipergunakan.

“mau kemana kau?” Tanya encik Ros.

“oghhh! ngih ngoh!” dia mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil menunjuk ke arah beko, hendak seperti meminta agar aku duduk ke beko dan dia akan mendorong beko itu.

“oh enggak usah” jawab Encik Ros sambil meneggelengkan kepalanya.

“ogghhh ogggh! ciiiiis..ciiiisss” ia menggerakkan kedua kakinya lalu memasang raut lelah dan menyeka dahinya. Encik Ros mulai mengerti, Burju ingin dirinya duduk di beko sehingga ia tak perlu lelah berkeringat berjalan kaki menuruni jalanan ke depan sana. Akhirnya dengan berat hati dan tidak enak menolak tawaran Burju, Encik Ros duduk dengan posisi kaki menjuntai dan membelakangi Burju. Burju dengan senang hati bertepuk tangan lalu mendorong beko itu pelan. Ia berjalan pelan-pelan agar encik Ros merasa nyaman, Encik Ros mulai nyaman, desau angin yang dihasilkan dari pohon-pohon di Huta Ginjang itu menerpa wajahnya. Namun tiba-tiba Burju tersandung dan jatuh sehingga beko itu terus berjalan. Encik Ros belum sadar namun ketika sepertinya ada suara kurang jelas teriak-teriak di belakangnya, ia menoleh dan melihat beko bergerak sendiri. Encik Ros ketakutan dan berteriak meminta pertolongan.

“Tolooooooooong” teriak encik Ros memegang erat pinggiran beko dengan kedua tangannya.

Suara angin menderu di kedua telinganya, bahkan rambutnya berkibar oleh angin yang menerpa tubuhnya. Ia menoleh lagi ke belakang dan melihat Burju sedang berlari berusaha mengejar beko. Sementara beko berjalan sangat cepat tanpa bisa ia cegah untuk menghentikannya. Suara derit kasar dari ketiga roda itu terus berbunyi.

“Allahu akbar, Allahu akbar” sahut encik Ros pasrah. Ia melihat di bawah sana air danau menunggunya. Kedua kakinya merapat, namun apa yang terjadi, beko itu perlahan-lahan melambat dan encik Ros merasakan kakinya digores oleh roda depan beko. Ia menjepit roda depan itu dengan kedua sepatunya sambil mulutnya komat-kamit membacakan doa. Akhirnya setelah di tempat yang jalanannya datar, beko berhenti dan Encik Ros turun, mulutnya tak berhenti mengucapkan syukur. Ia melihat Burju walau terpincang-pincang namun masih mencoba berlari. Encik Ros marah namun tak bisa melampiaskannya. Hingga ia merasakan betisnya perih akibat luka tergores roda.

“oghhh! ngih ngoh!” sahut Burju sepertinya meminta maaf sambil menempelkan kedua tangannya di dada dan membungkukkan badan. Kemudian ia juga jongkok dengan kedua tangannya ia silangkan memegang telinganya. Encik Ros ingat, ia sering menghukum murid-muridnya jika melakukan kesalahan di kelas. Ia mulai tersenyum dan akhirnya tertawa sendiri melihat sikap Burju yang menunjukkan rasa bersalahnya.

**

“ini lap tangan” sahut Encik Ros melihat Abigail menahan tawanya. Encik Ros memang tidak terbiasa memakai tissue di rumahnya, ia berpikir ia ikut menyumbang pemanasan global jika ia mempergunakan tissue yang terbuat dari pohoh-pohonan itu.

“sudah ketawa saja kau..enggak usah ditahan-tahan” sambung encik Ros tertawa.

Bersambung



Note :

Memang benar tidak semua orang Batak makan daging babi, bagi penganut parmalim dan beragama Kristen Advent diharamkan untuk memakan daging babi. Istri penulis walau berasal dari suku Batak juga enggak konsumsi, makanya penulis kalau pengen makan yah ke Cililitan, kalau ada pembaca yang mau ngajak ke lapo juga mau..sudah mau setahun nih gak makan heheheheh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun