“Bagaimana mau kubilang..si Anggiat katanya sering diejekin teman-temannya karna si Burju..jadi gak mau si Anggiat sekolah kalau abangnya masih sekolah..jadi kami pikir lebih baiklah abangnya sekolah..engak ada juga gunanya si Burju sekolah tinggal kelasnya teruus” Jawab nai Burju.
“tapi apa enggak lebih baik Burju bisa baca tulis dulu…setelah itu…”
“aaah sudahlah encik..harapan kami cuma Anggiat dan Tamara agar bisa sekolah tinggi” Sahut nai Burju memotong penjelasan Encik Ros sambil memangku Tamara dan membelai rambutnya.
Bergetar hati encik Ros mendengar pernyataan nai Burju. Ia sedih tidak bisa mengajari Burju lagi, padahal ia pernah berjanji akan mengajari Burju sampai bisa membaca. Encik Ros pamit dan diantar oleh nai Burju dan Tamara keluar dari areal rumah. Ia berjalan sambil berpikir keras bagaimana caranya ia tetap bisa mengajari pria bisu yang sudah mulai menginjak usia remaja itu. Jika perjalanan ke rumah Burju banyak tanjakan, sekarang ia harus lebih berhati-hati karena jalanan menuju sekolah, posisinya menurun sehingga ia harus menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh. Ia mendengar suara roda berbunyi agak kasar di belakangnya. Ia menoleh dan melihat Burju sedang membawa gerobak sorong artco atau yang disebut beko di desa ini. Kalau biasanya beko hanya punya satu roda namun beko yang dibawa oleh Burju punya tiga roda, dimana satu roda di depan dan dua roda di belakang. Mungkin karena besi yang sudah karatan dan kropos akhirnya diganti dengan ke dua roda dibelakangnya sehingga beko itu masih bisa tetap dipergunakan.
“mau kemana kau?” Tanya encik Ros.
“oghhh! ngih ngoh!” dia mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil menunjuk ke arah beko, hendak seperti meminta agar aku duduk ke beko dan dia akan mendorong beko itu.
“oh enggak usah” jawab Encik Ros sambil meneggelengkan kepalanya.
“ogghhh ogggh! ciiiiis..ciiiisss” ia menggerakkan kedua kakinya lalu memasang raut lelah dan menyeka dahinya. Encik Ros mulai mengerti, Burju ingin dirinya duduk di beko sehingga ia tak perlu lelah berkeringat berjalan kaki menuruni jalanan ke depan sana. Akhirnya dengan berat hati dan tidak enak menolak tawaran Burju, Encik Ros duduk dengan posisi kaki menjuntai dan membelakangi Burju. Burju dengan senang hati bertepuk tangan lalu mendorong beko itu pelan. Ia berjalan pelan-pelan agar encik Ros merasa nyaman, Encik Ros mulai nyaman, desau angin yang dihasilkan dari pohon-pohon di Huta Ginjang itu menerpa wajahnya. Namun tiba-tiba Burju tersandung dan jatuh sehingga beko itu terus berjalan. Encik Ros belum sadar namun ketika sepertinya ada suara kurang jelas teriak-teriak di belakangnya, ia menoleh dan melihat beko bergerak sendiri. Encik Ros ketakutan dan berteriak meminta pertolongan.
“Tolooooooooong” teriak encik Ros memegang erat pinggiran beko dengan kedua tangannya.
Suara angin menderu di kedua telinganya, bahkan rambutnya berkibar oleh angin yang menerpa tubuhnya. Ia menoleh lagi ke belakang dan melihat Burju sedang berlari berusaha mengejar beko. Sementara beko berjalan sangat cepat tanpa bisa ia cegah untuk menghentikannya. Suara derit kasar dari ketiga roda itu terus berbunyi.
“Allahu akbar, Allahu akbar” sahut encik Ros pasrah. Ia melihat di bawah sana air danau menunggunya. Kedua kakinya merapat, namun apa yang terjadi, beko itu perlahan-lahan melambat dan encik Ros merasakan kakinya digores oleh roda depan beko. Ia menjepit roda depan itu dengan kedua sepatunya sambil mulutnya komat-kamit membacakan doa. Akhirnya setelah di tempat yang jalanannya datar, beko berhenti dan Encik Ros turun, mulutnya tak berhenti mengucapkan syukur. Ia melihat Burju walau terpincang-pincang namun masih mencoba berlari. Encik Ros marah namun tak bisa melampiaskannya. Hingga ia merasakan betisnya perih akibat luka tergores roda.