Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan sudah Magister S2 dari Kota Yogya, kini berharap lanjut sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Buka-Bukaan Dapur Kompasiana dan Pentingnya Nilai Penghargaan

10 April 2020   01:46 Diperbarui: 10 April 2020   02:02 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbak Widha Karina Bongkar Dapur Kompasiana (screenshot video kompasiana.com)

Meskipun telat untuk menyaksikan program blogshop dari Kompasiana ini, dan baru selesai mendengarkan sekitar pukul 00.00 WIB di tanggal berikutnya sejak penayangannya, tapi ada banyak hal yang bisa dipelajari, dari A sampai Z sesuai dengan tema yang dibawakan.

Satu pesan yang begitu kuatnya yang boleh kubilang selama ini kerap kuabaikan, yakni pentingnya sebuah penghargaan. Terutama dalam pemberian gambar ilustrasi di tiap-tiap artikel yang pernah kutilskan. Karena memang menganggap sepele, sering comot satu dan dua gambar dari google tanpa mencoba mengecek gambar siapa itu. Langsung taruh saja nama sumbernya platform utamanya sesingkat mungkin tanpa melirik lebih jauh, itu gambar siapa sebenarnya yang punya.

Padahal sang fotografer lewat lensa kameranya yang keliling sana-sani bukanlah sebuah profesi yang mudah untuk dikerjakan. Ketika gambarnya dimuat tanpa menyebut siapa nama fotografernya tentu kita tidak menghargai bagaimana jerih payahnya. Dan baru tahu foto atau gambar itu sangat berharga apalagi jika dihasilkan oleh seorang fotografer.

Hal ini kemudian mengingatkanku pada satu tokoh fotografer Harian Kompas, Bapak Kartono Riyadi. Saat ikut menyaksikan perjuangan Susi Susanti dalam ajang Olimpiade di tahun 1992 memberikan ada dua foto ke meja redaksi Kompas untuk diterbitkan sebagai headline atau gambar utama di Harian Cetak Kompas waktu itu. Foto pertama saat ekspresi kemenangan Susi dalam final bulu tangkis yakni wajah yang menitikkan air mata dan perasaan haru serta bangga saat Indonesia Raya dikumandangkan.

Sedangkan foto kedua adalah foto bagaimana tatapan senyum wajahnya saat menerima emas pertama. Alhasil foto kedua yang akhirnya dipilih oleh dewan redaksi untuk dimuat. Padahal pesan sang Fotografer meminta foto pertama yang dimuat. Karena ingin menggambarkan bagaimana perjuangan untuk kemenangan itu tidaklah mudah.

Mirip-mirip dengan pergelutan para staf kompasianer sekarang ini. Didalam menentukan mana artikel yang bakalan Headline atau Artikel Utama dan mana yang bukan. Baru tahu ternyata artiel-artikel pilihan tersebut dikompetisikan. Ada perdebatan panjang diantara para dewan redaksi di dapur produksi kompasiana.

Dan untuk artikel ku sendiri, sempat memasang muka curiga kepada para penunggu di dapur kompasiana. Yang juga baru tahu mereka kerjanya 24 jam sehari dengan pembagian 7-8 shif untuk bisa mengcover seluruh artikel-artikel yang masuk setiap harinya, setiap jamnya hingga di setiap menitnya.

Kerja yang tak mudah tapi terkadang banyak para penulis menaruh rasa curiga, termasuk saya sendiri. Karena memang beberapa bulan yang lalu, tepatnya di bulan Januari lalu kalau tidak salah, sempat frustasi kok akhir-akhir ini tulisannku jarang masuk kategori pilihan. Apakah para staf redaksinya ini ada sensi kepadaku yah? Apakah mereka-mereka ini ingin para kontributornya tidak banyak yang dapatkan reward atau istilahnya gajian-yah?

Karena memang waktu itu keluar keputusan yang dapatkan reward adalah mereka-mereka yang tulisannya minimal masuk kategori pilihan. Dan diriku di tahun lalu, lumayan lancar terima gaji dari kompasiana. Kini tiba-tiba berhenti dan tak dapat reward lagi. Seakan dunia runtuh, mulai malas menulis.

Tapi kemudian mencoba kembali berpikir positif kembali. Mungkin ada benarnya keputusan para staf kompasianer. Tulisanku yang memang harus diubah. Karena selama ini untuk mempercepat produksi tulisanku, terkadang melakukan copas dari media mainstream tanpa mencoba faraphrasekannya. Kemudian tidak ada hal yang baru atau point berbeda dari apa yang ditampilkan media-media yang sudah ada.

Akhirnya terus berusaha, dan puji Tuhan bulan Maret kemarin dapat lagi K-rewardnya, meskipun tak sebesr tahun-tahun lalu. Uniknya ketika terus berupaya, satu masalah muncul lagi soal viewnya yang mangkrak di bulan Maret lalu, dimana akhirnya tak dapat K-reward di bulan April ini.  Ini sebuah misteri yang tak pernah terjawab, tak bisa menebak artikel mana yang bakalan populer meskipun sudah bagus dan menarik artikel tersebut kita buat.

Hanya bisa berserah dan iklas, sebab yang penting adalah terus berupaya menulis, dan senantiasa memberikan inspirasi-inspirasi yang baik ke para publik. K-rewards adalah bonus tambahan yang menyertai setiap upaya keras yang sudah kita lakukan.  

Buka-bukaan dapur kompasiana hari ini juga membuatku mengerti untuk terjun dalam dunia bisnis tulisan atau sebuah plaftorm, seperti kompasiana, tak mudah. Sebab butuh orang-orang berdedikasi. Dari generasi pertama, perjalanan Oppa Jappy hingga ke generasi sekarang ke Bang Nurulloh dan ke pembicara kita hari ini dalam blogshop, Mbak Widha Karina adalah orang-orang yang betul-betul mengerti visi dari platform ini, yakni memberikan pencerahan ke publik lewat tulisan-tulisan yang mungkin tidak ditangkap oleh media-media mainstream yang ada.

Mengcounter isu-isu negatif atau istilahnya buzzer-buzer dalam artian positif untuk menangkal ratusan hingga ribuan konten hoaks ataupun konten-konten yang narasinya membahayakan banyak pihak. Sehingga betul-betul harus menghargai segala upaya yang mereka telah lakukan untuk menyaring atau memoderasi, mempublikasikan, menentukan apakah ini artikel biasa, piilihan, AU, ataupun featured.   

Mari terus berkarya dan menginspirasi lewat tulisan-tulisan kita. Apalagi sudah ada kata-kata kunci untuk bisa dapatkan headline. Mulai dari golongan kuning dimana artikelnya harus aman, orisinal, punya unsur kebaruan, otentik, unik. Kemudian golongan biru, momentumnya tepat, komprehensif hingga melihat reputasi si penulis.

Dan lanjut ke golongan merah, seperti punya pesan, berdampak,  diksi  dan kemasannya yang menarik hingga akhirnya diujung melewati level kompetisi. Apakah akan bisa menghasilkan tulisan yang kerap akan didaulat menjadi AU?    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun