Meskipun telat untuk menyaksikan program blogshop dari Kompasiana ini, dan baru selesai mendengarkan sekitar pukul 00.00 WIB di tanggal berikutnya sejak penayangannya, tapi ada banyak hal yang bisa dipelajari, dari A sampai Z sesuai dengan tema yang dibawakan.
Satu pesan yang begitu kuatnya yang boleh kubilang selama ini kerap kuabaikan, yakni pentingnya sebuah penghargaan. Terutama dalam pemberian gambar ilustrasi di tiap-tiap artikel yang pernah kutilskan. Karena memang menganggap sepele, sering comot satu dan dua gambar dari google tanpa mencoba mengecek gambar siapa itu. Langsung taruh saja nama sumbernya platform utamanya sesingkat mungkin tanpa melirik lebih jauh, itu gambar siapa sebenarnya yang punya.
Padahal sang fotografer lewat lensa kameranya yang keliling sana-sani bukanlah sebuah profesi yang mudah untuk dikerjakan. Ketika gambarnya dimuat tanpa menyebut siapa nama fotografernya tentu kita tidak menghargai bagaimana jerih payahnya. Dan baru tahu foto atau gambar itu sangat berharga apalagi jika dihasilkan oleh seorang fotografer.
Hal ini kemudian mengingatkanku pada satu tokoh fotografer Harian Kompas, Bapak Kartono Riyadi. Saat ikut menyaksikan perjuangan Susi Susanti dalam ajang Olimpiade di tahun 1992 memberikan ada dua foto ke meja redaksi Kompas untuk diterbitkan sebagai headline atau gambar utama di Harian Cetak Kompas waktu itu. Foto pertama saat ekspresi kemenangan Susi dalam final bulu tangkis yakni wajah yang menitikkan air mata dan perasaan haru serta bangga saat Indonesia Raya dikumandangkan.
Sedangkan foto kedua adalah foto bagaimana tatapan senyum wajahnya saat menerima emas pertama. Alhasil foto kedua yang akhirnya dipilih oleh dewan redaksi untuk dimuat. Padahal pesan sang Fotografer meminta foto pertama yang dimuat. Karena ingin menggambarkan bagaimana perjuangan untuk kemenangan itu tidaklah mudah.
Mirip-mirip dengan pergelutan para staf kompasianer sekarang ini. Didalam menentukan mana artikel yang bakalan Headline atau Artikel Utama dan mana yang bukan. Baru tahu ternyata artiel-artikel pilihan tersebut dikompetisikan. Ada perdebatan panjang diantara para dewan redaksi di dapur produksi kompasiana.
Dan untuk artikel ku sendiri, sempat memasang muka curiga kepada para penunggu di dapur kompasiana. Yang juga baru tahu mereka kerjanya 24 jam sehari dengan pembagian 7-8 shif untuk bisa mengcover seluruh artikel-artikel yang masuk setiap harinya, setiap jamnya hingga di setiap menitnya.
Kerja yang tak mudah tapi terkadang banyak para penulis menaruh rasa curiga, termasuk saya sendiri. Karena memang beberapa bulan yang lalu, tepatnya di bulan Januari lalu kalau tidak salah, sempat frustasi kok akhir-akhir ini tulisannku jarang masuk kategori pilihan. Apakah para staf redaksinya ini ada sensi kepadaku yah? Apakah mereka-mereka ini ingin para kontributornya tidak banyak yang dapatkan reward atau istilahnya gajian-yah?
Karena memang waktu itu keluar keputusan yang dapatkan reward adalah mereka-mereka yang tulisannya minimal masuk kategori pilihan. Dan diriku di tahun lalu, lumayan lancar terima gaji dari kompasiana. Kini tiba-tiba berhenti dan tak dapat reward lagi. Seakan dunia runtuh, mulai malas menulis.
Tapi kemudian mencoba kembali berpikir positif kembali. Mungkin ada benarnya keputusan para staf kompasianer. Tulisanku yang memang harus diubah. Karena selama ini untuk mempercepat produksi tulisanku, terkadang melakukan copas dari media mainstream tanpa mencoba faraphrasekannya. Kemudian tidak ada hal yang baru atau point berbeda dari apa yang ditampilkan media-media yang sudah ada.
Akhirnya terus berusaha, dan puji Tuhan bulan Maret kemarin dapat lagi K-rewardnya, meskipun tak sebesr tahun-tahun lalu. Uniknya ketika terus berupaya, satu masalah muncul lagi soal viewnya yang mangkrak di bulan Maret lalu, dimana akhirnya tak dapat K-reward di bulan April ini. Â Ini sebuah misteri yang tak pernah terjawab, tak bisa menebak artikel mana yang bakalan populer meskipun sudah bagus dan menarik artikel tersebut kita buat.