Sekarang sudah dibangun tangga menuju atas. Kita menaiki tangga, namun tak bisa menaiki langsung ke dalam kapal seperti kapal terapung PLTD Kapal Apung waktu itu. karena kapal ini benar-benar kapal kayu dan terlihat sudah terjadi kerusakan atau rapuh pada kayunya, setelah 10 tahun tsunami berlalu. Lumayan, paling tidak, setelah menaiki tangga, aku bisa berfoto lebih dekat di kapal peninggalan tsunami ini, hehe.
Berfoto dengan Busana Adat Aceh
Masih disekitaran Lampulo, tempatnya kapal diatas rumah. Nah didekat sini ada toko souvenir kecil. Disini pun menyediakan sewa baju adat Aceh, namun jika ada pengunjung yang ingin memakai sekadar berfoto pun diperbolehkan, dengan bayar uang sewa 12 ribu rupiah. Hehe. Disini background nya pun semacam tempat adat orang Aceh yang akan menikah.hehe. jadilah sembari kami membeli minum ditempat ini, aku ditantang Cengah Maya untuk pakai baju adatnya. Dengan senang hati aku coba, kapan lagi kaan pakai busana adat khas Aceh?hehe
Uniknya, saat aku sudah selesai pakai busana adat, adik Fabian duduk di tempat pengantin-pengantin gitu, diajak turun, Fabian gakmau. Yaudah, jadilah kami berfoto berdua disana. Tsaaah. Hahaha tampan sekali pendampingkuu :p
Makam Syiah Kuala
Rute selanjutnya, kami mengunjungi Makam Syah Kuala. Posisi makam ini di bibir pantai, dekat pelabuhan. Tak ada renovasi kata Bang Rudi. Dari awal memang makamnya di dalam rumah. Dan menurut saksi mata, saat kejadian tsunami saat air naik, air tak mengenai makam Syah Kuala ini.. “Saat kejadian tsunami tu, air kan naik.. tapi Subhanallah, air jadi bercabang, gak kena sama bangunan Makam Syah Kuala ini, jadi air bercabang kesana dan kesana..” tutur Bang Rudi.
“Ah masa Bang? Mitos kali? Benar ada yang lihat?” tuturku masih belum yakin.
“Iya, benar kali. Saksi matanya pun, Abang tanya langsung, dia benar emlihat, gak seidikit yang lihat pun..” tutur Bang Rudi dengan bahasa Aceh kentalnya.
Kami memasuki pemakaman ini. sedangkan Cengah Maya dan adik Fabian hanya di dalam mobil, karena hari sangat terik. Aku, Bang Rudi dan Kak Salma yang masuk. Disana ada beberapa penunggu makam yang sudah tua usianya. Ada masjid atau mushola disana.
Memasuki makam, dari terasnya pun sudah ada nisan-nisan ,pertanda ada lebih dari satu orang yang dikubur disini. Mungki yang lain adalah keluarga atau kerabat dekat ulama Syah Kuala. Sedangkan makam Syah Kuala sendiri ada di dalam ruangan besar, namun ada tempat lagi seperti dalam tempat bewarna hijau berpagar besi serta tertutup, nisannya pun dengan batu besar berukir tulisan arab. Yak disini namanya di tulis di batu bulat panjang dengan ukiran bahasa Arab.
Disana ada tulisan, mohon non aktifkan hape saat berziarah ke makam.. ‘Mohon tidak Sholat di depan makam’, dan beberapa ada bacaan tertib ziarah kubur disini.selesai menjelajahi ruang, kami keluar, menyapa bapak tua penjaga makam. Penjaga saat ktu yang kulihat ada dua orang berjanggut. Setelah kami keluar, kami di minta untuk cuci muka dengan air yang ada di depan ruangan, seperti air di dalam bak. Agak bingung, kenapa harus cuci muka? Mungkin supaya bersih ya.
Hari hampir sore, hujan mulai mengguyur Serambi Mekkah ini. diperjalanan, aku mendapat banyak suntikan cerita seputaran tsunami. Berbagaaai hal diceritakan. Cerita dari Cengah Mya, Bang Rudi, Kak Salma, dan cerita lainnya. Semuanya membuat aku terpana dan terbenging, ada yang luar biasa menyentuh, ada yang buat bertanya-tanya “Kok bisa??” Hmm yang ini InsyaAllah kita sambung di lain waktu yaa.
Sekilas Tentang Ulama Syiah Kuala
[caption id="attachment_351368" align="aligncenter" width="539" caption="dok.pribadi"]