Bandar Lampung, 26 Desember 2014
Beberapa waktu lalu tepatnya di bulan Oktober aku berkesempatan mengunjungi Serambi Mekkah. Waktu dan saat yang tepat akhirnya diberikan Allah untuk menuju kesana, menemui saudara-saudara yang sangat aku rindukan, di Banda Aceh.
Memperingati 10 tahun Tsunami di Aceh pada hari ini, izinkan aku mengulas serpihan tsunami itu. banyak kisah yang terulas dengan berbagai ekspresi saat bertanya langsung pada warga Aceh yang pada 26 Desember 2004 lalu mereka merasakan sendiri dahsyatnya Tsunami itu.
Aku dan mereka adalah sama-sama warga Sumatera. Tapi keinginanku begitu kuat untuk tau apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana dengan mereka saat kejadian tersebut. Jadilah, saat menemui orang-orang disekitar, aku pasti bertanya, “Saat Tsunami kau lagi dimana? Bagaimana kejadiannya?” untuk saudaraku sendiri tentu aku sudah mengetahui kisah mereka. oke kita ulas dari kisah terdekat.. dari saudara ku sendiri-warga Aceh di klinik- lalu dengan orang Aceh yang baru ku kenal.
26 Desember 2004 lalu, seluruh anggota keluargaku panik. Setelah mengetahui gempa berkekuatan 9,8 Scala Richter waktu itu menerpa provinsi Aceh. Tak hanya itu isu tsunami menyebabkan keluarga ku yang berada di Bandarlampung teramat panik.
Terlebih pada ayahku, yang keluarganya sebagian besar ada di Aceh. Saat itu stasiun televisilah satu-satunya pemberi informasi tercepat. Karena saluran telepon seluler seutuhnya tak terhubung.
Setelah beberapa lama berada dalam kegundahan dan kebingungan, hingga aktifitas di Bandarlampung terhenti, menanti kabar saudara di Banda Aceh.
Akhirnya kami sekeluarga bernafas lega, ternyata keluarga di sana selamat semua. Tak ada korban, di daerah Darussalam dan sekitarnya itu kenaikan air dan gempa saja. Alhamdulillah.
Mendengar suara bising air naik. Seluruh warga yang beraktivitas di lapangan karena memang hari itu hari minggu. Berlarian. Sebagian memanjat pepohonan yang ada disekitar lapangan. Ada pohon Asam disana. Jadilah Abang Harris memanjat pohon Asam yang pohonnya lebar dan besar.
Sebagai anak SD kira-kira kelas 6, tentu Bang Harris sangat syok waktu itu. di atas pohon Asam itu ada 40 an orang yang naik. Dari yang muda sampai yang tua.
Selama kejadian Bang Harris hanya melihat banyaknya korban yang bergelimpanagn terbawa air, ada pula yang masih hidup sedang berusaha melakukan sesuatu.
Barang-barang kecil-sampai besar sekali terbawa oleh Tsunami. Dan si Lapangan Blang Padang itulah, setelah air menyusut tumpukan mayat ratusan sampai ribuan ada disana. Kisah ini di ceritakan sendiri oleh Bang Harris.
Saat itu kisah inilah yang paling mengkhawatirkan keluarga Wancik Iqbal, mengenai anak pertamanya ini, tapi Alhamdulillah, Allah melindunginya.
Sebelum Keberangkatan Menuju Mekkah
Saat membicarakan kisah ini, aku sedang di perjalanan bersama Cengah Maya menuju rumah Cudo Winda. Di balik kemudinya, Cengah Maya secara lugas dan mengena bercerita mengenai kejadian saat Tsunami. “Bersyukur Lan, waktu itu saat Tsunami di hari minggu. Bayangin kalau di hari sibuk kerja atau anak sekolah... gimana coba? Anak-anak lagi sekolah, ibu-bapak lagi kerja? Kejadiannya juga pagi jam 8 kan..”
Jadi waktu itu, Cudo Winda masih berstatus mahasiswa kedokteran di Unsyah Kuala Banda Aceh. Sedang libur. Beberapa waktu lalu cudo sudah mengikuti test menjadi pramugari untuk keberangkatan jemaah haji.
Dengan Bahasa Inggris yang handal, tinggi badan yang sesuai, dan kemampuan bertutur yang baik, akhirnya Cudo diterima menjadi Pramugari. Di sela liburnya sebagai mahasiswa, cudo winda sempat mengisinya dengan hal bermanfaat.
Saat itu, 26 Desember 2004 adalah keberangkatan kedua Cudo sebagai pramugari jemaah haji. Nah tentang Cudo Winda yang sempat jadi Pramugari ini, jujur aku baru tahu. Saat di ceritakan Cengah Maya.hehe. Pagi itu Cudo Winda telah bersiap-siap menuju asrama jemaah haji untuk berangkat. Sudah rapi. Mungkin para jemaah haji pun sudah siap menuju Baitullah.
Namun pukul 8 pagi itu, suatu hal yang diluar kendali manusia terjadi. Tsunami datang dan mengagalkan segalanya. Cudo Winda dan jemaah haji lain tak jadi berangkat.
Selain karena jemaah ada yang terbawa arus tsunami, jemaah lainnya pasti dalam keadaan darurat saling menyelamatkan diri dan keluarg.
Di sisi lain memang bandara penerbangan internasional Sultan Iskandar Muda saat itu penuh dengan barang yang hanyut dan mayat bergelimpangan karena Tsunami.
Trauma. Ini yang dirasakan Bang Ferdi, suaminya Cengah Maya. Bang Ferdi sekarang gak mau lagi kelaut. Saat ini alasannya... “Sudahlah, laut tu bikin hitam saja, capek, keringatan..” tutur Bang Ferdi sambil geleng-geleng, saat diajak ke Pantai Lampuuk saat itu. Tapi istrinya lebih tau. Cengah Maya bilang, “Memang sejak dulu pertama ketemu Bang Ferdi gak suka laut. Tapi waktu Tsunami itu pernah trauma juga mungkin ya.
Waktu itu Bang Ferdi cari saudaranya atau temannya gitu di jembatan dan dipingggir laut setelah tsunami. Saat itu bergelimpangan mayat. Dia tahan bau dan tahan pandangannya lihat mayat-mayat itu, sampai akhirnya harus disuntik tetanus karena kakinya menginjak besi tajam saat cari temannya,” Itu tutur Cengah Maya.
Saat Tsunami, keluarga di Aceh belum menjadi beberapa. Hanya ada keluarga Wancik Iq dan Alm.Ayah Haidar. Ayah Haidar inilah yang memiliki anak-anak yang kini sudah berkeluarga. Seperti Cengah Maya dan Cudo Winda yang menetap di Aceh. Sedangkan Teh Nova menetap di Kediri. Saat itu keluarga Ayah Haidar memiliki asisten rumah tangga, setiap malam minggu dan hari minggu, selalu menginap di rumah yang berada di daerah Darussalam.
Sedangkan “mbak” asisten rumah tangga ini rumahnya di dekat laut didekat pantai Lampuuk. Entah kenapa pada tanggal 24 Desember 2004 itu, saat ditawati menginap di rumah seperti biasanya “mbak” itu tak mau.
Katanya ia akan kedatangan saudara. Ini tak biasanya. Namun ternyata di tanggal 26 Desember itu tsunami datang dan mbak itu meninggal terbawa tsunami.
Semoga mendapat Pahala Syahid mbak ya.. :”)
Sempat menjadi perawat di Klinik Athari Banda Aceh, tentu menemui oranglain baik berprofesi sebagai perawat atau dokter. Setelah berkenalan dan obrolan, kami akhirnya selalu berbicang tentang Tsunami. Siapa lagi yang mengulas? Kalau bukan aku yang bertanya.hehe
Kak Hamna aku memanggilnya, keluarganya berada di Aceh Selatan. Saat kejadian tsunami dirinya sedang pendidikan Akper di atas gunung tepatnya, aku juga lupa institusinya. Keluarga selamat semua, Alhamdulillah. Hanya merasakan gempa dan air yang naik saja.
Sabang cukup dekat dengan Provinsi Aceh, titik Nol Kilometer Indonesia ada disana. Tapi karena pusat gempa dan Tsunami ada di Meulaboh, jadi Pulau Sabang hanya terkena getaran dan gelombang tsunami yang tak sedahsyat sumbernya.
Saat ibu Bang X masih berada di Sabang. Karena hari itu adalah hari minggu, ia dan teman-temannya ingin bersantai bersamateman-temannya. Saat kejadian, Bang X melihat langsung, ketika gempa besar berlalu, air laut benar-benar menjadi kering. Warga yang melihat itu menuju pinggir pulau melihat kejadiannya. Takjub. Karena air benar-benar kering.
Dan isi laut menggelepar disana, ikan, udang dan lain-lain. Saking keringnya air laut, sampai akarnya pulau itu terlihat. Persis akar pohon. Diatas melebar, kemudian akar pulau itu mengecil. Kemudian warga turun. Mengambil ikan, udang dan isi laut yang saat itu ada di depan mata. Ramai orang turun sampai penuh itu lautan yang sudah kering. Tak berapa lama. “BRASS! Air dihempaskannya lagi. Air naik lagi dengan kuat. Dan entah... yang turun tadi itulah yang banyak menjadi korban...” tutur Bang X.
Tentang Jembatan
Kisah ini di ceritakan oleh Asisten Cengah Maya. Bang Rudi namanya. Asisten yang selalu menjemput anak-anak Cengah Maya pulang Sekolah. Saat itu adalah hari terakhir aku berada di Banda Aceh. Aku ke banyak tempat. Setiap tempatnya memiliki kisah tersendiri mengenai tsunami. Saat itu kami berlima. Ada Aku, Cengah Maya, Adik Fabian, Bang Rudi dan Kak Ros. Kak Ros adalah asisten rumah tangga sekaligus yang membantu menjaga Adik Fabian.
Saat kami melewati jembatan. “Ha, sungai ini tadinya di tengahnya tu ada jembatan. Sekarang dak ada lagi. Karena tsunami waktu itu. Ha, liat tu, ada bekas jembatannya ja. Kalau malam tak hati-hati bahaya ni...” ucap Bang Rudi sambil menunjuk kearah jembatan dengan logat khasnya.
Lalu kami melewati sungai lagi. Sungai kali ini dengan jembatannya yang masih kokoh. “Jembatan itu bu, waktu tsunami banyak makan korban, karena orang-orang tu hanyut dibawah jembatan itu. Tapi sebagian besar meninggalnya karena kepalanya pecah terbentur jembatan itu. Arusnya kan kuat kali tu, jadi banyak yang usaha mau naik, tapi akhirnya meninggal karena terbentur jembatan itu...” tutur Bng Rudi pada Cengah Maya yang berada di sebelah kemudinya.
Kisah Tentang Pencuri.
Ada lagi, bang rudi berkisah tentang penjahat dan pencuri setelah tsunami. Jadi setelah tsunami selesai, mayat kan bergelimpangan. Orang Cina yang pengusaha di Aceh juga banyak, mereka memakai kalung emas, gelang, sampai cincin emas. Orang Aceh pun ada yang mengenakan perhiasan. Nah saat itulah, ada saja orang yang mencuri. Jadi orang ini mencuri banyak perhiasan para korban tsunami.
Nah, karena korbannya lebam akibat air, untuk cincin di jari sulut untuk dilepas. Jadi oleh pencuri ini, di potong jari-jari korban tsunami ini, untuk diambil cincinnya. Naudzubillah.
Pencuri itu menjadi kaya karena mencuri. Jadi dia bukan taubat. Tapi dia malah menikmati hasil curiannya itu. Minum-minuman, judi dan lain-lain. Selang dua tahun akhirnya pencuri itu meninggal. Entah karena di gebukin masa, sakit, atau meninggal sendiri karena merasa bersalah. “Tak jelas pula pun, akhirnya bagaimana... intinya orang tu meninggal setelah dua tahun tsunami..” ungkap Bang Rudi.
Kisah di Luar Nalar Manusia
Kisah masjid yang berada di pinggir pantai Lampuuk yang kokoh saat kejadian tsunami. Sekitar areanya ada penduduk warga yang padat, tapi masjid itu tetap kokoh. Walaupun tiangnya beberapa rubuh, tapi tetap bisa terlindungi. Ada juga kisah masjid di dekat pelabuhan Ulelhuee. Masjid ini juga kokoh, padahal di arenanya rumah warga dari yang ukuran sederahana sampai besar ada di sana, semua rata dengan tanah juga.
Makam Syah Kuala. Tempat pemakaman ini berada di pinggir pelabuhan. Persis. Kanan-kirinya adalah lautan. Tapi saat kejadian tsunami, arus tsunami seperti terbelah, bercabang.
Tak mau mengenai makam Syah Kuala ini. menurut penuturan warga. Aku juga tak habis fikir, kenapa itu bisa terjadi. Tapi menurut warga, dulu para Ulama di Aceh adalah Ulama termahsyur yang sangat dekat dengan Allah. Bahkan pemerintahan di Aceh yang dulunya banyak dipimpin oleh Ratu, kebijakannya pasti melalui pertimbangan Ulama dan semua kebijakan harus berasaskan islam. Ulama yang benar-benar ulama dan takut pada Allah. SubhanAllah.
Saat itu aku akan menuju Jakarta, kemudian menuju Lampung. Hari itu aku akan pulang. Setelah tiket di miliki, aku menunggu pesawat datang di Lounge. Banyak penumpang yang menunggu. Termasuk aku. Di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Berangkat sendiri, pulang pun sendiri. Duh anak yang sangat mandiriii. Agar tak boring,duduk mencari tempat yang di sisi tempat duduk lain adalah orang muda yang kooperatif. Setidaknya bisa menjadi teman mengobrol sambil menunggu.
“He eh, iya.. kamu juga?”
“Iya kak. Transit aja di Jakarta, terus mau ke Lampung..”
“Oo Lampung? Jauh ya. Ngapain ke Aceh?”
“Liburan Kak, hehe. Sekalian isi senggang, baru wisuda kemarin hehe..”
“Oo hehe, Banyak saudara di aceh? kemana aja di Aceh?”
Aku ceritakan kemana saja aku pergi menelusuri peninggalan-peninggalan tsunami dan cobain kuliner khas Aceh :D
Lagi, dasar selalu pingin tau. Aku mulai tanya-tanya lagi mengenai Tsunami dengan Ka Lila. Kak Lila yang hanya beda satu tahun dari aku usianya, dan sekarang sedang menunggu wisuda di jakarta. Ka Lila sendiri adalah orang Aceh. Sekarang tinggal di Jakarta. Sudah hampir sepuluh tahun. Karena memang setelah kejadian itu Kak Lila langsung hijrah ke Jakarta tinggal bersama tantenya.
Saat Tsunami. Ka Lila sekeluarga ada di rumah semua. Kecuali sang kakak, sedang mondok pesantren di Aceh. Di pesantren itu tak terkena tsunami karena lokasinya cukup tinggi. Sedangkan Kak Lila berada di Banda Acehnya, lupa daerah mana.
Saat itu masih pagi. kejadian sangat cepat. Tiba-tiba air naik dan menghanyutkan semuanya. Termasuk mereka sekeluarga. Ka Lila sendiri terpisah dengan orangtua dan adiknya. Ka Lila hanyut. Sempat berusaha menggapai ayah dan ibu yang saat itu masih terlihat namun tak kuasa. Kak Lila yang saat itu masih kanak-kanak, hanya melihat kejadian yang tak diduganya.
Ia melihat mayat bergelimpangan. Sempat tersangkut diatas pohon, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya ia di tolong oleh seseorang di atas kapal. Saat itu petugas menolong Ka Lila kecil. Kak Lila bertanya.. “Kita mau kemana, Bang?” tapi petugas itu bilang.. “Jangan banyak tanya dulu, yang penting kamu selamat.. ayo naik..” Ka Lila menurut.
Setelah berada di tempat yang aman. Sebagai anak yang memiliki keluarga, tentu hasratnya ingin bertemu dengan orangtua dan adiknya. Setelah mencari-cari... “Duh.. kan aku jadi pingin nangis ingetnya...” tutur ka Lila sambil tersenyum, dan hampir menangis saat itu. “Orangtua udah gak ada, meninggal sama adik juga... aku langsung diajak sama tante untuk tinggal di Jakarta gak lama dari hari itu...”ucap Ka Lila. Haaah, saat itu aku merasa bersalah banget. Seolah buka keperihan masa lalu orang lain.
Berkali-kali aku menucapkan ‘maaf’ sama Ka Lila. Tapi ia tersenyum dan bilang.. “Ah gakpapa kok dek.., nanti deh aku cerita lebih banyak ya. Nanti aku kirim tulisanku tentang itu ke kamu...” ucapnya. Setelah itu kami mengobrolkan hal lain, berusaha untuk tak mengungkit itu lagi, ah terlalu sensitif saat itu.
Gak ada yang bisa bayangin tentang hal, hari itu. Pagi hari masih bercengkrama dengan orangtua dan adik, kemudian ada bencana yang sesaat dan menghilangkan semuanya. Ya Rabb :”(
Aku menanggapi dengan senyum kembali sambil bertutur“Oke Kak, jangan lupa yaa..hehe” sedikit kode karena penasaran dengan tulisan Ka Lila. Orang yang baru ku kenal itu memiliki nama lengkap Khalilah Mukarramah.
Karena obrolan mengenai tsunami, kami langsung akrab, seperti teman lama yang baru bertemu lagi. Aku sudah baca tulisan beliau mengenai suratnya yang berjudul.. “Surat untuk Ummi, Ayah dan Syifa” tulisan itu sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen, yang diterbitkan oleh nulisbukudotcom. Ia berjanji akan mengirimkan lagi curhatan mengenai cerita tsunaminya padaku, sedang masa editing katanya. Hehe.
Alhamdulillah, aku bisa mengungkapkan sepanjang ini. Walaupun kompasianer lelah membacanya, semoga ada hikmah dibalik tulisan ini ya. Tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan, tapi ambillah makna yang bermanfaat ya. Tulisan ini tepat aku posting memperingati 10 tahun Tsunami di Aceh.
Saat ini Aceh kian memetik hikmah. Aceh mulai membangun diri, ekonomi, serta segala sektor, seluruh jalan diperbaiki, malah ada jalan yang berada di bawah gunung yang baru diperbaiki dan mulus setelah kejadian tsunami. Aceh menjadi tempat wisata dengan peninggalan tsunaminya, kini Aceh penuh History.
Perjalanan perdanaku ke Aceh, semoga bukan perjalanan terakhir, kelak aku akan ke Aceh lagi, kedua, ketiga atau kelima kali dan berkali-kali. InsyaAllah. Doakan saja ya. Aceh akan tetap berbenah dan menjadi Serambi Mekkah, senantiasa di rahmati Allah. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H