Kita harus hati-hati dengan emosi kita. Jangan sampai emosi yang tidak terkendali menyeret kita kepada kerugian yang sangat besar. Bahkan luapan emosi yang tak terkendali juga dapat merugikan kelompok tertentu bahkan bangsa dan negara.
Berbeda pendapat dalam negara demokrasi adalah hal yang wajar. Di era reformasi yang sangat bebas seperti sekarang ini disertai dengan keterbukaan bertukar informasi lewat media sosial, terkadang bukan hanya kritik saja yang kita baca dan dengar tetapi nyinyiran dan caci maki juga menjadi hal yang biasa.
Ada hal-hal yang perlu ditanggapi tetapi lebih banyak hal-hal yang tidak perlu dipedulikan. Jika kita mulai terpancing, maka segera saja lupakan dan anggap sebagai angin lalu. Jangan menanggapi persoalan dengan emosi apalagi sampai mengunggah kemarahan di media sosial?
Menurut pengakuan Ambroncius dalam surat klarifikasi dan permintaan maafnya pada butir yang ke-4, ternyata Ambroncius memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat Papua. Dia sudah diadatkan sebagai anak angkat Papua melalui adat "lompat piring" dan "bakar batu" di Kabupaten Kerom dan Jayapura.
Unggahan Yan Harahap lewat akun Twitter @YanHarahap juga memperlihatkan jejak digital bahwa Ambroncius pernah menjadi salah satu calon DPR-RI Partai Hanura dari Dapil Papua.Â
Itu menunjukkan bahwa Ambroncius sudah mengetahui banyak hal mengenai masyarakat Papua, mengenai adat istiadat dan budayanya. Tetapi toh karena terpancing emosi, Ambroncius gelap mata dan melakukan unggahan yang tidak semestinya.
Semoga kita semua dapat mengendalikan diri dan tidak pernah terpancing untuk melakukan tindakan bodoh terutama menyangkut hal-hal sensitif yang berbau SARA. Dan semoga kasus Ambroncius segera diusut tuntas dan masyarakat tetap tenang dan tidak mau terprovokasi. (RS)
Sumber: CNN Indonesia, detikcom, Simalungunnews, pikiran rakyat Bekasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H