Kepada CNN Indonesia, Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin (Projamin) Ambroncius Nababan menceritakan latarbelakang unggahan rasisnya di akun facebook miliknya terhadap mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.
Menurut Ambroncius unggahan itu dipicu kemarahannya terhadap Natalius Pigai yang menolak vaksin sinovac dan lebih memilih membeli vaksin merek lain di luar negeri.Â
Dalam keadaan emosional, Ambroncius mencari sesuatu yang dapat diunggah untuk mengkritik Pigai secara satire. Kemudian Ambroncius melihat ada foto Pigai berdampingan dengan seekor gorilla lalu mengunggahnya lewat akun Facebook miliknya.
Masih menurut Ambroncius foto itu bukan hasil editannya, dia hanya membuat kata-katanya. Dan unggahan itupun ditujukannya terhadap pribadi Natalius Pigai, bukan terhadap masyarakat Papua.
Unggahan itu sontak membuat publik marah. Tidak hanya Keluarga Besar Pigai dan masyarakat Papua, tetapi masyarakat Batak khususnya Kesatuan Masyarakat Batak di Papua juga menyatakan sikap dan mengutuk keras unggahan rasial tersebut dan meminta kepada penegak hukum agar Ambroncius diproses secara hukum.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) juga mendorong agar polisi mengusut kasus rasial tersebut. Sementara Partai Hanura tempat Ambroncius bernaung juga mengecam keras dan menolak perilaku rasis Ambroncius serta mempertimbangkan untuk memberi sanksi.
Tidak hanya itu, pihak yang berseberangan dengan pemerintah juga sedang menanti sikap tegas dari pemerintah. Apakah pemerintah akan membiarkan kasus ini menguap begitu saja karena Ambroncius merupakan ketua umum relawan pendukung pemenangan Jokowi?
Ambroncius sudah mengklarifikasi unggahannya bahwa ucapannya itu hanya ditujukannya kepada pribadi Natalius Pigai dan bukan kepada masyarakat Papua. Juga sudah meminta maaf kepada Pigai dan seluruh masyarakat Papua tetapi bukan berarti serta merta Ambroncius lolos dari jerat hukum yang dibuatnya sendiri.
***
Pelajaran berharga apa yang dapat kita petik dari kasus rasial Ambroncius?
Kita harus hati-hati dengan emosi kita. Jangan sampai emosi yang tidak terkendali menyeret kita kepada kerugian yang sangat besar. Bahkan luapan emosi yang tak terkendali juga dapat merugikan kelompok tertentu bahkan bangsa dan negara.
Berbeda pendapat dalam negara demokrasi adalah hal yang wajar. Di era reformasi yang sangat bebas seperti sekarang ini disertai dengan keterbukaan bertukar informasi lewat media sosial, terkadang bukan hanya kritik saja yang kita baca dan dengar tetapi nyinyiran dan caci maki juga menjadi hal yang biasa.
Ada hal-hal yang perlu ditanggapi tetapi lebih banyak hal-hal yang tidak perlu dipedulikan. Jika kita mulai terpancing, maka segera saja lupakan dan anggap sebagai angin lalu. Jangan menanggapi persoalan dengan emosi apalagi sampai mengunggah kemarahan di media sosial?
Menurut pengakuan Ambroncius dalam surat klarifikasi dan permintaan maafnya pada butir yang ke-4, ternyata Ambroncius memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat Papua. Dia sudah diadatkan sebagai anak angkat Papua melalui adat "lompat piring" dan "bakar batu" di Kabupaten Kerom dan Jayapura.
Unggahan Yan Harahap lewat akun Twitter @YanHarahap juga memperlihatkan jejak digital bahwa Ambroncius pernah menjadi salah satu calon DPR-RI Partai Hanura dari Dapil Papua.Â
Itu menunjukkan bahwa Ambroncius sudah mengetahui banyak hal mengenai masyarakat Papua, mengenai adat istiadat dan budayanya. Tetapi toh karena terpancing emosi, Ambroncius gelap mata dan melakukan unggahan yang tidak semestinya.
Semoga kita semua dapat mengendalikan diri dan tidak pernah terpancing untuk melakukan tindakan bodoh terutama menyangkut hal-hal sensitif yang berbau SARA. Dan semoga kasus Ambroncius segera diusut tuntas dan masyarakat tetap tenang dan tidak mau terprovokasi. (RS)
Sumber: CNN Indonesia, detikcom, Simalungunnews, pikiran rakyat Bekasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H