Tadi malam, Kamis (10/12/2020) sekitar pukul sebelas menjelang tengah malam, seorang teman Facebook yang baru saja saya konfirmasi dan kebetulan satu marga dengan saya (marga Sipahutar), menulis seperti ini di berandanya:
Seumur hidup, Baru x ni ku tau penyakit Bells palsy.., haccit, ngeri, stress, dibarengi rasa takut, intinya ku hampir (????????)Â [Haccit (bhs. Batak) = sakit]
Melihat postingan tersebut, sebagai orang yang pernah menderita Bells Palsy dan berhasil sembuh, saya langsung prihatin dan spontan menghubungi teman tersebut melalui layanan panggilan messenger.
Beberapa kali deringan tak diangkat, saya mafhum. "Beliau tidak merespon mungkin karena baru berteman dan belum saling kenal sekalipun kami sama-sama satu marga," pikirku. Sayapun menulis pesan dalam Bahasa Batak, menanyakan siapa yang sedang sakit, dan memberi isyarat agar panggilan saya diangkat.
Kemudian kami berbincang, menanyakan sudah berapa lama dia mengalaminya, pengobatan apa yang sudah dijalaninya serta apa yang dia rasakan dan pikirkan tentang Bells Palsy, penyakit aneh yang baru didengar dan sedang dideritanya itu.
Dia mengalaminya sudah seminggu dan mengatakan bahwa dia merasa panik, stres dan putus asa, dan bahkan merasa lebih baik mati saja. Alasannya karena beliau tidak mau mengalami penyakit "stroke" dalam usianya yang masih muda dan mau menjadi beban keluarga sampai kemudian akhirnya meninggal.
Kemudian saya berusaha menenangkannya dan menceritakan bahwa saya pernah menderita Bells Palsy dan bagaimana perawatan yang saya jalani hingga saya berhasil sembuh seperti sekarang ini.
Saya menegaskan bahwa Bells Palsy bukan penyakit stroke dan sama sekali tidak dapat disamakan dengan stroke ataupun gejala stroke. Bukan dan tidak boleh disama-samakan karena memang jelas berbeda. Beberapa teman mencoba membuat saya kuatir tetapi saya berusaha menentangnya.
***
Bagaimana awalnya saya mengetahui diri saya terkena Bells Palsy?