Untuk kepentingan proses hukum, Soni Eranata atau yang lebih populer dengan sebutan Ustadz Maaher, kini mendekam di rumah tahanan Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Soni dijemput di kediamannya Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis 3 Desember 2020 pukul 4.00 dini hari WIB, terkait dugaan penghinaan terhadap Habib Luthfi.
Kali ini saya tertarik menyoroti hasil wawancara detiknews.com dengan Soni Eranata pada Sabtu petang (5/12/2020) di Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, terkait ceramahnya yang sering kontroversial karena terkesan kasar dan jauh dari cerminan seorang ustadz.
Dalam wawancara tersebut, Soni mengatakan: "Kalau terkait dengan kata-kata kasar, saya sulit sih ya. Saya menjawabnya sulit. Agak sulit. Kenapa, karena kultural. Kulturalnya gini, terkadang kasar atau tidak kasarnya sebuah ungkapan di dalam berbahasa itu sangat asumtif. Asumtifnya kenapa, karena tergantung siapa yang mendengar," kata Maher.
Disini Soni mengulangi kata "sulit" hingga 3 kali, karena dia memang benar-benar gagal paham memaknai "kata-kata kasar" serta hubungannya dengan "kultural", "asumtif" dan "pendengar".
"Kata-kata kasar" adalah umpatan, kata-kata kotor, ucapan jorok/cabul, sumpah serapah, caci maki, ungkapan tidak senonoh yang diucapkan untuk menistakan atau merendahkan orang lain atau bahkan ada yang mengucapkannya kepada Tuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jika kultural dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan kebudayaan atau "akal budi", termasuk dalam hal kesenian, kepercayaan, adat-istiadat dan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, apakah "kata-kata kasar," merupakan budaya? Kalau, ya, itu hanya ada dalam "budaya" bar-bar, dan penggunaan kata "budaya" dalam hal ini tidaklah tepat.
"Kata-kata kasar," juga bukan asumtif atau dugaan, tetapi menyangkut "fakta" apakah kata-kata yang dimaksud digunakan kepada objek yang tepat dan pada waktu yang tepat. Misalnya jika saya mengatakan "bodat" kepada monyet, itu jelas tidak kasar tetapi jika saya mengatakannya kepada manusia maka dimanapun hal itu bukan bagian dari kultur.
Lalu bagaimana dengan asumsi "pendengar"?
Secara etimologi, "umpatan" atau "kata-kata kasar" berasal dari kata profane atau dalam bahasa Latin klasik profanus yang secara harfiah berarti "(di luar) tempat ibadah" atau "menodai kesucian".
Mungkin karena setiap kata dimaknai sebagai bagian dari ibadah maka jika seseorang mengumpat atau berkata-kata kasar maka itu ada "di luar ibadah". Atau secara harfiah umpatan atau kata-kata kotor sama sekali tidak boleh digunakan dalam ibadah misalnya dalam "ceramah". Siapapun pendengarnya dan kepada siapapun isi "ceramah" itu ditujukan, "kata-kata kotor" tetaplah "kata-kata kotor".
Mengapa Soni mengulangi sulit, sulitlah dan agak sulit dalam memaknai "kata-kata kasar"?
Pada penggalan wawancara berikutnya, Soni kembali mengulangi kata "sulit" hingga 4 kali. Hal tersebut semakin memperjelas keraguan yang dalam atau barangkali juga sebagai upaya pembenaran diri. Lebih lanjut Soni mengatakan:
"Sulit. Sulitlah. Sulit karena saya kan sudah gede, sudah balig istilahnya. Kecuali saya dari SD, dalam masa pertumbuhan di Jawa pasti ada berubahlah dari logat, dialektika, tapi kalau sudah besar, sudah dewasa sulit berubah cara bahasa. Untuk kultur Jawa, khususnya Jawa Barat Sunda, Jawa Tengah, termasuk teman-teman kita di NU di Pekalongan, bahasa-bahasa seperti yang saya ungkapkan, sering dilihat oleh netizen itu terbilang kasar memang, karena kulturnya demikian. Orang Jawa Sunda itu kan santun," sambung Soni.
Ternyata Soni memang benar-benar gagal paham membedakan "kata-kata kasar" dengan "logat" dan "dialektika".
Soni menyinggung bahwa dia tumbuh besar di Medan yang menurutnya berbeda dengan kultur Jawa khususnya Jawa Barat. Menurut dia Jawa Sunda itu santun sedangkan Medan itu kasar, mungkin kira-kira seperti itu maksudnya.
Pak Soni yang terhormat, "kata-kata kasar" bukan masalah logat atau dialek tetapi yang dipermasalahkan adalah isi kata-kata atau pesannya. Bagaimanapun kata-kata kasar disampaikan dengan logat atau dialek yang "lembut dan halus" maka kata-kata tersebut tetaplah "umpatan" atau "caci maki".
Sebaliknya "kata-kata yang tidak kasar" jika disampaikan dengan logat atau dialek yang "keras", mungkin bisa saja awalnya kedengarannya seperti "kasar" tetapi maknanya tidak kasar, kan?
Ingat, penyampaian kata-kata dengan logat dan dialek yang lembut dan halus belum pasti sudah "santun" dan penyampaian dengan logat dan dialek yang "keras" seperti cara saya berbicara, itu bukan berarti sudah pasti "kasar". (RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H