Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

M. Tamzil di Tengah Lemahnya UU Pilkada dan PKPU, serta "Bodoh"-nya Pengguna Hak Pilih

30 Juli 2019   16:26 Diperbarui: 30 Juli 2019   22:10 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi : Kompas.com

Sebagaimana biasa setiap kali saya membagikan link artikel Kompasiana di beberapa grup di facebook, beragam komentar dari pembaca akan bermunculan. Ada yang memberikan komentar positif tanda setuju dengan tulisan saya, tetapi terkadang tak sedikit juga yang membuli saya.

Terhadap hal seperti itu di dunia maya, saya sudah maklum dan tidak mau ambil pusing. Terkadang saya layani juga mereka dengan santai sambil sekali-sekali di skak mat. Mungkin beberapa diantara pembaca yang suka membuli itu adalah mereka yang hanya membaca judulnya saja tanpa membaca isinya secara utuh. 

Demikian juga ketika saya membagikan artikel "Bupati Kudus M Tamzil Dihukum Mati karena Korupsi, Mungkinkah?" Banyak di antara pembaca yang berharap agar hukuman mati diterapkan tidak hanya kepada M Tamzil saja, tetapi terhadap semua koruptor tanpa kecuali.

Tidak sedikit juga di antara mereka yang pesimis. mereka tak yakin penegak hukum tak akan berani menjatuhkan hukuman maksimal kepada koruptor. Para koruptor sering hanya dituntut ringan dan divonis lebih ringan lagi. Tidak ada acara pemiskinan seperti yang digembar-gemborkan sehingga koruptor itu pun terus tumbuh bag jamur di musim hujan.

Namun tiga di antara banyak komentar yang paling berbobot menurut saya, adalah:

Yang pertama, mereka sangat menyayangkan undang-undang pilkada yang masih memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada narapidana eks koruptor dan yang penyandang tersangka korupsi untuk mencalonkan diri sebagai gubernur-wakli gubernur, bupati-wakil bupati atau walikota-wakil walikota.

Yang kedua, sangat disayangkan masih ada beberapa partai politik yang mau berkoalisi mengusung eks narapidana korupsi atau penyandang tersangka korupsi. Dimana nurani partai politik tersebut yang katanya memperjuangkan nasib rakyat dan menggaungkan slogan anti korupsi?

Yang ketiga yang juga sangat disayangkan, mengapa masyarakat masih sangat banyak memilih kandidat narapidana eks koruptor atau penyandang tersangka korupsi? Bodohkah mereka sehingga ingin dipimpin koruptor? Atau disogokkah mereka dengan uang hasil korupsi itu sehingga mereka gelap mata?

***

Syarat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan wakil walikota dapat kita lihat pada:

  • UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 butir a sampai k
  • UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 7 butir a-u
  • PKPU Nomor 9 tahun 2016 Pasal 4 Ayat (1) butir a-m

Dari ketiga UU dan peraturan tersebut tidak ada ayat atau butir yang secara eksplisit melarang narapidana eks koruptor atau penyandang status tersangka korupsi untuk mencalonkan diri sebagai gubernur-wakli gubernur, bupati-wakil bupati atau walikota-wakil walikota.

Yang ada hanya: 

  • tidak sedang dicabut hak pilihnya,
  • tidak pernah melakukan perbuatan tercela,
  • bukan mantan terpidana narkoba atau mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak,
  • tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
    pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
    karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
    pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  • tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh,
  • kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
    mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Dan anehnya tidak ada peraturan yang menegaskan bahwa korupsi adalah perbuatan tercela yang bersifat permanen dan juga tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa narapidana eks koruptor secara otomatis kehilangan hak pilih secara permanen.

***

Akibatnya adalah, dikutip dari BBC Indonesia, 

  • pada Pilkada 2015 ada 4 kepala daerah yang dilantik dengan kasus terangka, antara lain: Wali Kota Gunungsitoli (Sumatra Utara) Lakhomizaro Zebua, Bupati Sabu Raijua (Nusa Tenggara Timur) Marthen Dira Tome, Bupati Ngada (Nusa Tenggara Timur) Marianus Sae, dan Bupati Maros (Sulawesi Selatan) Hatta Rahman.
  • Pada Pilkada 2017 ada 4 kepala daerah dengan status tersangka atau terpidana, antara lain: Bupati Buton: Samsu Umar Abdul Samiun, Gubernur Gorontalo: Rusli Habibie, Bupati Mesuji, Lampung, Khamami dan Bupati Jepara Ahmad Marzuki.
  • Pada Pilkada 2018 ada 9 dari 15 kepala daerah yang dijadikan tersangka oleh KPK mencalonkan dirinya kembali. Mereka adalah calon Bupati Jombang Nyono Suharli, calon Gubernur NTT Marianus Sae, calon Bupati Subang Imas Aryumningsih, Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus, calon Wali Kota Malang Mochamad Anton, calon Wali Kota Malang Yaqud Ananda Gudban, calon Gubernur Lampung Mustafa, dan calon Bupati Tulungagung Syahri Mulyo,
  • Dan 2 diantara ke-9 calon tersebut berhasil mengumpulkan suara terbanyak, diantaranya: Ahmad Hidayat Mus (Gubernur Maluku Utara) dan Syahri Mulyo (Bupati Tulungagung).

Jika demikian halnya, siapa lagi yang kita salahkan? Apakah para koruptor atau partai politik yang mengusungnya atau masyarakat yang memilihnya?

(RS)

Sumber: CNN Indonesia.com, BBC Indonesia.com, detik.com, Viva.co.id, Tirto.id, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun