Dengan malu-malu kucing dan perasaan tak percaya, Pak Edy memilih salah satu jam tangan.Â
"Cukup, pak?", katanya meyakinkan Pak Edy.
"Cukap", kata Pak Edy dengan sangat senang dan bangga.
"Tunggu, dulu. Dulu saya sangat kejam kan mendidik kalian?", kata Pak Edy bergurau, merasa bersalah mengenang masa lalu.
"Justru karena didikan yang keras itulah pak, maka saya bisa berhasil seperti sekarang ini", katanya dengan tulus tanpa menyimpan rasa dendam sedikitpun.
Sama seperti Pak Kirno, Pak Edy juga mengatakan hal yang sama. "Kebahagiaan tertinggi saya sebagai seorang guru adalah ketika melihat anak didik saya berhasil. Bukan karena pemberian jam tangan itu. Melihat dia saja memakai seragam bea cukai, saya sudah sangat bahagia dan merasa berhasil sebagai seorang pendidik meskipun itu bukan sepenuhnya usaha saya", kata beliau terharu.
Memang itulah kebahagiaan tertinggi seorang guru. Yaitu melihat anak didiknya berhasil dikemudian hari.
"Kalau suatu saat saya melihat anak didik saya menjadi gelandangan atau digebuki rame-rame karena memaling jemuran? Alangkah kecewanya saya. Saya merasa gagal sebagai guru", kata saya ketika menceritakan kedua testimoni tersebut kepada anak murid saya tadi siang.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H