Apakah kebahagiaan tertinggi bagi seorang guru?
Pertanyaannya ini pernah saya sampaikan kepada 2 orang guru senior: Pak Kirno dan Pak Edy, yang sudah mengabdi selama puluhan tahun di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.Â
Ketika pertama kali mereka ditempatkan di daerah Lingga, belum ada pemekaran seperti sekarang. Provinsi Kepulauan Riau masih berstatus kabupaten yang waktu itu masih bernama Kabupaten Riau Kepulauan (Rikep), dan masih tergabung ke dalam Provinsi Riau. Sementara Lingga masih berstatus kecamatan.
Dan ketika itu suasananya masih sangat memprihatinkan. Sangat jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Transportasi masih menggunakan kapal kayu yang jalannya relatif sangat lambat dan jadwalnya pun hanya seminggu 1 kali ke ibukota kabupaten, Tanjungpinang. Belum ada Ferry dan Kapal Speed seperti sekarang.
Mengenai alat komunikasi apalagi? Pak Kirno yang berasal dari Jawa Tengah dan Pak Edy yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam, hanya bisa mengandalkan surat-menyurat lewat Kantor Pos untuk berkomunikasi dengan keluarga di kampung. Paling cepat suratnya sampai 2 minggu dan terkadang tidak sampai. Belum ada handphon, Facebook dan WhatsApp seperti sekarang.
Yang paling senior, Pak Kirno, sudah mengabdi sekitar 33 tahun lebih. Bahkan Agustus bulan lalu beliau sudah pensiun. Sementara Pak Edy baru mengabdi 21 tahun dan sampai sekarang beliau masih aktif dan menjabat sebagai Kepala Sekolah di salah satu SMP.
Ketika pertanyaan di atas saya sampaikan kepada mereka, pada tempat dan waktu yang berbeda, Pak Kirno menceritakan pengalamannya:
Suatu kali Pak Kirno berkunjung ke Jakarta. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba seorang anak muda datang menjumpainya. "Pak Kirno, kan? Saya tahu bapak disini dari teman saya" Katanya sambil menyalam dan mencium tangan beliau lalu memeluknya. Pak Kirno merasa heran. Pak Kirno tak mengenalnya lagi sama sekali.
"Bapak mungkin tak mengenal saya lagi. Saya murid bapak ketika SMP dan sampai sekarang juga masih tetap murid bapak", katanya dengan terharu. "Berkat didikan bapak, sekarang saya sudah menjadi pengusaha yang cukup berhasil di Ibukota Jakarta ini", katanya menambahkan.
"Selama bapak di Jakarta, terserah bapak. Apakah bapak mau menginap di rumah saya, di hotel atau di salah satu apartemen saya, bapak tinggal pilih. Pokoknya dimana bapak merasa senanglah. Untuk menemani perjalanan bapak selama di Jakarta saya siapkan satu mobil dan supirnya", katanya seperti kepada orang yang sangat dihormatinya.
Selanjutnya Pak Kirno beberapa kali diajak makan ke restoran mahal. Dan ketika mau pulang ke Lingga, beliau diantar ke Bandara Soekarno Hatta dan ongkos pesawatnya dibelikan. "Kalau bapak nanti berkunjung ke Jakarta, hubungi saya pak, ya!", katanya dengan penuh keikhlasan.
"Semuanya seperti mimpi. Tapi itu benar-benar nyata dan saya merasa sangat bangga dan bahagia", kata pak Kirno.Â
"Itulah kebahagiaan tertinggi saya sebagai guru. Ketika melihat anak didik saya berhasil. Entahlah mereka mengingat saya atau tidak tetapi mendengar mereka berhasil, itulah kebahagiaan tertinggi bagi saya sebagai guru", kata beliau menambahkan.
"Ketika bapak ke Jakarta, apakah bapak menghubungi beliau?", kata saya.
"Oh, tidak. Saya takut merepotkan dia. Pokoknya jangan gara-gara saya aktivitas dia terganggu. Mendengar dan melihat dia berhasil, itu sudah lebih dari segalanya. Saya tidak berharap lain", kata beliau dengan meyakinkan.
Lain lagi dengan pengalaman Pak Edy. Suatu kali ketika berada di Bandara Tanjungpinang, seseorang berseragam bea cukai menyapa ke arah beliau. Merasa tidak yakin, Pak Edy menoleh ke belakang. Tetapi orang tersebut mendekat sambil menyelam dan mencium tangan Pak Edy.
"Pak Edy, kan? Saya anak murid bapak semasa SMP dulu", katanya menjelaskan.
"Maaf saya tak ingat wajah kamu lagi, sudah banyak berubah. Apalagi sudah memakai seragam begini? Sama sekali saya tidak kenal lagi", kata pak Edy sambil berusaha mengingat-ingat namanya tetapi tak berhasil.
"Ya tentu saja, pak. Wajah saya pastilah ada perubahan dari SMP dulu. Bapak ada kegiatan lagi disini?", katanya kepada Pak Edy.
"Oh, tidak lagi. Kebetulan semuanya sudah selesai tadi", kata Pak Edy.
"Kalau bapak tidak ada kegiatan lagi, mari ikut saya", katanya sambil menuju sebuah toko jam tangan.
"Pilihlah pak, yang mana bapak suka", katanya sambil menunjuk ke deretan jam tangan yang tersusun rapi di etalase.
Dengan malu-malu kucing dan perasaan tak percaya, Pak Edy memilih salah satu jam tangan.Â
"Cukup, pak?", katanya meyakinkan Pak Edy.
"Cukap", kata Pak Edy dengan sangat senang dan bangga.
"Tunggu, dulu. Dulu saya sangat kejam kan mendidik kalian?", kata Pak Edy bergurau, merasa bersalah mengenang masa lalu.
"Justru karena didikan yang keras itulah pak, maka saya bisa berhasil seperti sekarang ini", katanya dengan tulus tanpa menyimpan rasa dendam sedikitpun.
Sama seperti Pak Kirno, Pak Edy juga mengatakan hal yang sama. "Kebahagiaan tertinggi saya sebagai seorang guru adalah ketika melihat anak didik saya berhasil. Bukan karena pemberian jam tangan itu. Melihat dia saja memakai seragam bea cukai, saya sudah sangat bahagia dan merasa berhasil sebagai seorang pendidik meskipun itu bukan sepenuhnya usaha saya", kata beliau terharu.
Memang itulah kebahagiaan tertinggi seorang guru. Yaitu melihat anak didiknya berhasil dikemudian hari.
"Kalau suatu saat saya melihat anak didik saya menjadi gelandangan atau digebuki rame-rame karena memaling jemuran? Alangkah kecewanya saya. Saya merasa gagal sebagai guru", kata saya ketika menceritakan kedua testimoni tersebut kepada anak murid saya tadi siang.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H