Ini hanya sebuah pertanyaan retoris yang tidak berpengaruh apa-apa sekalipun seandainya semua masyarakat DKI mengatakan tidak.
Mengapa?
Karena jabatan wagub DKI yang kosong, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undanh Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah akan diisi melalui proses pemilihan di DPRD DKI, bukan melalui pemilihan langsung oleh masyarakat DKI.
Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono, berdasarkan Pasal 26 ayat 6, tertulis prosedur pengisian pejabat partai pengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, yaitu Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), akan mengirim dua nama calon pengganti. (KOMPAS.com, 10/8/2018).
Kemudian Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan mengirim nama tersebut ke DPRD DKI untuk selanjutnya dipilih dan ditetapkan sebagai Wagub. Yang jelas pengganti Sandiaga Uno harus berasal dari partai PKS atau Partai Gerindra sebagai partai pengusung pemenang Pilkada 2017-2022.
Tetapi jika seandainya Partai Gerindra mengirimkan nama M. Taufik sebagai kandidat mereka, lalu DPRD DKI memilihnya secara bulat untuk menggantikan posisi Sandi yang lowong, adakah yang salah dengan keputusan tersebut? Adakah yang salah dengan M. Taufik jika dia terpilih menjadi Wagub DKI?
Keputusan tersebut jelas akan menuai kontroversi karena M. Taufik diketahui pernah tersandung kasus korupsi saat menjabat Ketua KPU DKI Jakarta. Ia divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004 karena merugikan uang negara sebesar Rp 488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. (KOMPAS.com, 10/7/2018).
Bolehkah seorang napi koruptor menjabat sebagai Wagub?
Saya tidak tahu jelas undang-undang yang mengatur hal tersebut. Tetapi napi koruptor menjadi caleg, jelas telah dijamin undang-undang. Dan setahu saya, M. Taufik sudah mendaftar sebagai bacaleg dari Partai Gerindra.
Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.
Tetapi bagaimana dengan eks napi koruptor menjadi Wagub? Adakah undang-undang yang melarangnya?
Jika seandainya pun ada undang-undang yang tak membolehkan, kan boleh dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung? Dan mudah-mudahan menang seperti sebelum-sebelumnya.
Tetapi jika seandainya masyarakat DKI ditanyakan, setujukah mereka jika Taufik terpilih menjadi Wagub DKI?
Jawabannya pasti ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Hal itu sangat lumrah dalam demokrasi. Sekalipun alasannya subjektif, kita harus menghormati pilihan setiap orang. Yang jelas, apakah masyarakat setuju atau tidak, tetap yang menentukan adalah DPRD DKI, bukan rakyat.
Tetapi alangkah bijaksananya DPRD DKI jika mau mendengarkan aspirasi rakyat?
Salam demokrasi...!
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H