Dikutip dari minangkabaunews.com (14/9/2018), koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengusulkan perubahan format debat capres 2019 agar kandidat bicara satu jam penuh untuk menyampaikan gagasannya dengan menggunakan bahasa Inggris.
Pertanyaannya adalah seberapa pentingkah hal itu harus dilakukan?
Bisa berbahasa Inggris (berbicara, mendengarkan dan menulis dengan tata bahasa yang baik) tentu saja menjadi nilai tambah bagi seseorang, mengingat kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.Â
Apalagi bagi seorang presiden? Bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih di forum internasional seperti presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, tentu menjadi kredit poin tersendiri bagi beliau dan merupakan kebanggaan bagi bangsa Indonesia.
Tetapi apakah seorang presiden mutlak harus bisa berbahasa Inggris? Dan apakah presiden yang bisa berbahasa Inggris sudah pasti lebih bagus dari yang tidak bisa?
Beberapa pemimpin negara-negara maju di dunia yang tidak berbicara dalam bahasa Inggris di forum internasional karena diduga kemampuan berbahasa Inggrisnya tidak bagus, diantaranya:
- Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki
- Nicolas Sarkozy, Presiden Perancis
- Xi Jinping, Presiden RRC
- Vladimir Putin, Presiden Rusia
- Angela Merkel, Kanselir Jerman
- Salman bin Abdulaziz Al Saud, Raja Arab Saudi
- Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang
- Mariano Rajoy, Perdana Menteri Spanyol
- Silvio Berlusconi, mantan Perdana Menteri Italia
Artinya, bagi pemimpin negara seperti Presiden, Perdana Menteri, Kanselir, Raja, Sultan, dsb, yang tidak berbicara dalam bahasa Inggris di forum internasional karena kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas bukanlah suatu hal yang memalukan.
Yang memalukan adalah ketika sudah tidak bisa berbahasa Inggris tetapi dipaksakan, seperti Vladimir Putin dan Nicolas Sarkozy yang pernah di bully karena pengucapan dan tata bahasa Inggrisnya dianggap kacau.
Lewat channel YouTube nya, Sacha Stevenson seorang bule luar negeri memberikan penilaiannya terhadap kemampuan Presiden Indonesia dalam berbahasa Inggris.Â
Di urutan pertama yang paling bagus adalah Soekarno. Sedangkan BJ Habibie, bahasa Inggris-nya lumayan bagus tetapi beberapa kata salah penekanan dan kedengaran seperti orang Arab dalam berbicara bahasa Inggris. Gus Dur berbicara bahasa Inggris dengan logat Indonesia, sementara bahasa Inggris Jokowi katanya sangat sederhana.
Kembali ke topik di atas, apakah format baru debat capres 2019 berbahasa Inggris perlu dilakukan?
Saya pikir tidak perlu. Mengapa? Karena ini ajang debat pemilihan Presiden Indonesia dan bukan Pemilihan Presiden internasional. Artinya pendengarnya juga masyarakat Indonesia yang lebih dari 95 persen tidak bisa berbahasa Inggris dan bukan masyarakat internasional yang tidak mengerti bahasa Indonesia.
Akan sangat mubazir bagi masyarakat internasional yang tidak menyaksikannya atau lebih tepatnya akan sangat membingungkan bagi masyarakat Indonesia menyaksikannya, jika calon presidennya berdebat dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.
Apa hebatnya jika 4 orang kandidat presiden, masing-masing menyampaikan gagasannya dalam bahasa Inggris yang hebat, tetapi masyarakat yang mendengarnya tak mengerti sama sekali?Â
Debat seperti itukah yang diinginkan masyarakat Indonesia? Debat yang membingungkan?
Saya pikir, tidak. Itu hanya gagah-gagahan. Masyarakat Indonesia akan bangga jika presidennya bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih di forum internasional. Tetapi itu bukan sebuah keharusan. Tidak mutlak dan bukan segalanya.
Jauh lebih penting adalah, presiden Indonesia harus mengerti "bahasa hati" masyarakat Indonesia. Mengerti apa yang mereka butuhkan dan menyediakan apa yang mereka paling perlukan berdasarkan skala prioritas.
Sekali lagi, format baru debat presiden 2019 dalam bahasa Inggris tidak perlu. Itu hanya akan membingungkan masyarakat. Jika Anda memaksakan, saya tidak tahu apa dasar Anda mengharuskannya.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H