Ketidaktahuan tentang sesuatu membuat seseorang menjadi bingung dan kelihatan bodoh, dan jika ketidaktahuan itu makin menumpuk karena tidak pernah dicari tahu hingga tuntas, maka menjadi dungulah orang tersebut.
Itulah mengapa orang bijak mengatakan: "Pintar itu ada batasnya tetapi kebodohan tidak mempunyai batas". Albert Einstein mengatakan: "Dua hal yang tak terbatas:alam semesta dan kebodohan manusia; dan aku tidak yakin tentang alam semesta."
Albert Einstein tidak meyakini bahwa alam semesta itu tidak memiliki batas tetapi beliau tidak pernah meragukan bahwa kebodohan itu tanpa batas. Itulah mengapa saya takut termasuk ke dalam kelompok yang disebut terakhir, menjadi orang dungu tiada batas.
Demikianlah ketika saya mendengar bahwa sebagian dari ulama (tidak semuanya), ikut terjun ke dunia politik khususnya dalam rangka menentukan calon pemimpin di negeri ini mulai dari calon bupati, walikota, gubernur hingga presiden.
Saya berpikir, tentulah karena ulama menginginkan agar pemimpin yang terpilih di negeri ini benar-benar orang yang terbaik dari segi intelektual, akhlak spritual dan moral. Agar masyarakat tidak salah memilih maka mereka merekomendasikan nama-nama yang sebaiknya dipilih dan itupun hanya rekomendasi, bukan paksaan.
Demikian juga ketika ulama terbagi ke dalam beberapa kubu yang berbeda, tentulah bukan karena mereka terpecah. Tetapi sangat wajar jika ulama sebagai manusia juga mempunyai penafsiran dan pandangan yang berbeda mengenai calon pemimpin yang mereka jagokan.
Ada hasil Ijtima' Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) yang merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai Presiden dan dua nama untuk dijadikan cawapres, yakni Salim Segaf Al Jufri dan Ustaz Abdul Somad. Dan ada pula Barisan Ulama Muda Samawi pendukung Jokowi 2 periode yang jumlahnya tidak kalah banyak.
Selain itu ada pula sekitar 50 kiai di Jakarta yang akan mengadakan pertemuan pada tanggal 4 Agustus 2018 dengan Cak Imin untuk menyatukan langkah. Cak Imin selama ini juga mendapat mandat dari ulama menjadi calon presiden (capres) atau cawapres untuk mendampingi Jokowi.(jppn.com 2/8/2018)
Ketua Fraksi PKB di MPR Jazilul Fawaid yakin Cak Imin pasti dipilih menjadi cawapres Jokowi. Namun, jika tidak dipilih, maka PKB dan Cak Imin akan bertanya lagi kepada para ulama. Termasuk apakah akan tetap berada di barisan pengusung Jokowi atau tidak.
Dan bagi saya yang bukan politisi, pernyataan ini cukup membingungkan. "... Yakin Cak Imin 'pasti' dipilih. 'Namun', jika tidak dipilih..." Maksudnya apa? "Yakin pasti dipilih namun jika tidak dipilih", tentulah bukan bahasa yang mudah dipahami orang awam seperti saya.
"Kan mereka yang memberi mandat, apakah masih mau terus ke Pak Jokowi atau ke yang lain. Nanti kami tanya kepada ulama yang sudah melakukan survei langit," kata Jazilul Fawaid (jppn.com 2/8/2018)
Demikianlah saya merasa bingung karena ketidaktahuan ketika mendengar kata: "survei langit". Istilah baru apa pula ini? Apakah benar-benar ulama melakukan survei hingga ke langit hanya untuk meyakinkan bahwa Cak Imin layak menjadi Capres atau Cawapresnya Jokowi?
Tentulah para ulama tidak bermaksud membingungkan umat dengan istilah-istilah baru. Karena pada dasarnya ulama itu tugasnya memberikan pencerahan kepada umat agar tidak bingung dan tersesat.
Jika suara para ulama seakan-akan terpecah dalam dukung-mendukung atau dalam hal memberikan rekomendasi, sama sekali tujuan mereka bukan untuk membingungkan umat. Tetapi agar umat lebih leluasa menentukan pilihannya mengenai pemimpin yang mana seharusnya mereka pilih.
Belakangan saya ketahui bahwa ulama itu melakukan"survei langit", yaitu membaca peluang sampai titik akhir. Mungkin tujuannya hampir sama dengan survei yang dilakukan oleh lembaga survei seperti SMRC, dsb.Â
Tetapi mungkin caranya saja yang berbeda. Jika lembaga survei menggunakan pendekatan ilmu statistik maka para ulama melakukan pendekatan ilmu agama. Itulah mungkin mengapa disebut "survei langit".
Tetapi survei manakah yang paling akurat? Saya pikir hal tersebut tidak perlu ditanyakan. Ada tingkat kepercayaan dan ada pula subjektivitas yang mempengaruhi hasil survei. Tentang hal itu saya tidak mau ikut campur. Itu bukan ranah saya.
(RS/dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H