Di tahun politik ini tiba-tiba saja engkau memperhatikanku
Tiba-tiba saja engkau peduli dengan segala keberadaanku
Tiba-tiba saja engkau "sok akrab sok dekat" denganku
Ada apa denganmu?
Apa?
Engkau memanggil aku saudara?
Coba ulangi sekali lagi, apakah aku tidak salah dengar?
Kita bersaudara? Sejak kapan?
Aku tahu engkau akan menjawab.
Sejak dahulu kala,
Sejak merdeka hingga sekarang.
Tetapi mengapa engkau baru sekarang mengakuinya?
Hahahaha...
Betapa baiknya engkau, betapa naifnya aku?
Betapa pintarnya engkau, betapa bodohnya aku?
Hahahaha...
Tiba-tiba saja engkau menawarkan aku sembako,
Tiba-tiba saja engkau memberikan aku uang
Tetapi apa?
Aku harus mengakui bahwa aku miskin?
Mengakui bahwa aku susah, sengsara dan melarat?
Hahahaha...
Untuk apa?
Betapa senangnya engkau aku miskin
Betapa bahagianya engkau aku menderita
Betapa semangatnya engkau meneriakkan: "kemiskinan dimana-mana, penguasa gagal"
Apa-apaan ini?
Engkau memperalat kemiskinan?
Engkau mempermainkan penderitaan?
Engkau menjual rakyat untuk kepentinganmu?
Hahahaha...
Betapa liciknya engkau,
Betapa jahatnya engkau,
Hahahaha...
Dari atas istanamu
Dari atas tumpukan emasmu
Dari atas ferarimu
Dari atas kudamu
Engkau menipu aku?
Hahahaha...
Sudahlah, aku mengakuimu saudara
Tetapi bukan hanya hari ini ketika engkau membutuhkan suaraku
Selamanya kita bersaudara,
Di atas bumi ibu pertiwi
Di bawah naungan Sang Merah-putih
Tetapi jangan jual aku untuk kepentinganmu
Jangan peralat kemiskinan rakyat
Jangan senang jika rakyat sengsara
Jangan bahagia jika rakyat melarat
Apa?
Engkau sumringah jika aku sengsara.
Dan berharap aku terus menderita?
Sudahlah,
Berhentilah...!
(RS)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI