Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebebasan yang Kebablasan atas Nama Demokrasi di Era Reformasi

16 Februari 2018   09:37 Diperbarui: 13 September 2018   22:03 4812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era reformasi dimulai setelah runtuhnya masa kejayaan orde baru. Berakhirnya rezim orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan disebabkan adanya "tekanan" dari segala penjuru, memaksa otokrat yang berkuasa selama 32 tahun lebih, dari Presiden Soeharto kepada wakilnya BJ Habibie.

Jebolnya benteng pertahanan berlapis orde baru tak lepas dari "serangan" bertubi-tubi dari mahasiswa yang secara simultan berjuang dan bersatu dari seantero Indonesia. Mereka dengan gencarnya terus menyuarakan perubahan dan pembaharuan terhadap situasi politik dan keadaan perekonomian negara yang porak-poranda.

Hal ini dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi yang melanda Indonesia yang diawali dari krisis moneter global 1997 dan berimbas kepada krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah dianggap telah gagal meletakkan fundamen perekonomian yang kokoh.

Sebenarnya ada 6 agenda utama reformasi yang dituntut oleh mahasiswa, dan langkah pertama yang paling utama adalah menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan yang dianggap telah menghancurkan perekonomian Indonesia melalui praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di pemerintahan dan di antara kroninya.

Soeharto juga dianggap telah memerintah secara otoriter dan mematikan semangat demokrasi. Mengekang kebebasan mengeluarkan pendapat, mencabut izin media yang dianggap berseberangan, dan menangkap serta menculik politisi dan aktivis yang bersuara lantang mengkritisi pemerintah.

Adapun ke-6 agenda utama yang diteriakkan mahasiswa adalah :

  1. Suksesi kepemimpinan nasional
  2. Amandemen UUD 1945
  3. Berantas KKN
  4. Hapuskan dwifungsi ABRI
  5. Tegakkan supermasi hukum
  6. Laksanakan Otonomi daerah.

Mahasiswa pun mengadakan demonstrasi besar-besaran secara serempak di seluruh Indonesia. Tanggal yang ditetapkan adalah 19-21 Mei 1998 dan puncaknya dipilih tanggal 20 Mei 1998, bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. 

Dok : freedomnews.com
Dok : freedomnews.com
Di Jakarta, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR Senayan, yang didukung oleh politisi dan aktivis pro-reformasi. Akhirnya Soeharto pun menyerah dan menyatakan mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998, sehari setelah peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Itulah akhir dari rezim orde baru yang "zolim" sekaligus awal dari era reformasi yang penuh harapan. Indonesia memasuki babak baru dan kebebasan baru. "Euforia" reformasi bergema dimana-mana dan era kebebasan atas nama demokrasi pun dimulai. 

Tahanan politik atau napol yang dijebloskan ke penjara karena dianggap terlalu vokal menentang pemerintah dibebaskan. Mereka dipuja bagikan dewa dan mereka kerap menjadi pembicara pada seminar atau kegiatan bertema reformasi. 

Mahasiswa dan aktivis yang diculik dan mengalami penyiksaan dicari. Yang masih hidup dibebaskan dan yang masih hilang dicari dan ditelusuri jejaknya. Ada yang beranggapan kisah ini belum tuntas hingga hari ini.

Media massa yang dicekal karena terlalu berani membongkar aib penguasa kembali mendapatkan izin terbitnya. Media-media baru yang "menjelek-jelekkan" rezim orde baru pun bermunculan dan laku keras.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi" yang dianggap telah merampas kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum, disahkan pada tanggal 19 Mei 1999 oleh Presiden B.J. Habibie.

Partai-partai baru bermunculan bag jamur di musim hujan. Yang tadinya hanya 3 partai berubah menjadi ratusan partai walaupun kemudian yang lolos pada pemilihan pertama pasca reformasi hanya 48 kontestan.

Inilah awal kebangkitan sekaligus "kerusakan demokrasi". Ketika banyak orang memaknai demokrasi itu sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan yang jelas. Banyak yang berbuat sesukanya atas nama demokrasi ala reformasi. 

Aturan-aturan yang baik seperti aturan lalu lintas dilanggar. Alasannya sederhana, "Inikan negara demokrasi?" Kebebasan bersuara kebablasan. Sopan santun dan etika dalam mengeluarkan pendapat pun diabaikan atas nama reformasi. Dan hal tersebut bukan lagi menjadi sebuah pemandangan yang asing bahkan sudah menjadi budaya demokrasi ala reformasi.

Benarkah hal yang seperti itu definisi kebebasan dalam negara demokrasi yang sesungguhnya?

Tentu saja tidak. Dari 8 ciri-ciri negara demokrasi, 5 diantaranya berbicara mengenai kebebasan.

Yang pertama adalah adanya kebebasan individu. Setiap warga negara diberi hak dan kewajiban yang sama antara yang satu dengan yang lainnya termasuk dalam menyuarakan pendapat terhadap pemerintah maupun di muka umum.

Yang kedua adalah adanya jaminan terhadap perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM), yaitu hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dsb.

Yang ketiga adalah adanya kebebasan  pers, yaitu media masa mempunyai hak untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat sesuai dengan undang-undang pers. Tidak menyebarkan berita bohong dan fitnah dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara jurnalistik.

Yang keempat adalah adanya kebebasan berkoloni dan berorganisasi. Masyarakat memiliki hak untuk mendirikan ataupun mengikuti organisasi. Tentu saja organisasi yang sesuai dan berdasarkan Pancasila.

Yang kelima adalah adanya kebebasan untuk mengenyam pendidikan tanpa unsur diskriminasi. Setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan bahkan sampai ke luar negeri.

Apakah kebebasan tersebut tanpa batasan? Tentu saja tidak. Definisi kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan yang tidak melanggar kebebasan orang lain. Ketika saya menjalankan kebebasan saya sendiri sesuka hati saya dengan dalih reformasi maka kebebasan orang lain akan terganggu. Demikian sebaliknya jika orang lain melakukan hal yang sama, keadaan akan menjadi kacau.

Sekarang setelah usia Reformasi di Indonesia sudah memasuki usia yang ke-20 tahun sejak 21 Mei 1998, dan telah mengalami 5 kali pergantian presiden, apakah keadaan negara kita sudah lebih baik? Dan apakah ke-6 agenda utama reformasi sudah tercapai?

Sebagian sudah tetapi sebagian lagi tambah hancur. Suksesi kepemimpinan, amandemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI dan pelaksanaan otonomi daerah sudah terlaksana.

Tetapi praktek korupsi semakin merajalela dan sudah menjadi budaya. Penegakan supremasi hukum juga masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Dan yang paling hancur adalah kebebasan yang kebablasan atas nama demokrasi ala reformasi. Kebebasan media yang tidak bertanggung jawab dengan memberitakan kabar bohong dan fitnah yang menyerang pribadi dan kelompok sudah sampai ke tingkat yang mengkhawatirkan. 

Terlebih dengan maraknya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat. Penghinaan, caci-maki dan fitnah yang mengangkat isu-isu SARA atas nama agama semakin merajalela.

Apakah keadaan sudah semakin baik pasca reformasi?

Untuk kebebasan masih memprihatinkan. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa Presiden Soeharto pernah berkata: "Belum saatnya Indonesia melakukan reformasi".

Beliau melihat tingkat kesadaran atau kesiapan masyarakat untuk bereformasi masih belum tepat. Beliau juga melihat dengan jelas, banyak petualang-petualang politik yang ingin berkuasa tetapi tidak mempunyai kemampuan yang mumpuni. Mereka hanya ingin bereksperimen terhadap sebuah negara besar yang pluralis.

Beliau juga melihat dengan jelas, banyak aktivis dan politisi yang bersuara lantang adalah penjahat yang ingin menjerumuskan bangsa ini ke dalam perpecahan dan perang saudara yang berkepanjangan. Seperti di negara lain yang terus berperang tak henti

Beliau sangat memahami bahwa demokrasi yang tepat untuk sebuah negara yang tingkat pemahamannya yang masih rendah tentang makna kebebasan harus menggunakan sistem diktator, kalau menyimpang gebuk supaya jera.

Tetapi itupun tidak sepenuhnya benar. Apapun alasannya kita harus "berevolusi" menjadi negara demokrasi modern yang mempunyai kebebasan yang bertanggung jawab sekaligus mempunyai kesadaran nasionalisme yang tinggi.

Salam Bhinneka Tunggal Ika, NKRI harga mati!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun