Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Pasal Zina dalam RKUHP Menuai Polemik di Masyarakat?

7 Februari 2018   01:04 Diperbarui: 8 Februari 2018   09:01 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : aktual.com

(Sebuah literasi informasi yang diambil dan ditautkan langsung dengan sumber bacaan)

KOMPAS.com pada hari Senin, 5 Februari 2018 | 21:06 WIB, dengan judul "DPR dan Pemerintah Sepakat Pasal Zina Tetap Diperluas dalam RKUHP",  memberitakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sepakat untuk tetap memperluas pasal tindak pidana zina dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Namun untuk menghindari munculnya praktik persekusi, DPR dan pemerintah sepakat untuk memperketat ketentuan dalam Pasal 484 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi: "tindak pidana zina tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan".

Frasa pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan kemudian diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak sehingga bunyi Pasal 484 ayat (2) menjadi: "tindak pidana zina tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua dan anak".

Hal tersebut merupakan bentuk penegasan dari berita KOMPAS.com satu minggu sebelumnya, (Selasa, 30 Januari 2018 | 18:34 WIB) dengan judul "Pasal Zina di Ruu KUHP Dikhawatirkan Buat Masyarakat Main Hakim Sendiri"

Dimana pada paragraf pertama disebutkan bahwa sejumlah warga menginisiasi petisi untuk menolak perluasan pasal zina dalam draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah dengan salah satu alasan bahwa perluasan pasal zina berpotensi meningkatkan kriminalisasi terhadap privasi warga negara.

Selain itu, menurut Tunggal Parwesti sebagai salah satu inisiator, perluasan pasal zina berpotensi memunculkan persekusi dan budaya main hakim sendiri di tengah masyarakat. Sebab, setiap orang yang merasa memiliki kepentingan bisa melakukan penggerebekan atau penuntutan terhadap pasangan yang diduga melakukan persetubuhan di suatu tempat.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud dengan "perluasan pasal zina dalam KUHP?" Apakah sebelumnya sudah ada pasal-pasal yang mengatur tentang zina dalam KUHP dan mengapa perluasan pasal zina ini menuai polemik di masyarakat?

Saya sebelumnya sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui tentang masalah perluasan pasal zina ini tetapi melihat kehebohan yang terjadi di media massa dan media sosial akhirnya saya penasaran untuk menuliskan topik ini dalam bentuk literasi informasi dengan mentautkan langsung sumber bacaan sebagai referensi.

Diambil dari laman situs Aliansi Reformasi KUHP, tanggal 01/11/2016 yang ditulis oleh: Bintang Wicaksono Ajie dengan judul "TINDAK PIDANA ZINA DALAM R KUHP 2015", dijelaskan bahwa dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP ) yang berlaku saat ini, delik zina sudah diatur dan masuk dalam rumusan delik. Adapun, ketentuan mengenai zina diatur dalam Pasal 284 KUHP, dapat dirumuskan sebagai berikut:

  • Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan :

Ke-1

  1. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata[1]berlaku baginya;
  2. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya.

Ke-2

  1. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
  2. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya.
  • Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti dengan permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
  • Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75 KUHP.
  • Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
  • Jika bagi suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Dan masih dalam laman tersebut juga dicantumkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015 (RKUHP 2015) yang sedang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan masih menyisakan banyak permasalahan.

Menurut catatan tirto.id, tanggal 26/01/2018 dengan judul: "Revisi KUHP Soal Zina Bikin Hukum Seperti Abad Kegelapan Eropa" menjelaskan bahwa revisi ini didengungkan untuk mewujudkan nilai humanis lantaran KUHP yang ada sekarang merupakan warisan kolonial. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Anugerah Rizki Akbari rencana perluasan delik zina dan pencabulan homoseksual dalam revisi ini malah menjauhkan pemerintah dan DPR dari cita-cita tersebut.

Ia menjelaskan, negara sekadar ingin tampil sebagai sosok yang kuat tetapi tidak benar-benar merespons isu kriminalitas dengan membuat bermacam regulasi tambahan yang bersifat represif.

Manakah pasal dan ayat yang mengalami perluasan pasal zina dalam RKUHP tersebut dan apa isinya?

Menurut detikNews.com, Senin 05 Februari 2018, 18:26 WIB dengan judul "Pidana Zina akan Diatur KUHP, Pasal LGBT Di-pending" memuat:

Pasal pertama adalah Pasal 484 dalam draf KUHP yang berbunyi:

Pasal 484
1. Dipidana karena zina, dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun:
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan suaminya;
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 26, pasal 27, dan pasal 31.

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Selain Pasal 484, rapat sepakat dengan Pasal 488. Namun ada tambahan frasa 'wali, suami, atau istri dan anak' pada akhir alinea ayat 2. Pasal 488 berbunyi:


Pasal 488

1. Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan orang tua kandung atau wali, suami, atau istri dan anak.

3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 27 dan pasal 31.

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Itulah beberapa informasi yang saya dapatkan dari beberapa media online tentang masalah perluasan pasal zina pada RKUHP yang menuai banyak polemik. 

Masyarakat yang menentang perluasan pasal zina bukan berarti setuju dengan perzinahan tetapi karena pasal tersebut dikuatirkan akan memberikan celah kepada kelompok tertentu untuk melakukan persekusi, penggerebekan dan main hakim sendiri maka lebih baik RKUHP tersebut dibatalkan karena bukan memberikan tertib hukum dalam masyarakat tetapi justru kekuatiran kriminalisasi.

Lagi pula definisi kata zina dan mengenai hukumannya masing-masing mempunyai pengertian yang yang sedikit berbeda dalam setiap agama. Sekedar untuk menambah wawasan tidak ada salahnya jika kita membaca "Zina Menurut Pandangan Agama" yang dimuat dalam laman Wikipedia bahasa Indonesia.

Selamat pagi....!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun