Saya adalah seorang guru, sama seperti Ahmad Budi Cahyono. Tugas utama kami juga sama seperti yang tercantum dalam UU RI No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 1, yaitu: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Jika ada perbedaan antara saya dan Budi adalah, saya mengajar di SMP dan Budi mengajar di SMA, saya mengajar matematika dan Budi mengajar seni rupa. Saya tinggal di Lingga, Kepulauan Riau dan Budi tinggal di Sampang, Madura. Saya sudah ASN tetapi Budi masih guru honorer dan tidak akan pernah lagi menjadi ASN. Saya masih hidup tetapi Budi sudah meregang nyawa di tangan anak didiknya sendiri.
Sebelum berstatus sebagai ASN, saya pernah menjadi guru honorer selama 4,5 tahun dan itu sangat tidak mudah. Seperti yang saya sudah ceritakan sebelumnya dalam tulisan saya yang berjudul "Sorga", saya harus mengajar selama 32 jam pelajaran setiap minggunya dengan upah Rp475.000 setiap bulannya. Dengan duit sebanyak itu saya harus menghidupi 1 orang istri dan 2 orang anak. Luar biasa bukan?Â
Bandingkan dengan gaji Zumi Zola Gubernur Jambi yang tersandung kasus korupsi karena gajinya kecil, kata Zulkifli Hasan, sang Ketua MPR-RI. Apakah gaji Zumi Zola lebih kecil Rp475.000 setiap bulannya? Pasti tidak. Setiap jamnya barangkali, dengan asumsi Rp475.000 x 12jam x 30hari = Rp342 000.000 setiap bulannya. Tetapi mungkin masih lebih.
Jelas bagi saya dan Budi menjadi, guru honorer itu sangat tidak enak. Setiap hari kami harus berhadapan dengan ratusan anak didik dengan berbagai macam latar belakang ekonomi dan keluarga serta karakteristik yang beragam juga.Â
Kami harus mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik tersebut dengan sabar dan tidak boleh membedakan satu sama lain. Dan satu lagi, mereka dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Anak yang selalu diawasi oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sedangkan kami tanpa Undang-undang Perlindungan Guru.
Jadi kami tidak boleh sembarangan menghukum anak. Kalau tidak, kami akan dituntut di depan pengadilan dan kemudian dimasukkan ke bui secara paksa. Padahal menghukum anak yang didasarkan pada "kasih sayang" dan "emosi yang positif" dengan tujuan agar anak tersebut lebih baik dikemudian hari adalah bagian dari pendidikan itu sendiri, seperti yang saya kemukakan dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Menghajar Anak vs Perlindungan Anak".
Apakah ada hubungannya dengan Undang-undang Perlindungan Anak atau tidak, yang jelas sekarang para guru dan orang tua sedang diperhadapkan dengan generasi "cuek", seperti yang saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Generasi Apatis". Generasi yang tidak peduli dengan diri sendiri, dengan sesama, dan terhadap lingkungan. Mereka tidak peduli dengan norma-norma dan aturan yang berlaku. Mereka cenderung lebih suka hidup sesuka hati tanpa memikirkan masa depan.
Para guru di sekolah sangat kewalahan. Rasa hormat siswa terhadap guru dari hari-kehari menurun drastis. Mereka tak segan-segan menentang, membantah, membentak, melawan dan menyepelekan guru dan aturan-aturan sekolah.
Generasi seperti inilah yang dihadapi oleh Budi seorang gubernur, eh... maksudnya guru honorer yang malang. Beliau tidak bermimpi memiliki mobil dan rumah mewah atau barang-barang berharga lainnya dengan gajinya yang pasti sangat tidak pas-pasan.
Beliau hanya berharap bagaimana mendidik anak didiknya agar kelak dapat menjadi anak yang labih berguna dan lebih baik nasibnya dan kalau bisa jangan mengalami nasib seperti dirinya yang hanya seorang guru honorer dengan gaji sangat tidak pas-pasan.
Dan di akhir bulan beliau akan menerima gajinya yang tidak seberapa kemudian dengan senyum yang dipaksakan memberikannya kepada istri tercintanya yang sedang hamil 4 bulan dan berkata, "Inilah hasil keringat halal saya selama satu bulan ini, olahlah dan kalau bisa disisihkan barang sedikit untuk menyambut kelahiran anak kita 5 bulan lagi", katanya sambil menghibur diri. Dan isterinya pun senyum bahagia dan tak pernah menuntut lebih, perhiasan atau baju baru misalnya.
Tetapi sungguh malang benar nasib Budi. Sebuah status di akun facebook "Dian Andryanto" dengan judul "Tragedi Guru Budi" memberitakan bahwa tepat tanggal 01 Februari 2018, Budi telah pergi untuk selamanya menghadap Sang Pencipta. Meninggalkan istrinya yang sedang hamil 4 bulan.
Kira-kira begini sebagian isi dari akun tersebut:_________________
Guru Budi mengajar seperti biasa. Meski gajinya pas-pasan saja, ia terus mengabdikan dirinya. Bakti dan imbalan kadang tak sejalan, tapi ikhlas ia lakukan, berharap suatu hari ia tak lagi jadi guru honorer, semua harapan untuk menafkahi keluarga barunya.
Kamis kemarin, ia mengajar di kelas XI. Pelajaran menggambar tengah dilakukan. Salah seorang anak didiknya yang berinisial HI tidak mempedulikannya, ia terus mengganggu teman-temannya, bahkan tidur dalam kelas sesuka hatinya. Guru tak lagi dihargai sebagai apapun bahkan sebagai manusia.
Guru Budi menegur HI, pipinya dicoret cat air. Bukannya sadar, HI merangsek Guru Budi, memukuli kepala gurunya terus tak berhenti seandainya teman-temannya tak melerai.
Setiba di rumah, Guru Budi merasakan sakit kepalanya, makin menjadi. Tak sadarkan diri kemudian. Keluarga membawanya ke RS Dr Sutomo, Surabaya. Semalam, sekitar pukul 21.40, Guru Budi berpulang. Diagnosis dokter mati batang otak.
Guru Budi berpulang dipukuli muridnya sendiri. Tragedi yang tak seharusnya terjadi. Hormat murid kepada guru tak seperti dulu. Sungkan siswa kepada guru tak lagi banyak ditiru. Negeri nanti seperti tak berjiwa lagi. Guru Budi meninggal karena matinya budi pekerti generasi.
Shinta, istri Guru Budi berduka tak terkira. Anak yang baru empat bulan dikandungnya, lahir nanti tak ditunggui ayahnya. Yatim si anak pada kelahirannya.
Shinta akan mengisahkan tentang Guru Budi, guru honorer di daerah terpencil yang meninggal dianiaya muridnya sendiri, kepada anaknya.Â
Kabar yang tak muncul sebanyak berita lainnya di media massa. Padahal inilah nilai dasar, ketika murid mulai tak menghargai gurunya, ketika siswa bisa memukuli guru semaunya.Â
"Guru Budi itu ayahmu, Nak," kata Shinta bertahun kemudian di hadapan pusara bertuliskan Ahmad Budi Cahyono. Tangis terpendam. Masa meredam. Luka mendalam. Terdiam.
_______________________
Sampai artikel ini ditulis, berita tersebut telah ditanggapi 86.676 kali, dikomentari sebanyak 47.330 dan dibagikan entah sudah berapa ribu kali.
Budi pasti sedang dan sangat senang menantikan kelahiran anak pertamanya. Dan anak pertamanya pun pasti sangat ingin melihat wajah ayah kandungnya yang telah berjuang untuknya dan ibunya. Tetapi malang bagi Budi, istrinya dan anaknya. Mereka bertiga tak pernah tersenyum dan dan bersenang-senang bersama seperti mimpi mereka. Mereka harus mengubur mimpi itu jauh-jauh karena anak didiknya HI menguburnya dalam-dalam.
Inilah nasib tragis Budi si Guru Honorer yang malang. Entah ke mana istrinya harus mengadukan nasib dirinya dan nasib anaknya yang akan lahir 5 bulan lagi. Apakah pemerintah, orang tua/wali, peserta didik dan pemerhati pendidikan akan memberi perhatian kepada guru khususnya guru honorer setelah peristiwa ini?
Jika tidak, kematian Budi akan sia-sia dan bukan tidak mungkin nasib yang sama akan menimpa Budi-Budi yang lain....
Selamat jalan teman seperjuangan Budi, tenanglah di alam sana bersama Tuhanmu, semoga anak istrimu dan anakmu, orang tuamu, mertuamu, dan semua orang-orang yang mencintaimu tabah dalam menghadapi cobaan ini.
Dan semoga setelah peristiwa ini, Undang-undang Perlindungan Guru segera dibuat dan disahkan agar tidak ada lagi yang bernasib sama sepertimu dan jika undang-undang itu disahkan kelak, engkaulah pahlawannya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H