Dahulu aku sangat suka berimajinasi tetapi sekarang tidak. Aku sudah kapok. Tak perlu. Dan sekali lagi aku tegaskan, tidak perlu. Setiap kali imajinasi itu datang, segera aku bunuh sebelum tumbuh menjadi berudu lalu berkaki kemudian melompat dan selanjutnya menjadi liar, lalu menerkam mangsanya yang hampa tak berwujud.
Katak tetaplah seekor katak. Setinggi apapun katak melompat tak akan mengubahnya menjadi kanguru. Sebesar apapun katak, tak akan pernah dapat menandingi besarnya lembu. Satu ekor katak terbesar tidak akan mencapai seperseratus dari lembu yang terkecil.Â
Biarlah katak tetap menjadi katak dan jangan pernah berimajinasi menjadi kanguru atau lembu. Biarlah kanguru tetap menjadi kanguru dan jangan pernah berimajinasi untuk mengurangi lompatannya menjadi setinggi katak. Dan jika lembu melihat sebuah tempurung tertelungkup di tanah, tolong jangan menendangnya! Dibawahnya ada katak. Katak yang sedang berimajinasi.
Ilmuwan besar Albert Einstein mengatakan: "Imajinasi lebih penting dari pengetahuan karena logika dapat membawa Anda dari A ke B tetapi imajinasi dapat membawa Anda kemana-kemana". Benar sekali tetapi aku tidak sepenuhnya sependapat.
Sangat setuju bahwa imajinasi dapat membawa kita kemana-mana. Tetapi kenyataannya aku tetap saja disini, di dalam tempurung. Duduk termenung, bengong sambil terus berimajinasi, bagaimana membuat imajinasiku menjadi kenyataan dan imajinasikupun berubah menjadi liar. Tetapi tetap saja aku seperti katak, seperti katak dalam tempurung.
Ya, saya baru sadar. Pasti kata-kata bijak Einstein tersebut tidak berlaku untuk katak. Juga bukan untuk kanguru dan juga lembu. Tetapi hanya untuk manusia yang tidak berpikir seperti katak atau tukang lompat seperti kanguru. Lembu pun tidak ikut. Ia terlalu tambun karena sering mengunyah makanannya sambil tidur.
Di suatu siang yang cukup terik di tempat kostku yang memprihatinkan sepulang dari tempat kuliah, aku menceritakan imajinasi liarku kepada teman kostku. Dia seorang tukang jahit berjenis kelamin laki-laki. Tetapi cara berdandannya jauh melebihi perempuan. Dia mengaku bahwa dia adalah laki-laki tulen dan penampilannya pun sangat meyakinkan pengakuannya. Badannya kekar dan cara berjalan dan berbicaranya pun sama sekali tidak meragukan.
Hanya saja dia agak sedikit "gila" karena mengalami perlakuan yang pahit dari ayah kandungnya. Dia sering dipukuli hingga meninggalkan bekas tidak hanya di badan tetapi di dalam hatinya juga. Bahkan sampai SMA kebiasaan itu tidak juga berhenti. Dan dia pun pergi merantau ke Medan dan menjadi tukang jahit. Dan dia berjanji tak akan pernah berhenti membenci ayahnya dan takkan pernah memaafkannya seumur hidup.
Aku tidak tahu dimana dia sekarang berada. Bahkan namanya pun aku sudah lupa. Tetapi dia benar-benar pernah ada dan bukan tokoh fiksi. Ketika aku ingin membagikan imajinasiku dia langsung tertawa tanda tertarik.Â
"Cepat-cepat... ceritakanlah, pasti itu sangat menarik", katanya memaksa. Dan akupun mulai membual seperti tukang obat cacing menjajakan jualannya di tengah keramaian dengan mempertontonkan sulap dan ular sawah yang sudah jinak.
Dia berbicara dengan jelas dalam bahasa Inggeris dan akupun mengerti setiap kata yang diucapkannya sekalipun aku sendiri tidak dapat berbahasa Inggeris. Dan ketika aku bermaksud menjawabnya dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba aku heran. Ternyata aku bisa berbahasa Inggris. Bahkan sangat fasih. Ini sungguh sebuah muzizat.
Dan akhirnya kamipun bercerita panjang lebar tentang laut biru. Semakin dekat dan semakin rapat. Mula-mula aku hanya berani memegang tangannya, lalu melingkarkan tanganku di bahunya. Dan akupun memberanikan diri membelai rambutnya yang pirang. Dan selanjutnya silahkan pikirkan sendiri apa  yang terjadi..... Dia sangat bahagia dalam pelukanku dan tidak mau berpisah barang sedetikpun.
Dan tiba-tiba langit berubah gelap. Sekelompok pengawal kepresidenan menhaoiri kami dan membawanya pergi dengan paksa. Aku ditendang tersungkur di pasir dan  tak sadarkan diri. Ketika aku tersadar, Chelsea sudah terbang bersama rombongan kepresidenan kembali ke Amerika. Dan akupun hanya bisa menangisi nasib.
Seminggu setelah itu aku tidak bisa makan. Bahkan untuk minumpun aku tak selera. Badanku kurus dan pandanganku nanar. Tatkala aku sedang menghayalkan dirinya, tiba-tiba sebuah helikopter mendarat di samping rumahku yang sudah reot. Hampir saja gubuk tuaku tumbang karena kuatnya angin yang dihasilkan baling-baling ganda helikopter kepresidenan.
Aku kaget luar biasa. Tiba-tiba Chelsea keluar dari helikopter didampingi calon mertuaku Bill Clinton. Beliau membuka kedua tangannya tanda menyerah kalah. Bagaimana pun beliau menghentikan hubunganku denganChelsea agar berhenti saling mencintai nampaknya sia-sia.Â
Sepulang ke Amerika setelah peristiwa di pantai, Chelsea demam tinggi. Semua dokter terbaik di Amerika sudah didatangkan tetapi panasnya tak turun-turun hingga hari kelima. Dokter menyerah dan Clinton pun ketakutan kehilangan anak satu-satunya.Â
Ketika Clinton menanyakan Chelsea apa yang bisa menyembuhkannya, dia menyebut namaku. Clinton pasrah. Dia lebih takut kehilangan gengsinya daripada kehilangan anaknya. Setelah Clinton berjanji akan mempertemukan Chelsea dengan aku, dia pun sembuh seketika tanpa meminum obat apapun. Akulah obatnya.... tak ada yang lain.
Dan akhirnya kamipun menikah dan tinggal di Amerika di lingkungan istana "The white house". Kami hidup bahagia disana dan dikaruniai sepasang anak yang cantik dan gagah. Semuanya berjalan baik hingga suatu pagi yang malang. Tiba-tiba aku terjatuh dari tempat tidurku dan aku terbangun. Ternyata aku hanya seekor katak. Katak dalam tempurung...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H