Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Efek Langsung dari Pilkada Langsung

24 Januari 2018   20:24 Diperbarui: 24 Januari 2018   20:32 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika segala cara telah dilakukan oleh calon kepala daerah dan tim suksesnya maka satu cara lagi yang tidak pernah ketinggalan dan dianggap sangat efektif walaupun sangat tidak mendidik adalah "politik uang" atau money politics yang juga dikenal dengan istilah "serangan fajar".

Cara ini sudah bukan rahasia umum lagi dan dianggap sudah lazim. Hukum pasar mengisyaratkan: "Ketika ada pembeli disitu akan ada penjual dan ketika ada penawaran penjualpun akan muncul dengan sendirinya". Pemilih menganggap bahwa semua calon kepala daerah itu sama dalam janjinya, siapa yang berani memberi penawaran tertinggi untuk setiap suara itulah yang menjadi pilihan utama.

Badan pengawas pemilu sudah sangat tegas menolak "politik uang" dan siapa saja yang melakukanya akan ditindak dengan tegas. Tetapi kenyataannya di lapangan tidak semudah menegakkan benang basah.

Saya tidak menyatakan bahwa tidak ada politik uang pada masa pilkada tidak langsung, itu pasti ada tetapi sepertinya pada pilkada langsung jauh lebih masif.

3. Mutasi Tak Wajar di Lingkungan Pemerintahan

Peraturan menyatakan dengan tegas bahwa ASN tidak boleh berpolitik praktis dan siapa saja yang melakukannya akan diberikan sanksi hingga pemberhentian secara tidak hormat. Pemerintah daerah yang berkuasa juga tidak boleh memutasi ASN atas dasar dukung-mendukung saat pilkada.

Tetapi kenyataannya di lapangan sangat jauh berbeda. ASN seakan-akan "dipaksa" untuk terlibat langsung bahkan ada yang berani menandatangani "kontrak jabatan" jika calonnya terpilih kelak. Dan resikonya adalah kita akan melihat pejabat eselon yang tiba-tiba non jobserta ASN yang tiba-tiba naik daun.

4. Kepala Daerah Terpilih Berakhir di "Lokap"

Beratnya beban biaya yang harus dikeluarkan selama masa pencalonan hingga terpilih, seperti: biaya mahar ke partai pendukung, biaya operasional tim sukses, biaya poster/spanduk/umbul-umbul/dsb, memaksa calon terpilih memutar otak untuk mengembalikan dan mencari modal baru dan akhirnya sudah banyak diantara mereka yang bernasib tragis berakhir di penjara.

Tak ada jera bagi mereka, ketika teman-teman mereka seprofesi sudah ditangkap KPK dan sedang diproses, mereka tak urung membatalkan niatnya, tetap pada tekatnya untuk tetap "korupsi". Ini sebuah konsekuensi dari mahalnya biaya pilkada yang perlu disederhanakan dan terus diawasi.

Apakah ini berarti pilkada langsung lebih baik diganti dengan pilkada tidak langsung seperti sedia kala? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu pengkajian yang lebih dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun