Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Efek Langsung dari Pilkada Langsung

24 Januari 2018   20:24 Diperbarui: 24 Januari 2018   20:32 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok: miliknecel.wordpress.com

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada untuk pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Hal ini dimaksudkan agar rakyat dapat menentukan pilihannya secara langsung di bilik suara tanpa diwakilkan kepada DPRD seperti pada masa-masa sebelumnya, sehingga diharapkan pemimpin yang terpilih benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat banyak dan mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.

Hal ini juga dimaksudkan agar gabernur/Wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih tidak "disetir" oleh fraksi-fraksi yang memenangkannya bahkan ada yang mengatakan agar Kepala Daerah terpilih tidak menjadi mesin ATM bagi anggota DPRD yang mengakibatkan kompromi korupsi berjemaah.

Setelah diberlakukannya Pilkada langsung, apakah keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya? Apakah pemimpin yang terpilih  lebih "kredibel" dan lebih anti-korupsi? Sejauh ini belum bahkan untuk beberapa kasus jauh lebih buruk dari pemihan tidak langsung. Dari segi mananya? Dari segi semuanya....

Paling tidak ada 4 permasalahan yang timbul sebagai efek langsung dari Pilkada langsung, anatara lain:

1. Timbulnya Kegaduhan di Masyarakat

Kebelumsiapan masyarakat berdemokrasi secara langsung ditambah dengan kurangnya pendidikan politik yang baik dari pemerintah dan partai peserta Pilkada kepada masyarakat membuat masyarakat menjadi "buta politik".

Terciptanya blok-blok dalam masyarakat sebagai pendukung masing-masing calon tidak jarang mengakibatkan "perang" urat saraf bahkan ada yang berujung pada kontak fisik.

Adanya perbedaan pilihan, tak jarang disulut dan dimanfaatkan oleh para politikus busuk untuk memecah-belah suara masyarakat dengan cara-cara yang tidak beradab dengan melancarkan isu-isu sensitif seperti isu "SARA" dan ditambah dengan ujaran kebencian dan berita hoaks di media sosial yang membuat situasi menjadi sangat tegang dan tidak kondusif.

Masih ingat Pilkada DKI baru-baru ini yang berlangsung sangat panas? Inilah salah satu contoh efek langsung dari pilkada langsung.

2. Money Politics

Ketika segala cara telah dilakukan oleh calon kepala daerah dan tim suksesnya maka satu cara lagi yang tidak pernah ketinggalan dan dianggap sangat efektif walaupun sangat tidak mendidik adalah "politik uang" atau money politics yang juga dikenal dengan istilah "serangan fajar".

Cara ini sudah bukan rahasia umum lagi dan dianggap sudah lazim. Hukum pasar mengisyaratkan: "Ketika ada pembeli disitu akan ada penjual dan ketika ada penawaran penjualpun akan muncul dengan sendirinya". Pemilih menganggap bahwa semua calon kepala daerah itu sama dalam janjinya, siapa yang berani memberi penawaran tertinggi untuk setiap suara itulah yang menjadi pilihan utama.

Badan pengawas pemilu sudah sangat tegas menolak "politik uang" dan siapa saja yang melakukanya akan ditindak dengan tegas. Tetapi kenyataannya di lapangan tidak semudah menegakkan benang basah.

Saya tidak menyatakan bahwa tidak ada politik uang pada masa pilkada tidak langsung, itu pasti ada tetapi sepertinya pada pilkada langsung jauh lebih masif.

3. Mutasi Tak Wajar di Lingkungan Pemerintahan

Peraturan menyatakan dengan tegas bahwa ASN tidak boleh berpolitik praktis dan siapa saja yang melakukannya akan diberikan sanksi hingga pemberhentian secara tidak hormat. Pemerintah daerah yang berkuasa juga tidak boleh memutasi ASN atas dasar dukung-mendukung saat pilkada.

Tetapi kenyataannya di lapangan sangat jauh berbeda. ASN seakan-akan "dipaksa" untuk terlibat langsung bahkan ada yang berani menandatangani "kontrak jabatan" jika calonnya terpilih kelak. Dan resikonya adalah kita akan melihat pejabat eselon yang tiba-tiba non jobserta ASN yang tiba-tiba naik daun.

4. Kepala Daerah Terpilih Berakhir di "Lokap"

Beratnya beban biaya yang harus dikeluarkan selama masa pencalonan hingga terpilih, seperti: biaya mahar ke partai pendukung, biaya operasional tim sukses, biaya poster/spanduk/umbul-umbul/dsb, memaksa calon terpilih memutar otak untuk mengembalikan dan mencari modal baru dan akhirnya sudah banyak diantara mereka yang bernasib tragis berakhir di penjara.

Tak ada jera bagi mereka, ketika teman-teman mereka seprofesi sudah ditangkap KPK dan sedang diproses, mereka tak urung membatalkan niatnya, tetap pada tekatnya untuk tetap "korupsi". Ini sebuah konsekuensi dari mahalnya biaya pilkada yang perlu disederhanakan dan terus diawasi.

Apakah ini berarti pilkada langsung lebih baik diganti dengan pilkada tidak langsung seperti sedia kala? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu pengkajian yang lebih dalam.

Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan usaha yang serius untuk membenahi sistem yang sekarang dan kalau memang tidak bisa lagi dibina mungkin lebih baik di....

Salam....

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun